Yang Harus Dilakukan Pemerintah Madium Atasi Kendala Pendidikan Inklusif

![]() |
Sandya Cahya Abadi. (istemewa). |
Sandya Cahya Abadi | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Pendidikan inklusif merupakan bagian dari kebijakan pendidikan
nasional di Indonesia. Akan tetapi berbagai perundang-undangan, peraturan
pemerintah dan peraturan menteri, belum sepenuhnya mengadopsi
pendidikan inklusif sebagai salah satu pendekatan dan prinsip dalam penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia.
Hal itu kemungkinan merupakan sebuah fase peralihan menuju sistem
pendidikan inklusif. Dengan demikian, harus ada penyempurnaan kebijakan dengan
mengadopsi paradigma pendidikan inklusif yang sesungguhnya. Bahwa pendidikan
inklusif merupakan salah satu upaya bagi pemerataan kesempatan pendidikan dan
meningkatkan partisipasi anak bersekolah.
Masih banyak Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang belum memperoleh hak
Pendidikan. Menurut data Direktorat PSLB, Kemensos Tahun 2007 menyebutkan, jumlah ABK yang
sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7 persen atau sekita 78 ribudari sekitar 300 ribu anak
di Indonesia. Itu artinya masih terdapat sekitar 65 persen ABK yang masih terabaikan
hak pendidikannya (Sunaryo 2009).
Pada tahun 2012, data Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
(DPKLK) Kemendikbud menyatakanjumlah anak berkebutuhan khusus di
Indonesia mencapai satu juta orang. Dari jumlah ini, hanya 85 ribu anak (25,92%) yang
mendapat layanan pendidikan formal, baik di sekolah khusus (SLB) ataupun sekolah
inklusif. Artinya, masih ada 200 ribu anak berkebutuhan khusus (74,08%) yang belum
mengenyam pendidikan di sekolah.
Sementara itu, Pusat data dan Informasi (Pusdatin), Kemensos
memaparkan bahwa pada tahun 2011, terdapat sekitar 4,8 juta jiwa anak penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Indonesia, yang terdiri dari anak telantar
tiga juta anak jalanan: 83 ribu jiwa dan anak nakal: satu juta jiwa.
Anak yang termasuk kategori PMKS, seharusnya menjadi bagian dari “anak
berkebutuhan khusus”. Artinya jumlah anak berkebutuhan khusus akan makin besar.
Apabila terdapat koordinasi antara Kementerian Sosial dan Kemendikbud untuk menyatukan
sistem pendataan siswa berkebutuhan khusus dan anak PMKS, maka akan didapatkan
gambaran yang lebih utuh sehingga akan memudahkan
analisis kebutuhan dalam perencanaan pendidikan inklusif.
Seharusnya, hakikat pendidikan inklusif di Indonesia harus ada
penggabungan pendidikan reguler dan pendidikan khusus ke dalam suatu sistem
sekolah. Hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan
semua siswa yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pemerataan pendidikan. Pasal 5 ayat (1) menyatakan
bahwa “Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Kemudian
Pasal 11,
ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Maka dari itu, sebaiknya harus ada pendidikan yang sama rata sebagaimana dikemukakan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. Mewajibkan pemerintah kabupaten/kota
menyediakan paling sedikit satu GPK pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
Selain itu, untuk meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik
dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan serta penyelenggara pendidikan
inklusif, dan dalam hal ini pemerintah provinsi wajib membantu tugas–tugas dimaksud (baca Pasal 10).
Dalam implementasinya, masih terdapat kekurangan guru, terutama GPK. Artinya,
peraturan sebagaimana dikemukakan di atas tidak dapat dijalankan karena adanya kendala
kurangnya sumber daya guru, khususnya GPKdi daerah. Keberadaan mereka masih
dirasakan menjadi masalah utama, khususnya bagi sekolah yang lokasinya terlalu
jauh dari SLB, karena sering kali GPK merupakan guru SLB yang mendapat tugas khusus.
Penugasan khusus guru SLB sering kali masih menjadi masalah karena
kebijakan tentang hal ini belum berjalan semestinya. Contohnya,seperti Pendidikan inklusif
di Kota Madiun yang di
tunjukkan dari Dinas Pendidikan yakni SD Negeri 02 Winongo,SD Negeri 02 Taman,SMP Negeri 8 Madiun,SMP Negeri 9 Madiun dan SMP Negeri
10 Madiun.
Kendala yang
dihadapi Sekolah Inklusif di Kota Madiun Ada 2 (dua) hal. Yaitu tenaga kependidikan
khusus yang menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK), dan masalah fasilitas atau
biasa disebut dengan sarana dan prasarana.
Imbas GPK di
sekolah-sekolah inklusif di Kota Madiun belum ada, orangtua siswa berkebutuhan
khusus mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjadi pendamping. Pendampingan biasanya
dilakukan tante, kakak, paman, dll. Bagi orangtua siswa dari keluarga mampu, mereka
menyewa seorang shadow teacher dan guru-guru
yang ditempatkan pada
pendidikan inklusif mesti memiliki penguasaan
akan fungsi dan
tugas yang lebih dibandingkan
dengan guru.
Tugas Guru
Pembimbing Khusus adalah menyusun instrument asesmen pendidikan bersama-bersama
dengan guru kelas dan guru mata pelajaran; membangun sistem
koordinasi antar guru, pihak
sekolah dengan orangtua
siswa; memberikan bimbingan kepada
anak berkalainan, sehingga anak
mampu mengatasi hambatan
atau kesulitan dalam belajar; memberikan bantuan; dan sharing pengalaman kepada guru
kelas dan/atau guru mata
pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan khusus kepada anak
luar biasa yang membutuhkan.
Kenyataan di
lapangan, sekolah-sekolah inklusif di Kota Madiun belum menunjukkan hal-hal
yang diamanatkan Permendiknas di atas. Tentu ini menyebabkan kurang siapnya sekolah
dalam melaksanakan layanan pendidikan inklusif. Sekolah inklusif harus memiliki
tenaga pendidik khusus atau yang disebut dengan GPK.
Namun kenyataan di sekolah-sekolah inklusif di Kota Madiun belum
memilikinya sama sekali. Inilah yang menyebabkan sekolah belum siap untuk
melaksanakan layanan pendidikan inklusif secara maksimal.
Apabila seluruh sekolah inklusif di Kota Madiun mendapatkan pelatihan
tentang pendidikan inklusif, maka sudah tentu akan memahami penuh tentang pelaksanaan
layanan pendidikan inklusif. Dan Apabila kendala-kendala yang di
hadapi oleh sekolah-sekolah inklusif di Kota Madiun teratasi, layanan
pendidikan inkusif di sekolah-sekolah inklusif akan berjalan secara baik dan
benar dengan sendirinya.
Apabila sekolah-sekolah inklusif sudah menyatakan siap dalam
melaksanakan layanan pendidikan inklusif, sudah seharusnya Dinas Pendidikan Kota
Madiun memperhatikan layanan pendidikan inklusif yang terselenggara dan segera
melakukan pemenuhan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh sekolah inklusif.
Mungkin adanya perangkatperundang-undangandankebijakan pemerintah, telah
mendukung ke arah penyelenggaraanpendidikaninklusif,meskipunperaturan perundangan yang
ada masih perlu disempurnakan dan yang lebih penting juga disosialisasikan.
Akan tetapi, sejauh mana amanat tersebut akan dilaksanakan olehpemerintahkabupaten/kota,sekolahreguler,dan pihak-pihakterkaitlaintermasukmasyarakat.
Halyanglebihpentingadalahkesinambungan penyelenggaraanpendidikaninklusifuntukmemberikanaksesbagisetiapwarganegara dengansegalaperbedaan. Hal itu akan
terwujudjikasemuapihakmempunyaipersepsi dan pemahaman
yang sama terhadap pendidikan inklusif. Tidak ada lagi yang berpendapat bahwa
pendidikan hanya akan efektif jika
peserta didik homogen,yangunggulbergabungdengan yangunggul, yangberbakatistimewaberkumpuldenganyangberbakatistimewa,yang penyandang
disabilitas dengan penyandang
disabilitas.Pandangantersebutakan mengkotak-kotakkan
peserta didik serta melahirkan perasaan superioritas dan inferioritas.(*)