Brindonews.com






Beranda Opini Melihat Kartini sebagai Perempuan Bukan Orang Jawa

Melihat Kartini sebagai Perempuan Bukan Orang Jawa

Oleh: Thaty Balasteng

Kartini, perempuan yang menolak dipanggil Nyai itu tak asing diperbincangkan. Pemikiran yang maju di masa feodal telah membuka mata kita tentang kepedulian terhadap orang-orang Hindia Belanda yang jajah kolonisme Belanda dan kaum Bangsawan.





Kehidupannya sejak kecil sangat memilukan. Tembok rumah seolah penjarah baginya. Kartini tidak bisa keluar rumah karena ia perempuan.

Keberuntungan karena ia bisa bersekolah bersama adiknya Rukmini. Ia juga mulai mengenal tulisan dan buku-buku dari kakenya, dan juga kawan-kawan dari Belanda.

Meskipun kehidupan Kartini berada di tengah-tengah kaum priyai, namun masalah yang dihadapi cukup kompleks, dan semuanya di tuangkan lewat tulisan.





Dengan membaca literatur, buku-buku Kartini banyak menghadapi lika-liku kehidupan.

Di usia menginjak 12 tahun, ia telah dipingit dan harus menjadi istri. Bukan keinginananya, tetapi bapaknya dan budayanya. Keinginan Kartini bersekolah ke Belanda pupus.

Beberapa sumber menyebutnya tulisan yang diterbitkan oleh temannya Abandonen– menebus rasa bersalah karena telah menolak Kartini melanjutkan sekolah di Belanda. Sebab awalnya ia sangat mendukung semangat belajar Kartini, tiba-tiba menunjukan perubahan sikap dengan berusaha menghalangi kepergian wanita kelahiran Jepara itu.





Termaksud Stella Zeehandelaar dan Nellie van Kol, istri Henri Hubertus van Kol. Mereka percaya bahwa Abendanon bergerak di bawah bayang-bayang kepentingan politik.  Dalam korespondensi yang terjalin di antara keduanya tersurat anggapan bahwa pemerintah kolonial telah mengorbankan Kartini demi kepentingan tanah jajahan.

Stella Zeehandelar (Belanda) merupakan aktivis perempuan yang giat di Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda bersama Nallie.  Henri Hubertus van Kol, suami Nellie, merupakan salah satu dari 12 pendiri partai oposisi ini.

(SDAP) sering mengkritisi kebijakan kolonial Belanda. Tulisan Fritjof Tichelman yang dimuat dalam Internationalism in the Labour Movement: 1830-1940 (1988: hlm. 104), diketahui bahwa SDAP memang kerap mengkritik kebijakan Pemerintah Belanda terkait wilayah Hindia Belanda. Kelompok ini juga berulangkali melayangkan keberatan atas kebijakan kerja paksa serta keputusan Belanda untuk berperang dengan rakyat Aceh di pengujung abad 19. (Baca tulisan Indira Ardanareswari, Tirto.id)





Surat-surat tersebut yang ditunjukan Stella Zeehandelaar dan Nellie van Kol sebenarnya dapat dipahami. Kegigihan Kartini dan melawan keditatoran Belanda terhadap Hindia Belanda dan budaya yang mengakar perempuan selama ini.

Sementara Stella mengenal Kartini  pada 1899 dari sebuah rubrik majalah perempuan De Holandsche Lelie yang diampuh oleh Nellie van Kol.

Semangat Perlawan Kartini Untuk Emansipasi





Kartini menulis sebab resah dengan kehidupan yang memenjara tubuhnya, menutup ruang gerak perempuan Jawa—mereka menikah diusia dini.  Kenapa ia menulis hanya orang jawa, karena kehidupan di Jawa dikeliling aturan patriakhi, dan itulah lingkungan yang ia saksikan kala itu.

Tulisan dikirimkan itu bukan hanya sekadar surat biasa, tapi isinya syarat akan makna emansipasi dan kesetaran. Sebab itulah, buku yang diterbitkan oleh kawannya di Belanda laris di mana-mana.

