Polri dan Membangun Kepercayaan Publik

![]() |
Zulafif Senen, S.H., M.H., CSRP., CLMA. |
=======
Penulis adalah Akademisi Hukum dan Alumni Pasca Sarjana
Universitas Islam Indonesia. Juga merupakan Sekretaris Jenderal Cendikia Muda
Nusantara.
Beberapa bulan terahir, Institusi Polri diterpa berbagai macam
ujian. Mulai dari isu terkecil hingga yang dianggap besar. Kasus penembakan
salah satu anggota Polri yang dilakukan oleh anggota Polri dan atas perintah atasan
salah satunya. Institusi Polri bertubi-tubi diterpa ujian sampai saat ini.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo,
slogan Polri diubah menjadi “PRESISI”,akronim dari Prediktif, Responsibilitas
dan Transparansi Berkeadilan. Memiliki maksud prediktif ialah setiap anggota
polisi dituntut untuk mampu sigap dalam segala situasi serta kondisi yang
mendatangkan gangguan didasarkan fakta, data serta informasi.
Kemudian responbilitas memiliki maksud setiap anggota
dituntut untuk paham dan mengerti daripada tugas dan tanggungjawabnya.
Sedangkan transparansi lebih pada berkeadilan tentunya memiliki kaitan dengan
asas umum hukum pidana yakni Equality Before
The Law yang berarti persamaan dihadapan hukum baik secara teori (law in the book) maupun secara
kenyataan (Law in action).
Mengkritik boleh, menghujat atau menghina jangan Polri
di bawah kepemimpinan bapak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, memunculkan
banyak kemajuan yang begitu pesat. Hal tersebut tentunya berkat kerjasama antar
elemen Polri maupun masyarakat dengan fokus program kerja prioritas yang luar
biasa. Kemajuan begitu pesatpun dirasakan tidak hanya oleh anggota Polri itu
sendiri, namun juga dirasakan kalangan masyarakat tanpa terkecuali baik saat
berhadapan dengan permasalahan hukum maupun yang melaporkan adanya peristiwa
hukum.
Beberapa hari terahir ini publik dikejutkan dengan
statemen yang dinilai kontroversial. Sebab disampaikan dengan sadar oleh
seorang oknum penegak hukum yang mana pernyataan tersebut bukan bagian daripada
kritik, melainkan daripada hujatan ataupun hinaan terhadap suatu institusi. Kira-kira
bunyi begini “polisi mengabdi kepada negara hanya seminggu dan sisanya mengabdi
kepad mafia”. Statemen ini telah menggeneralisir secara keseluruhan semua
anggota polri. Dalam hukum dikenal dengan adagium “actori incumbit probation, actori onus probandi” yang berarti
siapa mengdalilkan, maka dia harus membuktikan.
Negara Indonesia tidak pernah melarang siapapun untuk
mengkritik. Ini jelas dituangkan dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan bahwa “setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Pasal
tersebut dinilai sangat jelas bahwa negara memberikan kebebasan berpendapat. Akan
tetapi sering disalah artikan oleh segelintir oknum bahwa bebas itu sama
artinya dengan bar-bar atau kurangajar, bahkan tidak jarang mereka lupa
sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum” yang secara otomatis segala lingkup kehidupan senantiasa
di awasi oleh hukum.
Statmen yang oleh dari seorang penegak hukum sangatlah
disayangkan dan dinilai tidak pantas, sebab terkesan menghujat ataupun menghina
suatu institusi. Pasal 13 tentang tugas pokok Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah jelas dan tegas disampaikan
bahwa tugas pokok dari polisi diantaranya: memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Institusi Polri tidak melarang kepada siapapun dan
dimanapun untuk berpendapat dan mengkritik. Kritik bagian daripada perbaikan
kinerja, namun tidak dengan cara menghina atau menghujat sebuah institusi. Tentunya
ini bertentangan dengan hukum. Jangan karena segelintir oknum kepolisian, kita
mengeneralisir secara keseluruhan oknum polisi. Padahal masih banyak
polisi baik, jujur, taat hukum, serta berintegritas tinggi akan tetapi tidak
terekpos oleh media.
Membangun
Kepercayaan Publik
“Tidak cukup penjara, tidak cukup polisi dan tidak
cukup pengadilan untuk menegakkan hukum bila tidak didukung oleh rakyat”_Hubert
Humphrey (Politikus dari Amerika Serikat). Untuk mengembalikkan kepercayaan
publik sangatlah tidak mudah. Sebab kerja sendiri tidaklah akan membuahkan
hasil yang maksimal dibandingkan dengan kerja bersama.
Kapolri memiliki tugas yang berat. Dilain sisi, sebagai
bentuk pertanggungjawaban moril kepada Institusi Polri maupun kepada masyarakat.
Di satu sisi, pertanggungjawaban kepada Tuhan atas sumpah yang dilafadzkan pada
saat pelantikan menjadi Kapolri.
Bentuk daripada membangun kepercayaan publik yang
dinilai relevan jika tidak hanya bertumpu pada surat edaran maupun surat keputusan
lainnya. Melainkan membentuk tim khusus yang disebarkan diberbagai titik untuk
meminta saran kepada institusi kepolisian dan daripada saran tersebut yang
berkesesuaian dijadikan pedoman untuk perbaikkan ditubuh institusi kepolisian
itu sendiri.
Penguatan yang perlu dilakukan tidak hanya dilakukan oleh institusi kepolisian
itu sendiri dalam membangun kepercayaan publik, melainkan berkolaborasi dengan
institansi lainnya, mengibaratkan sebuah pesawat, badan pesawat merupakan
lokomotif kepercayaan publik, sayap merupakan institusi kepolisian, mesin
adalah kolabrasi elemen lainnya dalam membangun kepercayaan publik. [*]