Pendapat Pakar Hukum: Ada Peluang Voorbedachte Raad dalam Kasus Mario Dandy
Dr. Hasrul Buamona, S.H., M.H. |
======
Dr.
Hasrul Buamona, S.H., M.H.
Advokat dan Pakar Hukum Pidana Kesehatan
Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Belum lama selesainya kasus Sambo yang menggemparkan
kondisi berhukum di Indonesia, kemanusiaan berhukum kita kembali dihadapkan dengan kasus penganiyaan
yang alami oleh David_anak dari Jonathan Latumahina yang merupakan salah satu
petinggi GP Anshor.
Perbuatan
penganiyaan yang alamiDavid diduga dilakukan oleh Mario Dandy_anak dari Rafael Alun Triambodo. Rafael Alun Triambodomerupakan pegawai Ditjen
Pajak Kementerian Keuangan.
Melalui
media online nasional Mario Dandy dan Shane telah ditangkap dan dijadikan
tersangka oleh penyidik Polres Jakarta Selatan, yang kemudian Mario Dandy dan
Shane telah dijerat dengan Pasal 76c juncto Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 351 ayat (2) KUHP.
Apabila kembali
melihat kronologis kasus yang dimuat dalam media online nasional, di mana sebelum
perbuatan pidana dilakukan oleh Mario Dandy dan Shanediawali dengan aduan seorang perempuan berinisial A
yang menyulut emosiMario Dandy. Dari sini sudah tentu terbuka peluang bahwa
perbuatan pidana tersebut, tidak dilakukan dengan spontan, namun memiliki unsur
rencana lebih dahulu (voorbedachte raad). Hal ini dikarenakan sebelum
melakukan perbuatan pidana tersebut, Mario Dandy sempat “mengkonfirmasi”
dan “mendatangi langsung” David dirumah temannya, serta A sempat menghubungi
David dengan alasan ingin “mengembalikan kartupelajar”.
Dari kedua
pasal ini, sudah tentu memiliki perspektif hukum dan konstruksi hukum yang
berbeda, di mana ketika penyidik menggunakan Pasal 76c juncto Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), maka secara yuridis terdapat
sifat khusus undang-undang, dikarenakan subjek hukum dalam hal ini korban belum
berusia 18 tahun.
Perlu
diketahui,
dalam UU Perlindungan Anak menganut Double
Track System yakni sistem dua jalur terkait “sanksi pidana” pada satu sisi,
dan “sanksi tindakan” pada satu sisi yang lain, yang mana ini berbeda dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menganut Singel Track System. Namun harus diketahui bahwa tindak pidana yang
diduga dilakukan oleh Mario Dandy merupakan Mala
in Se artinya suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan dalam norma hukum
pidana secara positif, namun sudah merupakan suatu kejahatan.
Dari kedua pasal di atas, muncul
pertanyaan hukum apakah pasal-pasal tersebut telah tepat untuk menjerat Mario Dandy
dan Shane?,
ataukah terdapat pasal lain yang lebih menjawab baik secara akademis, praktik
dan keadilan bagi korban yang sudah tentu merupakan hukum tertinggi? seperti
yang pernah diucapkan oleh Alm. Prof. Sajipto Raharjo bahwa bukankah hukum itu dibuat
untuk manusia dan bukan untuk hukum.
Dalam
mengkonstruksi kasus pidana, tidak bisa melepaskan diri dari ajaran hukum
pidana baik secara asas, teori dan bahkan keadilan itu sendiri. Dalam kasus
pidana, tempus delicti dan locus delicti merupakan keniscayaan yang
tidak bisa diabaikan, dikarenakan tempus delicti dan locus delicti inilah yang menjadi pintu awal untuk mengetahui siapa
menjadi korban, siapa yang menjadi
pelaku dan siapa yang menjadi saksi-saksi serta terkait dengan barang bukti
yang terdapat dalam tempat kejadian perkara. Hal-hal penting inilah yang
kemudian sangat membantu dalam menemukan Elementen
Delicts dan Bestandelen Delicts untuk
memperkuat pembuktian kesalahan dan sifat melawan hukum pembuat pidana dalam
persidangan.
Apabila
melihat kedudukan korban yang masih dikategorikan anak sesuai UU Perlindungan
Anak, maka sifat khusus undang-undang terpenuhi. Akan tetapi perlu diketahui
bahwa terdapat kelemahan secara hukum, dikarenakan pengaturan norma pidana
dalam UU Perlindungan Anak tidak begitu baik dalam membuat klasifikasi
perbuatan pembuat pidana dan ketidakseimbangan dengan ancaman pidana.
Hal ini
terlihat di mana UU Perlindungan Anak tidak memuat Elementen Delicts dan Bestandelen
Delicts, terkait kualifikasi “kekerasan terhadap”. Sedangkan kekerasan terhadap
korban anak bisa beragam sifat dan jenis perbuatannya baik yang menimbulkan
kekerasan sampai menimbulkan kematian bagi korban anak.
Selain
itu tidak tercantumnya unsur “rencana lebih dahulu” sebagai Bestandelen Delicts dalam pengaturan
norma pidana UU Perlindungan Anak. Berbeda halnya dengan KUHP produk Belanda,
di mana jenis, sifat, kualifikasi
perbuatan pembuat pidana sangat jelas.
Sebagai
contohnya perbuatan pidana seseorang yang mengakibatkan matinya seseorang tidak
hanya diatur dalam Pasal 340 KUHP dan Pasal 338 KUHP, namun terdapat juga dalam
Pasal 170 ayat (2) ke-3, Pasal 359 KUHP dan Pasal 355 ayat (2) KUHP.
Menurut
penulis,
apabila dikaitkan dengan kronologis singkat di atas, terbuka peluang terdapat
unsur “voorbedachte raad” sebagai
inti delik (Bestandelen Delicts) yang
tidak bisa diabaikan oleh penyidikdikarenakan ada fakta dimana
perbuatan pidana tersebut tidak secara spontan dilakukan oleh pembuat pidana.
Namun
didahului dengan tindakan “konfirmasi” dan “mendatangi korban” sebenarnya perbuatan
ini merupakan inti delik itu sendiri, selain itu ada akibat yang menyebabkan
korban masuk rumah sakit mendapatkan perawatan serius. Maka secara hukum, Pasal
351 ayat (2) KUHP tidak tepat digunakan oleh penyidik untuk menjerat Mario
Dandy dan Shane, dikarenakan tidak terdapat “voorbedachte raad” sebagai Bestandelen
Delicts dari kesalahan dan sifat melawan hukum para pembuat pidana.
Menutup
tulisan ini, penulis sampaikan sekalipun UU Perlindungan Anak berada dalam
konteks sifat khusus undang-undang, namun dikarenakan terdapat kelemahan secara
perumusan norma pidana dalam UU Perlindungan Anak seperti telah jelaskan di
atas yang mana berpotensi tidak hanya merugikan kepentingan hukum Korban dan
melainkan juga merugikan kepentingan publik.
Maka
secara hukum Pasal 355 ayat (1) KUHP yang tepat digunakan dalam kasus ini.Dikarenakan memiliki keterkaitan
dengan fakta-fakta hukum, perumusan unsur-unsur pidana, kesalahan dan sifat
melawan hukum pembuat pidana dan akibat dan penderitaan yang dialami oleh David
selaku Korban Anak. Menurut penulis, benar adanya bahwa hukum pidana menuntut adanya legalitas, namun hukum pidana juga tidak menutup untuk
membangun pemikiran yang adil dan rasional.(*)