Brindonews.com
Beranda Opini Perempuan Milenial Cerdas Memilih: Yang Anti-Korupsi – Yang Anti-Kekerasan

Perempuan Milenial Cerdas Memilih: Yang Anti-Korupsi – Yang Anti-Kekerasan

Steffi Graf Gabi,
S.Pd

Koordinator Kajian Perempuan – Jaringan Milenial
Anti-Korupsi dan Anti-Intoleransi





(JARING MILEA)





EKERASAN terhadap perempuan dan anak masih
terjadi, baik di ruang privat maupun
publik. Negara juga masih kerap mentolerir kekerasan dan 
diskriminasi.
Vanessa Angel, hanya salah satu korban diskriminasi yang dilakukan aparat
negara pada ruang publik. Sedangkan Baiq Nuril, mendapatkan perlakuan lebih
pahit, niat membuktikan pelecehan seksual yang dialaminya justru ditetapkan
menjadi tersangka pelanggaran UU ITE. 

Tentu
kita juga tidak lupa bagaimana Meiliana di Tanjung Balai, seorang ibu keturunan
Tionghoa, yang dipersekusi oleh massa karena bertanya tentang pengeras suara
masjid yang semakin kencang, pada temannya di warung. Dia bersama anaknya
hampir dibakar hidup-hidup dalam rumah sarang walet yang ditungguinya sebelum
akhirnya berhasil meloloskan diri lewat belakang, ditolong tukang becak. Ibu
Meiliana akhirnya divonis 18 bulan penjara, sedangkan para perusuh divonis
paling lama 2 bulan 18 hari.

Komnas
Perempuan mencatat 348.446 kasus kekerasan yang dialami perempuan (Catahu, 2018), pelanggaran hak anak 4. 885
kasus (KPAI, 2018), eksploitasi terhadap perempuan di tempat kerja, pemenuhan
Hak Cuti Haid (Pasal 81 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan), Hak
Menyusui (Pasal 83 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan) dan Hak Bayi
(Pasal 28 UU No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) yang belum sepenuhnya
direalisasikan. Diskriminasi regulasi terhadap batas usia perkawinan untuk
perempuan, usia relatif muda yakni 16 tahun (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan), dan terakhir adanya perlakuan tidak adil terhadap perempuan
pekerja migran.





Ini
menunjukkan bahwa negara, khususnya melalui lembaga legislatif belum serius
menyikapi persoalan yang kerap dihadapi perempuan dan anak. Perempuan dan anak
memiliki hak untuk hidup nyaman dan aman tanpa kekerasan dan diskriminasi, yang
semestinya menjadi perhatian dan diperjuangkan oleh anggota legislatif

Pengesahan
RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu solusi struktural guna
pencegahan terhadap kekerasan seksual, menegaskan realisasi pemenuhan hak buruh
perempuan oleh seluruh pemberi kerja/perusahaan, termasuk perlunya segera
merevisi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan sebagainya.

Keengganan
anggota dewan untuk mengesahkan RUU, termasuk RUU yang berkaitan dengan
perlindungan perempuan adalah sikap koruptif yang mendarah-daging. Sikap
koruptif ini yang kemudian menjadi fenomena intoleran yang terstruktur terhadap
kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan masih dianggap ornamen pelengkap
perundang-undangan, dan bukan hal urgen.





Data
dan fakta di atas menunjukan bahwa masih ada banyak agenda dan hal penting
terkait kepentingan perempuan dan anak yang harus diperjuangkan, termasuk dalam
lembaga politik melalui pemilihan umum. Karena itu, kami mengajak seluruh
perempuan Indonesia untuk tidak diam dengan kepentingannya, jangan apatis
apalagi pragmatis. Sebaliknya, harus aktif dan siap menjadi pemilih cerdas pada
Pemilu April 2019. Perempuan Indonesia harus menjadi pemilih rasional dan
berani memilih calon legislator berkompeten dan yang mau memperjuangkan
kepentingan serta hak perempuan dan anak.

“ Perempuan
Indonesia jangan memilih calon legislator dan pejabat publik yang hati dan
pikirannya mati terhadap berbagai persoalan perempuan dan anak di Indonesia”. (*)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan