Brindonews.com






Beranda Headline Pertambangan dan krisis Ekologi Jadi Ancaman Serius di Malut

Pertambangan dan krisis Ekologi Jadi Ancaman Serius di Malut

TERNATE, BRN – Isu pertambangan dan krisis ekologi di Provinsi Maluku
Utara menjadi trending topik di kalangan mahasiswa saat ini. Dua permasalahan
itu muncul dalam dialog publik bertajuk “Selamatkan Maluku Utara dari Ancaman
Krisis Ekologi” yang digagas Himpunan Mahasiswa Program Studi (Himapro) Geografi
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kie Raha Ternate di Aula
STKIP, Kamis (31/10) siang tadi.





Provinsi Maluku
Utara merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 395 pulau kecil dan besar
dengan luas daratan berkisar lebih dari 3.1 juta hektar. Maluku Utara (Malut)
juga tercatat memiliki
ijin usaha pertambangan (IUP) sebanyak 335 yang tersebar
di pulau besar dan pulau-pulau kecil di Halmahera. Meliputi Kepulauan Sula,
Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Utara, Kota Tidore
Kepulauan, Halmahera Barat dan Pulau Morotai.

“Kepulauan Sula 97
IUP, Halmahera Tengah 66 IUP, Halmahera Selatan 56 IUP, Halmahera Timur, 41 IUP,
Halmahera Utara 38 IUP, Tidore Kepulauan 15 IUP, Halmahera Barat dan Morotai masing-masing
8 IUP dan Pemerintah Provinsi sendiri 6 IUP,” jelas Irwan Abdullah dalam
materinya.

Irwan menyebut, total
luas izin tambang di Malut sudah mencapai 1,19 juta hektar. Dari luasan itu, separuh
dari luas wilayah darat sudah dikonversi menjadi kawasan pertambangan mineral
dan batu bara. Dengan begitu, dipandang penting adanya
konsep
pembangunan berkelanjutan (suistainable development)
pada prinsip penting.





Prinsip pentingkata dia, terdapat beberapa faktor. Diantaranya pembangunan
harus memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan
generasi yang akan dating
dan tetap
memerhatikan ekosistem yang ada, sesuai dengan kemampuan daya dukungnya
sehingga tetap
terjaga dan kualitas lingkungan tidak mengalami penurunan (lestari).

“Selain itu, setiap
kagiatan pembangunan harus selalu mewujudkan kepentingan kelompok atau
masyarakat lain dimanapun berada, serta mengindahkan keberadaan kehidupan
sekarang maupun kehidupan masa datang.
Serta pembangungan
berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala
aspek baik fisik, rohani, sosial dan budaya dalam jangka panjang, dengan tidak
memboroskan dan tidak merusak sumberdaya alam yang ada, serta tidak melampaui
kapasitas daya dukungnya
,” papar Irwan.

Citra Desa Kawasi, Kacamatan Obi, Halmahera Selatan. Foto: (google maps). Potensi pertambangan nikel ini mulai dijarah PT. Trimega Bangun Persada (PT TBP), perusahaan pemegang izin usaha atau sub kontraktor pengoperasian smelter di Kawasi bersama PT Gane Permai Sentotasa (PT GPS) dan PT GTS. Ketiga perusahaan ini merupakan grup dari Harita Nickel dan pemasok umpan bijih nikel ke pabrik PT TBP.

Sementara itu, Alwi La
Masinu lebih menyoroti dampak primer terhadap lingkungan paska kegiatan
tambang. Dalam materinya tentang
Dampak
Tailing Terhadap Masyarakat
dan
Lingkungan
, alumnus Teknik Geologi
Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar ini menyebut pencemaran lingkungan
akibat dampak paska tambang bisa terjadi dalam jangka waktu pendek dan panjang.





Alwi mengatakan, rencana PT.
Halmahera Persada Lygend (HPL) membuang sisa produksi atau limbah nikel di palung laut
Desa Soligi menjadi ancaman serius kedepan. Bukan pada soal biota/keanekaragaman
hayati (biodiversitas) saja,
melainkan mengancam masyarakat.

Tailing atau
limbah nikel
mengandung beberapa sifat kimia, dan itu
sangat berbahaya. Karena itu, sampai kapanpun masyarakat Desa Soligi, Kecamatan
Obi Selatan tetap menolak rencana PT HPL. Sebagai desa tetangga Kawasi, kami tetap
berupaya semaksimal mungkin,” katanya.

Ilustrasi aktivitas pertambangan. Foto; (google.com)

Naswan
Hidlia mengatakan, pertambangan di Malut buah dari k
epentingan politik. Menurut data Badan Pusat Statistik
Malut tahun 2016, sebesar
8,86 persenserapan
pertambangan tidak  pro pada ekologi dan pembangunanberkelanjutan.





IUP di Malut sebanyak 336, disortir menjadi 327-107-24 pernah beraktifitas. Jumlah itu, 16 pabrik diantaranya beroperasi sampai saat ini.Serapan PMBP sektor pertambangan sekitar 500 milyartahun 2018,” kata tenaga pengajari
Universitas Muhammdiyah Ternate ini.

Menurutnya,
di Malut belum ada patokan atau acuan besaran corporate social rosponsibility (CSR). Itu sebabnya para perusahaan
terkesan bingung merealisasikan pos CSR. “Coba kalau patokan, para investor
pasti menjalankan CSR sesuai ketentuan. Misalnya di bidang pendidikan
besarannya berapa ?, kesehatan berapa ? begitu juga dengan bidang CSR lainnya,”
pungkasnya.

Pasal 74 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 2007 tentang Perseroan Terbatar (PT), perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan
,” sambungnya. (ko/red)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan