Brindonews.com






Beranda Opini Malu Teriak Merdeka

Malu Teriak Merdeka

(Refleksi
72 Tahun Kemerdekaan Indonesia)





Oleh
:
HENDRA KASIM

Advokat
dan Konsultan Hukum / Direktur LBH Pemuda

SEBENTAR
lagi Indonesia berumur 72 tahun. Jika dibandingkan dengan umur biologis
manusia, Indonesia sudah cukup tua dan matang untuk menjalani kehidupan
bernegara yang jauh lebih stabil. Meskipun demikian, usia “aktual” Indonesia
yang baru 72 tahun masihlah kategori “kanak-kanak” jika dibandingkan dengan
Inggris dan Amerika misalnya yang membutuhkan lebih dari 3 abad untuk mewujudkan
sistem bernegara yang lebih matang.





Meskipun
Indonesia merupakan negara yang dikategorikan masih baru dalam pergaulan
negara-negara Internasional, dinamika ketatanegaraan yang cenderung jauh lebih
dinamis daripada negara manapun di dunia, sesungguhnya cukup untuk menjadikan
Indonesia saat ini mejadi negara yang matang dan dapat dijadikan sebagai contoh
ketatanegaraan modern.

Segudang Masalah

Mengapa
tidak, hanya Indonesia-lah yang dalam waktu 72 tahun telah menggunakan 4 macam
konstitusi, juga telah mempraktikan berbagai model sistem pemerintahan, dan
juga mempraktikan berbagai model hubungan pemerintah pusat dan daerah, apalagi
praktik sistem demokrasi  yang
menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika
dan India.





Sarat
pengalaman ternyata tidak berdampak pada kematangan emosional para elit bangsa
dalam mengelola negara. Dalam praktiknya, pengalaman tersebut tidaklah cukup
menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kokoh dan teguh serta dengan bangga
mengangkat muka dihadapan dunia Internasional. Kian hari kian kemari Indonesia
semakin menjadi bangsa yang renta.

Bangsa
ini tidak hanya kehilangan semangat bernegara, diumur yang masih belia
Indonesia berjalan tertatih-tatih seperti orang tua yang tak lagi memiliki
semangat hidup. Ibarat penyakit, pemerintah Indonesia cenderung menyelesaikan
masalah dengan metode instant tanpa memikirkan berbagai aspek sebagai
pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Kita terjebak pada gaya berpikir
instant hingga saat ini, yang menjadikan Indonesia telah sukses bermetamorfosis
dari Macan Asia mejadi Negara Import terbesar di Asia.

Ketergantungan
kepada asing sudah “sungguh terlalu”. Negara maritim dengan slogan membangun
dari laut, apalagi visi besar rezim pemerintah Indonesia Hebat membangun tol
laut tidak berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah Indonesia hari ini.





Lelucon
yang tidak lucu, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, memutuskan
untuk mengimpor garam. Apakah pantai kita sudah tak asin lagi ?

Tidak
hanya impor garam, sebelumnya Indonesia mengimpor bawang, mengimpor sapi,
mengimpor beras, mengimpor jagung, bahkan cangkul-pun diimpor dari Cina. Negara
Impor – ia kita memang sudah sukses menjadi negara impor.

Tidak
hanya itu, hutang luar negeri Indonesia naik meroket tajam, subsidi yang selama
ini dinimkati oleh setiap warga negara perlahan dihapus, lapangan kerja yang
semakin susah, sarjana yang kain hari kian menambah daftar pengangguran,
penegakan hukum yang kian tidak karu-karuan, ketimpangan pembangunan dibagian timur
Indonesia dan daerah-daerah perbatasan. Jangankan mengurusi beberapa hal
tersebut, bahkan mencari 11 pemain bola kaki berbakat dari 250 juta penduduk
Indonesia kita tak mampu.





Kita
harus sadar, selama ini kita telah ditipu. Ditipu oleh para elit bangsa.
Orasi-orasi kesejahteraan rakyat hanyalah guyonan seperti halnya para komika stand up comedy  memainkan keahliannya diatas panggung
sehingga berhasil menghibur penonton. Bedanya dengan orasi kesejahteraan para
elit bangsa, meskipun menipu mereka yang konon katanya pro rakyat itu tetap dan
terus di bayar oleh rakyat melalui pajak.

Cermin Pemimpin

Apa
persoalan mendasar dari sekelumit benang kusut persoalan bernegara kita yang
tampak seperti orang tua ini : berbagai persoalan tersebut terwakilkan oleh
wajah pemerintah kita. Presiden kita sibuk dengan sosial media pribadinya,
sibuk mengurusi peliharaan “kodok” miliknya, sibuk membangun pencitraan, sibuk
merusak iklim demokrasi (yang tercermin dalam UU Pemilu), sibuk merusak
kebebasan berserikat dan berkumpul (yang tercermin dalam perppu ormas). Sungguh
rezim ini benar-benar phobia, benar-benar paranoid menghadapi dinamika nasional
apalagi berhubungan dengan konsolidasi pilpress 2019 nanti.





Teringat
satu ungkapan wajah pemimpin mencerminkan wajah rakyatnya itu berarti
pemimpin kita hari ini adalah kita hari ini. Kita yang semakin renta, kita yang
tak lagi peduli dengan kehidupan bangsa dan negara, kita yang hanya hebat
berteriak saya pancasila namun tidak pancasilais, kita yang memutuskan sebagai
bangsa beragama namun berperilaku ubahnya manusia-manusia tidak beragama.

Sebut
saja iklim demokrasi kita. Model demokrasi yang cenderung serimonial minus
subtantif, menghasilkan hasil pemilu yang mana para wakil rakyat tidak
berbanding lurus dengan kehendak rakyat sebagai pemberi mandat.

Para
elit bangsa saling rebut kuasa, saling klaim kebenaran, saling klaim kepedulian
terhadap rakyat. Pada akhrinya, semua bertopeng, sama saja, tidak ada yang
berbeda. Mencari keuntungan dan membangun kerajaan keluarga bebasiskan ekonomi
yang super kuat melalui tangan kekuasaan merupakan tujuan akhirnya. Lebih parah
lagi, kita (rakyat) masih mempercayai mereka untuk memimpin.





Momentum Kemerdekaan

72
tahun yang lalu, tepatnya 17 Agustus 1945 M bertepatan dengan 4 Ramadhan 1364
H, dengan semangat berapi-api, semangat rela berkorban, semangat perjuangan
kemerdekaan, Indoneisa memproklamirkan kemerdekaan. Hari ini, ditengah keadaan
bangsa yang terjun bebas, bangsa ini membutuhkan sisa-sisa tenaga untuk
mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa, mengembalikan Indonesia sebagai
macan Asia.

Sisa-sisa
tenaga anak-anak muda yang dapat mengembalikan semangat berapi-apai, semangat
rela berkorban, semangat perjuangan kemerdekaan, untuk membawa kembali kapal
yang telah karam.





Pada
kondisi seperti ini, merka yang loyo, lesuh, lemah, bodoh, pragmatis dan
oportunis harus disingkirkan. Kita membutuhkan anak-anak muda yang visioner.
Bangsa ini harus diberikan kepada anak muda yang tatapannya setajam Garuda,
aungannya sekuat Harimau Sumatera, kemampuannya seindah Burung Bidadari
Halmahera.

Akhirnya,
kita jadi tahu bahwa bangsa ini bukan hanya dapat diselamatkan tetapi harus
diselamatkan. Panggung peradaban bangsa Indonesia harus kembali diserahkan
kepada anak muda visioner. Anak muda harus mengambil bagian, tidak boleh tidur.
Agar kita tidak malu berteriak merdeka ditengah bangsa yang telah merdeka, atau
kita tidak berteriak merdeka sekedar serimoni refleksi kemerdekaan.*** Wallahualam..-





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan