Brindonews.com






Beranda Opini Pemilu 2024: Sistem Proporsional Tertutup Sebagai Jalan Terbaik

Pemilu 2024: Sistem Proporsional Tertutup Sebagai Jalan Terbaik

Saiful Risky.

Saiful Risky | Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.





Croissant dalam
bukunya electoral Politic in South East Asia menyebutkan
bahwasanya salah satu tujuan penerapan sistem pemilu ialah effective
grovenement
, yaitu pemerintahan yang efektif dalam menjalankan roda
pemerintahannya dengan stabil.
 

Penerapan
sistem proporsional terbuka di Indonesia didasari adanya kekhawatiran dominasi
partai politik dan oligarki partai politik, serta kebutuhan atas keterbukaan
untuk mengakomodir partisipasi masyarakat secara luas. Sehingga pelaksanaan
pemilu diubah dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional
terbuka. Yang mana masyarakat diharapkan mendapatkan manfaat yang diinginkan
dan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya dalam memilih wakilnya secara langsung
sesuai dengan kehendaknya.

Akan tetapi,
pertanyaannya, seberapa besar manfaat dari sistem proporsional terbuka dalam
konteks demokrasi substansial bukan demokrasi prosedural.





Penerapan
sistem proporsional terbuka memiliki berbagai kelemahan yang berdampak pada
kekacauan sistem politik. Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Prof.
Dr. Ramlan Surbakti menyatakan bahwasanya setidaknya ada lima kegagalan apabila
Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka dalam pemilu tahun 2024.

Pertama, kegagalan
memperkuat partai politik sebagai perangkat berdemokrasi. Karena pada dasarnya
sistem proporsional terbuka hanya memfokuskan kekuatan individu masing-masing
calon. Kedua, partai politik gagal disederhanakan karena sistem proporsional
terbuka menyebabkan bertambahnya partai politik.

Ketiga, tidak
terwujudnya tujuan sistem politik yang representatif. Keempat, tidak
terciptanya pemerintahan yang efektif di nasional daerah. Dan kelima, yaitu gagal
menghasilkan politisi yang kompeten dan berintegritas.





Berdasarkan
hasil studi komparatif, menyatakan bahwasanya di negara jerman sistem
proporsional terbuka tidak lagi digunakan. Karena sistem tersebut telah
mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Jerman yang disebabkan oleh banyaknya
partai politik. Maka dengan sistem proporsional tertutup, stabilitas dan
efektivitas pemerintahan di Jerman tercapai.

Pasal 22E ayat
(3) UUD 1945 menyatakan secara tegas dan lugas. Bahwa yang menjadi peserta
pemilu adalah partai politik bukan individu anggota partai politik itu sendiri.
Sudah sepatutnya partai politik diberikan kewenangan penuh dalam menentukan
siapa saja yang hendak diusulkan untuk menjadi anggota legislatif.

Haruslah
dimaknai bahwa kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan partai politik untuk
menempatkan kader-kader terbaik menurut versi partai politik masing-masing.
Dalam penataan dan penyempurnaan partai politik diarahkan dalam dua hal utama.





Pertama, membentuk
sikap dan perilaku anggota partai politik yang sistemik sehingga terbentuk
budaya politik yang mampu mendukung prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya sistem rekrutmen, seleksi anggota partai politik,
serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.

Kedua, yaitu memaksimalkan
fungsi partai politik baik terhadap negara ataupun masyarakat. Yakni melalui
pendidikan politik, pengkaderan serta rekrutmen yang efektif untuk menghasilkan
kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan lebih dalam bidang politik,
ekonomi dan lain sebagainya.

Tujuan di atas
tidak tercapai apabila sistem pemilu di Indonesia masih menggunakan sistem
proporsional terbuka. Sebab sistem proporsional terbuka bersifat
individualistik bukan semata-mata kehendak bersama dalam partai politik.





Dalam sistem
proporsional terbuka sejatinya partai politik hanya dijadikan tiket masuk untuk
sekadar dapat dipilih menjadi anggota legislatif. Dan siapa pun bisa terpilih
bahkan anggota baru yang tidak memiliki pengalaman sekalipun.

Sistem
proporsional terbuka makin memperburuk kualitas pilihan legislatif dibanding
sebelumnya. Karena sejatinya masyarakat seolah permisif dengan calon legislatif
yang membagi-bagikan uang atau sembako kepada masyarakat di masa kampanye. 

Dilansir
dari data Bawaslu, tahun 2019 terdapat banyak pelanggaran politik uang di 25 kabupaten
kota dan 13 provinsi. Hal tersebut menunjukan betapa masih masifnya politik
uang terjadi di Indonesia.





Lemahnya
kelembagaan partai politik menyebabkan tidak adanya kontrol terhadap calon
kandidat dalam internal partainya sendiri. Sehingga yang terjadi ialah calon
kandidat tersebut membentuk relasi dengan para pemodal di luar internal partai
politik tersebut.

Dan relasi inilah yang menyebabkan suatu klientelisme dan money
politic
atau politik uang. Dan yang sangat tidak diinginkan, adalah politik
uang tersebut tidak berhenti ketika pemilu selesai saja, akan tetapi juga
berdampak ketika para calon sudah duduk di kursi legislatif dan hal tersebut
cenderung pada tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu
dapat diambil kesimpulan bahwa sistem proporsional terbuka tidak layak lagi
diterapkan pada pemilu tahun 2024. Dan sistem proporsional tertutuplah yang
sejatinya terbaik untuk diterapkan guna mewujudkan pemimpin yang berintelektual
dan berintegritas serta kesejahteraan masyarakat Indonesia.
(*)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan