Tambang Bagaikan “Bom Waktu” di Maluku Utara

![]() |
Penuis: TEGUH .RM. SH. MH. Advokat/konsultan Hukum Pertambangan yang terhimpun di Konsultan Hukum Pertambangan Indonesia (HKHPI). Ketua LBH AMPI. D.I. Yogyakarta dan Pengurus Peradi Bantul. |
ekayan sumber daya alam yang dimiliki Negara Indonesia terbilang sangat melimpah. Hampir seluruh
Di
|
Isu tambang
di Maluku Utara saat ini menjadi bahan pembahasan/kajian hampir di semua
kalangan.Bahkan beberapa saat lalu muncul pemberitaan kekhawatiran akan dampak pertambangan.
Pemberiaan itu dimuat/publikasi di salah
satu media online daerah (kumparan)
pada 19 Desember 2019 dengan judul“Pemerhati Khawatir Tambang Di Malut Pengaruhi Sektor Perikanan”. Sekilas mengutip, banyaknya industri pertambangan di Maluku Utara (Malut)pangkalkekhawatirkan ini
muncul, karena bisa memengaruhi
sektor perikanan, salah satunya yang dinilai dapat
berdampak adalah aktivitas pembuangan limbah tambang ke wilayah pesisir.313 Izin usaha pertambangan (IUP)yang sebagian besar berorientasi atau bermuara
kepesisir akan memberikan dampak buruk pada ekosistem perairan. Seperti terumbu karang, padang lamun, hingga mangrove dan
pasti tidak luput terhadap sektor perikanan.
Dari urain di atas, merupakan bentuk nyata kecemasan masyarakat terhadap aktivitas
pertambangan. Sehingga menjadi pertanyan besar bagaimana kegiatan pertambangan
tersebut tidak menimbulkan kecemasan pada masyarakat?.
Jika dicermati, isi dari
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)adanya penekan yang berorientasikan
kepada berbasis perlindungan lingkungan.UU Minerba memiliki semangat dan tujuan yang sangat
baik dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan. Terlihat dari Asas dan tujuan UU Minerba menyebutkan dalam Pasal 2; pertambangan mineral
dan/atau batubara dikelola berasaskan: (a). manfaat,
keadilan, dan keseimbangan;(b).keberpihakan kepada kepetingan bangsa; (c).
partisitif, transparansi, dan akuntabilitas;(d).
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Cita-cita
yang dibangun oleh pembuat undang-undang terkesan jauh dari konflik yang akan timbul dari pertambangan.
Selain itu Pasal 3 UU Minerba menjelaskan,negara
berharap untuk mendapatkan dukungan dalam rangka mendukung pembangunan
nasional.Regulasi terhadap aktivitas pertambangan
sebenarnya cukup memberikan prokteksi yang baik. Harus disadari celah-celah
atau potensi-potensi penyimpangan dalam penerapan regulasi selalu ada, namun
ini menjadi tugas bersama dan butuh kesadaran bagi semua elemen untuk mencapai
tujuan bersama yaitu kesejahteraan.
Selain
itu, UU Minerba juga memberikan kewajiban pada pemengang
IUP. Kewajiban tersebut di atur dalam Pasal 95 samapai Pasal 112. Tentu kewajiban yang paling mendasar terhadap
pemegang IUP, diharuskannya menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik dan
tentu tidak mengabaikan kewajiban dan mematuhi batas toleransi daya dukung
lingkungan. Tidak berhenti sekadar kewajiban saja yang harus dipatuhi oleh
pemegang IUP dan IUPK tetapi ada sanksi yang akan diterima ketika pemegag IUP tersebut
tidak mentaatinya. Sanksi tersebut termuat dalam UU Minerba Pasal
151 – 157 untuk sanksi tersebut berupa
sanksi administratif. Lebih lanjut lagi selain sanksi admisistratif, UU Minerba
juga menerapkan sanksi pidana terhadap pemgang IUP yang lalai akan kewajibannya
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 158 – 165 UU Minerba.
Dalam
hal ini yang tidak kalah penting lagi yaitu, peran menteri ESDM, kepala daerah
selaku instrumen pemerintah yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam
kegiatan pertambangan. Adanya kewengan
yang dimiliki pemerintah agar pelaksanaan aktivitas pertambangan tersebut
berjalan sesuai yang diharapkan oleh negara. Kewenangan tersebut secara
eksplisit jelas dalam UU Minerba Pasal 139-145, pemerintah
dapat melakukan pembinaan, pengawasan, dan perlindungan masyrakat. Bahkan dalam
Pasal 151 ayat (2) secara tegas menyebutkan pemerintah dapat mencabut IUP.
Peran
pemerintah memang diperlukan untuk lebih aktif, dengan maksud dan tujuan untuk memberikan
perlindungan hukum. Secara teori subyek hukum selaku pemikul hak-hak dan
kewjiban (de drager van de rechet en plichent), baik itu manusia (naturlijke persoon), badan hukum (rechtpersoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan
hukum berdasarkan kemampuan (bekwaam)
atau kewenangan (bevoegdhied) yang
dimilikinya.
Oleh
karenanya penegakan hukum dibidang pertambangan harus ditegakkan oleh
pemerintah selaku yang memiliki kemampuan (bekwaam)
dan kewenangan (bevoegdhied).
Penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh pemerintah melakukan pengawasan dan
penerapan sanksi. Karena pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksa
kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi
merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan (Philipus M. Hadjon).
Terkait
kekhawatiran masyarakat Maluku Utara yang timbul akibat aktivitas pertambangan, penulis berpendapat pemerintah harus berani mengambil sikap tegas untuk
melakukan penegakan hukum administrasi negara di bidang pertambngan. Lakukan
pengawaan yang benar. Berikan pembinaan bagi pelaku usaha pertambangan bahkan
terapkan sanksi yang maksimal kepada pemegang IUP, yang tidak taat aturan. Jika
hal tersebut tidak dilakukan pemerintah, kekhawatirkan dan kecemasan masyarakat Maluku Utara akan berwujud keanyataan. Diibaratkan
sebagai sebuah “bom waktu” yang siap meledak dan sukar untuk
dihentikan, sehingga mengancam ekosistem perairan Maluku Utara.