Jika Kartini sebagai ketubuhan dan pemikirannya, dilihat berdasakarkan sukuisme atau “hanya orang jawa pemikirannya maju”. Orang Madura, atau orang Halmahera terkebelakang justru kita sendiri yang mengkotak-kotak, meletakan pemikiran Kartini sebagai orang Jawa, bukan sebagai perempuan yang berani menuliskan catatan perlawanan, apalagi sampai menolak pemikirannya yang maju. Kita  telah melenceng jauh dari integritas perempuan dan gerakan perempuan untuk pembebasan.





Kita hanya akan melahirkan sentimen antara perempuan berdasarkan ras. Sangat disangyangkan jika menggunakan sudut pandang ini untuk mengangkat kehebatan perempuan berdasarkan etnis.

Kartini tidak mengajak berkonde, atau perempuan suka berkebaya. Justru tulisan kartini mengajak perempuan maju pemikirannya, keluar dari ketertindasan bikinan Belanda dan feodalisme di Hindia Belanda.

Kehidupan Kartini sama halnya kehidupan perempuan di Indonesia, di  kungkung, didomestikan oleh budaya yang mewajibkan.





Yang seharusnya patut dicurigai adalah Orde Baru yang telah membungkam gerakan perempuan. Besar kemungkinan menyudutkan perempuan yang menurut Pram senang di “Panggil Aku Kartini”  sebagai bikinan Belanda. Sebab Orde Baru telah mematikan gerakan perempuan yang revolusioner dan membatasi ruang geraknya.

Kenapa harus mencurigai Kartini sebagai penjajah, sementara kehidupan Kartini sejatinya juga “dijajah” habis-habisan.

Di belahan dunia lain, ada tokoh perempuan yang juga sama menulis kehidupan di sekitarnya. Sebab itulah realitas misalnya Clara Zkhatin,  tempat ia hidup sangat dekat dengan pabrik. Clara melihat kesewenangan yang dilakukan pemilik alat produksi terhadap buruh/pekarja perempuan di Jerman.





Ada Alexsander Kollontai, lahir 31 Maret 1872. Seorang Marxsis Revolusioner berjuang untuk pembebasan perempuan, mendorong gerakan sosialis di Rusia untuk mengorganisir pekerja perempuan, menuntut hak kesetaraan pekerja.

Sementara di Indoneseia di Maluku Utara, ada istri Tirto, yaitu princes Kasiruta yang merupakan perempuan jurnalis pertama. Ada mama Aleta, tokoh ekofeminis Papua yang patut diacungkan jempol dan dijadikan sebagai spirit perjuangan karena melawan kepentingan kapitalisme yang menjajah tanahnya.

Tulisan ini bertujuan sebagai penyatuan perempuan untuk maju dan tetap bersolidaritas. Karena begitu banyak perempuan mengalami diskriminasi, mulai dari kekerasan di dunia karja, di rumah hingga ruang umum.





PHK sepihak seperti yang dialami Riska dan 75 kawan-kawannya di Kota Ternate oleh PT. KMS. Dimana upah buruh tidak diberikan sehingga saat ini. Mereka masih menuntut bahkan sampai melakukan pelaporan ke Disnaker Kota Ternate, namun sampai saat ini mediasi belum membuahkan hasil.

Masih banyak persolan perempaun pekerja yang belum tertuntas, ditambah lagi dengan pengesehan Perpu Ciptaker Nomor 5 Tahun 2013 tentang Temotongan Upah 25 persen.

Masalah perempuan saat terletak pada tubuh negara dan kapitalisme yang mereduksi perempuan berada di bawah ketiak patriaki. Seperti diceritakan dalam sejarah penindasan perempuan.





Gerakan perempuan akan terlihat masif jika seluruh perempuan bersatu melawan ketidakadilan. Seperti Gerwani yang memobilisasi perempuan mulai dari desa sampai kota.  Seperti gerakan buruh perempuan di New York dan Benua Eropa.

Sebab Gerakan Revolusioner adalah penyatuan gerakan nasional sampai internasinal, hingg sampai ke daerah-daerah, untuk menumbungkan rezim yang otoriter.





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan