Hadiah Buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo” dari PRSSNI
Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari 2024 ini, membawa ingatan saya pada buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”. Buku ini tidak saya beli, melainkan hadiah dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Sebuah hadiah istimewa karena merupakan pengakuan kepada saya sebagai seorang jurnalis radio.
Agustus 1996, saya bergabung dengan Radio Bharata FM, saat itu masih beralamat di Jalan Rajawali. Lokasi studionya tak jauh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Rajawali No 16, ke arah Pantai Losari.
Sejak bergabung itu, saya sampaikan kepada pimpinan, Pak Bambang Juliarto dan Pak Jhony Mulyono, bahwa saya ingin jadi jurnalis radio bukan broadcaster. Saya tak tertarik jadi penyiar walau warna vokal saya yang “ngebas” sering disebut cocok jadi penyiar hehehe.
Bambang Yuliarto, akrab disapa Mas Toto, dan Mas Jhon, begitu Jhony Mulyono biasa disapa, merupakan pemilik radio yang bersiaran di frekuensi 106.5 FM (kini menjadi 95.2 FM dan sudah berganti pemilik). PT Radio Bharata Rasihima, merupakan salah satu radio tertua di Makassar, didirikan tahun 1968. Namun dalam akta pendirian tertulis 20 April 1971.
Radio ini muncul bersamaan dengan tumbuhnya kelompok-kelompok anak muda gaul di era itu, di mana radio menjadi tempat nongkrong dan adu gengsi. Mas Toto dkk punya kelompok bernama Bharatayudha, diambil dari epos yang menggambarkan kisah perang besar antara keluarga Pandawa melawan Kurawa. Bharatayudha itulah yang jadi cikal bakal Bharata FM.
Begitu saya masuk di Bharata FM, saya menawarkan acara SEKTESA, akronim dari seputar kehidupan kota besar. Program siaran ini berformat wawancara lapangan, tapi nanti akan melalui proses produksi lagi di studio.
Secara teknis, sebagai reporter, saya melakukan wawancara dengan narasumber sesuai topik yang lagi aktual atau yang dirasa informatif dan bermanfaat, nanti ada teman yang mengerjakan proses produksinya di studio. Partner kerja di studio ini, Adam Hermanto (Mas Eko), dan Darul Aqsa.
Program SKETSA membawa nuansa baru bagi Radio Bharata FM, yang kala itu lebih banyak mengandalkan siaran hiburan (memutar lagu), kuis, obrolan di studio dan tip-tip untuk mengedukasi pendengar. Radio swasta di masa Orde Baru, memang dilarang membuat berita, jadi kemasan acaranya disebut informasi. Di masa itu, ada wajib relay dari Radio Republik Indonesia (RRI), pada waktu-waktu tertentu.
Nah, dalam suasana seperti itulah saya mulai mengembangkan diri sebagai jurnalis radio. Meski mau jadi jurnalis, tapi sesungguhnya saya tidak pernah ikut pelatihan jurnalistik. Modal saya hanya pernah bekerja di Radio Venus AM, tahun 1994-1996. Di sini, kami membuat program paket informasi yang kami kutip dari koran (rewrite). Korannya, saat itu, Pedoman Rakyat dan Harian Kompas, yang masih tiba sore di Makassar.
Karena itu, ketika diadakan “Lokakarya Jurnalistik Radio” oleh PRSSNI, maka ini merupakan kegiatan pertama yang saya ikut. Kegiatan yang diadakan di Hotel Bahari (sekarang Mess Nala, milik TNI AL), Jalan Dr Sam Ratulangi, Makassar, pada 23-26 Agustus 1997 itu, juga merupakan pelatihan jurnalistik radio pertama di Sulawesi Selatan yang diselenggarakan PRSSNI.
Sesuai namanya, PRSSNI, pendirian organisasi ini digagas oleh tokoh-tokoh radio swasta di Indonesia. PRSSNI terbentuk setelah diselenggarakan Kongres I Radio Siaran Swasta se-Indonesia, di Balai Sidang Senayan Jakarta, pada tanggal 16-17 Desember 1974. Kongres ini dihadiri 227 peserta, mewakili 173 stasiun radio dari 34 kota di 12 provinsi.
Awal terbentuk, namanya adalah Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia. Nanti pada pelaksanaan Munas IV PRSSNI di Bandung, tahun 1983, kata “niaga” diganti dengan “nasional”, sebagaimana kepanjangan PRSSNI yang kita kenal sekarang.
Ketika Lokakarya Jurnalistik Radio yang saya ikuti diadakan, Ketua Pengurus Pusat PRSSNI, yakni Siti Hardiyanti Rukmana. Putri sulung Presiden Soeharto, yang akrab disapa Mba Tutut itu, terpilih sebagai Ketua PRSSNI pada Munas VI, di Jakarta, tahun 1989 (majalah.tempo.co). Mba Tutut ini yang menandatangani piagam peserta lokakarya.
Saya tak hanya mendapat piagam tapi juga buku, yang khusus diberikan sebagai hadiah peserta terbaik Lokakarya Jurnalistik Radio I, yang diadakan di Sulawesi Selatan. Buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo” itu dibubuhi tandatangan dan diberi catatan motivasi oleh semua trainer, yang merupakan dedengkotnya radio siaran di Indonesia.
Layla S Mirza dari Radio Mara 106.7 FM, Bandung, menulis: “Selamat datang di “hutan” jurnalistik.” Praktisi penyiaran yang juga seorang pengajar ini, punya nama asli Noor Achirul Layla, tapi akrab disapa mba Ea.
Di buku itu, Errol Jonatans, yang dikenal sebagai pelopor jurnalisme warga (citizen journalist) lewat Radio Suara Surabaya, menulis: “Sekali terjun pantang surut”. Radio Suara Surabaya, biasa disingkat Radio SS, diakui sebagai pengawal suara warga. Siaran radio ini begitu interaktif. Cerita orang kemalingan yang pelakunya tertangkap berkat siaran radio merupakan sedikit dari kisah sukses Radio SS.
Ada pula tanda tangan dan kalimat motivasi yang ditulis Zainal Suryohadikusumo dari Radio ARH, Jakarta. Bang Zen, begitu pria berkumis itu akrab disapa, menulis: “Mau jadi profesional, berhentilah semena-mena terhadap profesi.” Bang Zen belakangan banyak membantu penguatan kapasistas teman-teman radio komunitas. Radio ARH ini telah diakuisisi oleh MNC Media Group menjadi Global Radio 88.4 FM.
Djoko W Djahjo dari Radio Elbayu AM 954 Khz, Gresik, menulis dalam buku yang sama menulis: “Tarik penamu. Buka mulutmu. Bangsa lapar informasimu.” Elbayu itu nama call station dari Radio Elang Bayu Swara. Saya sempat melihat studio radio ini di Jalan KS Tubun, saat mengerjakan buku Kapolres Gresik, AKBP Adex Yudiawan, di tahun 2016. (*)
Makassar, 9 Februari 2024