Brindonews.com


Beranda Opini Hukum dan Dunia Metaverse

Hukum dan Dunia Metaverse

Zulafiff Senen, S.H., M.H., CSRP.,CLMA. | Penulis saat ini aktif di Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN Permahi) dan pegiat cyber law.

Fenomena
perkembangan teknologi kian meninggkat. Ini dibuktikan dengan lahirnya berbagai
kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Hal demikian membuat
hukum kian tertinggal.



Berbicara
mengenai ketertinggalan hukum sungguh sangat nyata, hal serupa berkesesuaian
dengan salah satu adagium atau dengan kata lain disebut sebagai old maxim atau pepatah kuno yang
berbunyi Het recht hink anter de feiten an_
“hukum slalu tertinggal dengan peristiwa yang akan diatur”.



Kemajuan
teknologi menimbulkan berbagai macam spekulasi bagi sebagian masyrakat awam. Apakah
metaverse ini merupakan gebrakan baru dalam mempersiapkan generasi serta
masyarakat yang melek teknologi?. Spekulasi mulai bermunculan mulai dari apakah
metaverse mampu menjawab segala pertanyaan terkait fenomena perkembangan
teknologi dan informasi yang saat ini dipergunakan, ataukah sama dengan yang
sebelumnya berlaku, jikalau berbeda apa saja pembaharuan yang menonjol dalam
metaverse tersebut?.
 

Metaverse Dalam
Kepastian Hukum



Metaverse
adalah sebuah buah pikir dari pada kemajuan teknologi yang kian berkembang
pesat hingga saat ini. Secara hafiah, metaverse merupakan realitas kehidupan
virtual yang kemas sebagaimana halnya dunia nyata. Metaverse sebenarnya sesuatu
yang baru melainkan sesuatu yang telah lama ditemukan-(baca Novel Snow Crash 1992
pengarang Neal Stephenson).

Lalu
kinerja metaverse sendiri meliputi apa saja?, kinerja metaverse sendiri tanpa
batas dan sekat dalam hal dunia virtual yang dibuat seolah dunia nyata.

Lantas
seperti apa kinerja metaverse?. Pertama-tama, metaverse takkan pernah bisa lepas dari internet sebagai
akses utamanya. Hal tersebut didukung oleh perkembangan teknologi yang kini
semakin canggih. Selain itu, proses kerja dalam metaverse perlu didukung oleh berbagai perangkat modern
yang mumpuni, seperti headphone dan
kacamata AR atau VR.





Tujuan
dari hukum ada 3 hal sebagaimana disampaikan Gustav Radbruch: Kepastian Hukum,
Kemanfaatan Hukum dan Keadilan hukum. Tentunya berbicara mengenai tujuan dari hukum
memang banyak faktor yang mendasari agar tujuan hukum dapat terjalankan secara
maksimal. Aspek tujuan hukum yang pertama yakni kepastian hukum tentunya
memiliki perhatian khusus yang mana kedua aspek yang di lahir mampu dan/atau
dapat terealisasikan apabila aspek hukum yang pertama mampu terjalankan secara
maksimal.

Berbicara
mengenai kepastian hukum tentunya kita akan berbicara pada tingkatan kejelasan
akan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya.
Hal serupa juga sejalan dengan amanat Undang-undang Dasar tahun 1945 yakni Pasal
1 ayat 3 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum” yang berarti
segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia senantiasa diawasi oleh hukum
itu sendiri. Negara perlu hadir dalam memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Sebab jika kita berbicara mengenai kehadiran negara dalam hal
memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya merupakan suatu
keharusan yang wajib dilaksanakan otiap-tiap negara kepada warganya.



Ketika
kita berbicara mengenai kehadiran negara dalam memberikan perlindungan hukum
kepada warga negaranya sudah sangat sesuai, sebagaimana dijelaskan
Wallace S
Sayre dalam American Government (1966). Wallace mengemukakan teori tentang menjelaskan
mengenai persyaratan berdirinya suatu negara diantaranya; Rakyat (people), Wilayah (territory), Kesatuan (unitary),
Organisasi politik (political
organization)
, Kedaulatan (sovereignty)
dan Ketetapan (permanence).

Korelasi
antara kehadiran negara, warga negara dan kepastian hukum adalah agar warga
masyarakat menjadi aman dan terlindungi dari perbuatan hukum yang melahirkan akibat
hukum serta negara tidak terlihat lepas tangan atau lepas tangunggjawab atas
warga negaranya.

Lantas
pertanyaan timbul bagaimana bentuk kepastian hukum jika warga negaranya
mendapatkan permasalahan hukum didiakibatkan oleh metaverse?. Jawabannya masih
bergantung dari pada Undang-undang 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.



Namun
yang perlu diketahui apakah Undang-undang ITE sudah mampu mengakomodir perbuatan
hukum yang ditimbulkan tersebut dikemudian hari disebabkan oleh metaverse? jawabannya
belum tentu.
 




Ius
Constituendum
 



Membahas
mengenai ius contituendum atau hukum
yang akan berlaku dikemudian hari tentu tidak terlepas dari pada ius constitutum atau hukum yang berlaku
saat ini. Ius constituendum dari pada
dunia internet adalah Undang-undang 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun perlu diketahui,
dalam literatur disebutkan bahwa het
recht hink anter de feiten an
yang memiliki arti bahwa hukum adalah ilmu
yang selalu tertinggal dari pada peristiwa.
 

Hal
serupa memanglah tepat dan tidak dapat dipungkiri sebuah aturan dilahirkan atau
dibuat dikarenakan adanya sebuah peristiwa hukum. Perlu diketahui juga,
bahwasahnya metaverse sendiri merupakan dunia baru yang akan diterapkan dalam
kehidupan masyarakat yang mana kerja metaverse sendiri adalah membuat dunia
maya menjadi seperti halnya dunia nyata. Tetapi perlu diingat, bahwa semakin
berkembangnya sebuah teknologi atau suatu zaman tentu didalamnya memiliki
peluang kejahatan tersebut. Disini negara perlu membuat suatu regulasi yang
mampu dan dapat menunjang perlindungan warga negara atas kemajuan teknologi itu
sendiri. **






Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *