Upaya Pemerintah Atasi Pemidanaan Napi di Masa Covid
Gita Sasrawati. |
Gita Sasrawati | Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Presiden Jokowi dalam kesempatannya pada sebuah konferensi pers 31 Maret
2020 lalu mengumumkan kebijakan dalam rangka menghadapi Covid-19. Pengumuman
ini lebih menitikberatkan pada strategi pemerintah menghadapi corona virus sebagai pandemi global.
Dalam mandatnya,
presiden mengatakan bahwa kebijakan yang akan dipilihnya yaitu kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar yang digunakan untuk menanggapi terjadinya
kedaruratan kesehatan. Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Sekarwangi, 2020: 147).
Kebijakan-kebijakan
itu kemudian diimplementasikan dalam wujud menjaga jarak sosial, kerja dari
rumah, pembelajaran secara daring, dan membatasi kegiatan diluar rumah.
Namun, semua wujud
dari kebijakan pemerintah di atas hanya dikhususkan untuk masyarakat biasa,
sedangkan adapun kebijakan yang berkenan dengan sistem hukum dan pemidanaan di
Indonesia bagi mereka yang sedang berada di dalam bui, yakni pembebasan
narapidana lewat program asimilasi serta hak integrasi.
Pemeberian asimilasi
kepada narapidana (napi) diatur dalam Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dan Kepmenkumham
No. M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Kemenkuhmham dalam mandatnya mengeluarkan
aturan ini guna menangani pencegahan serta penanggulangan terjadinya penyebaran
virus Covid-19 dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).
Keputusan itu
dipertimbangkan dengan rasional bahwa penyebaran Covid-19 berjalan cepat, namun
kondisi lapas yang justru sudah memasuki over
capacity (kelebihan kapasitas) sehingga kondisi tersebut mempersulit
narapidana melakukan social distancing.
Kelebihan kapasitas
pada lapas mendorong negara agar membebaskan narapidana karena bagaimanapun
negara memiliki tanggung jawab menjamin dan memastikan hak hidup setiap warga
negaranya terpenuhi dan terlindungi di masa pandemi. Data Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan mencapai 270.386 orang. Ini sudah termasuk over capacity. Sementara daya tampung lapas hanya mampu menampung
131.931 orang (Kurnianingrum, 2020: 5).
Hingga 8 April 2020,
sejumlah 36.554 narapidana baik anak maupun dewasa telah dikeluarkan
(dibebaskan) lewat program asimilasi serta hak integrasi, dan jumlahnya terus
akan dipastikan bertambah. Namun, pembebasan narapidana yang semula dimaksudkan
supaya bisa memutus mata rantai penyebaran wabah ternyata menuai berbagai
kontroversi. Pasalnya, sejak pertengahan tahun 2020 klaster Covid-19 di dalam
lapas sudah terjadi. Sesuai data yang disampaikan Kemenkumham, kondisi overcrowding dalam lapas menyebabkan
narapidana terpapar Covid-19 mencapai 4.343 orang pada bulan Februari lalu
(Guritno, 2021).
Ini tentu
dikhawatirkan jika program pemberian asimilasi untuk narapidana tidak dilakukan
dengan sistem seleksi yang benar dan ketat maka akan berpotensi menyebarkan
Covid-19 kepada masyarakat luas usai narapidana tersebut dilepaskan.
Pemberian kebebasan
untuk narapidana lewat program asimilasi serta integrasi pada kenyataannya
telah mengalami berbagai problematika dan kontroversi. Di satu sisi, pemerintah
mengeluarkan kebijakan tersebut dengan tujuan agar dapat memerangi penyebaran wabah
Covid-19.
Di sisi lain, justru
terdapat aturan bagi mereka yang melanggar PSBB akan terancam masuk bui
sebagaimana telah diatur pada Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Regulasi
tersebut selanjutnya direspon pemerintah melalui PP No. 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sesuai peraturan
mengenai PSBB, pencegahan wabah Covid-19 digagas pemerintah dengan cara
memberlakukan sanksi pidana kepada pelanggar. Sedangkan, data dan fakta
menunjukkan bahwa lapas tengah memasuki kondisi melebihi kapasitas. Jika
seorang pelanggar prokes pada masa PSBB diancam masuk bui maka akan berpotensi
menyebarkan Covid-19 bagi penghuni lapas lainnya, dan klaster Covid-19 dalam lapas
untuk narapidana yang terpapar disinyalir akan semakin bertambah.
Hal tersebut mungkin
terjadi karena seorang pelanggar prokes bisa saja positif Covid-19 akibat
melanggar aturan dan tidak mematuhi anjuran menjaga kesehatan di masa pandemi.
Selain itu, hukum pidana sejatinya harus ultimum
remedium, yang berarti hukum pidana menjadi usaha terakhir dalam
memperbaiki pola tingkah laku manusia.
Apabila membaca UU
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana didefinisikan sebagai
terpidana dimana ia melaksanakan pidana kemudian kemerdekaannya hilang dalam
Lapas (Hadisuprapto, 2020).
Definisi dari
terpidana yaitu orang yang mendapatkan sanksi pidana melalui putusan pengadilan
dengan sifat incracht. Walaupun seorang terpidana kehilangan kemerdekaannya,
namun dalam sistem pemasyarakatan Indonesia hak-hak narapidana tetap dijamin
dan dilindungi.
Faktor penyebab
terjadinya paradoks narapidana di masa pandemi adalah konflik antar norma.
Ketidak sesuaian antara substansi dengan implementasi dalam kebijakan asimilasi
juga menimbulkan konflik norma antara Permenkumham mengenai syarat
pemberian asimilasi dengan UU No. 6 tahun 2018 mengenai Kekarantinaan Kesehatan.
Tujuan dari
diberlakukannya UU kekarantinaan kesehatan adalah untuk memutus penyebaran
virus dengan membatasi kegiatan individu atau pembatasan suatu wilayah yang terjangkit
wabah yakni Covid-19.
Sementara, kebijakan
asimilasi bagi narapidana justru dapat meningkatkan laju penyebaran Covid-19
karena semakin bertambahnya jumlah orang yang berada di lingkungan masyarakat
dan melihat adanya fakta bahwa di dalam lapas telah terjadi klaster penyebaran
Covid-19, selain itu hal yang dikhawatirkan terjadi dari kebijakan asimilasi
ini adalah tidak menutup adanya kemungkinan angka kejahatan akan semakin
meningkat karena ulah narapidana yang dibebaskan melakukan tindakan kriminal
lagi.
Upaya atau solusi
guna mengatasi pemidanaan yang menyebabkan paradoks norma di masa pandemi yaitu
merumuskan adanya model pemisalah narapidana saat di dalam lapas dan kepada
narapidana yang akan diberikan asimilasi.
Model pengaturan
selection system digagas untuk menyeleksi narapidana yang layak untuk diberikan
asimilasi dengan catatan tidak diberlakukan bagi narapidana khusus, tidak
memiliki penyakit bawaan yang rentan terpapar Covid-19, perilaku dan
keterampilan terjamin baik agar tidak melakukan tindak kriminal kembali.
Sedangkan,
separation system dirancang untuk memisahkan sementara narapidana pelanggar
prokes dengan narapidana umum, sehingga kekhawatiran akan penyebaran Covid-19
semakin tinggi dalam Lapas tidak terjadi. Kedua sistem ini dibuat sebagai jalan
tengah untuk mengcover antara pandemic dengan konteks pemidanaan. (*)
Artikel ini sebelumnya dipublis di kompasiana dengan
judul: Paradoks Pemidanaan terhadap Narapidana di Masa Pandemi Covid-19.