Anggapan Pemuas Seks dan Perempuan Bukan Pelaku Pemerkosa
TERNATE, BRN – Himpunan
Mahasiswa Program Studi Geografi (Himapro Geo) Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan atau STKIP Kieraha
menggelar dialog bertajuk stop intimidasi
perempuan. Diaolog itu dalam rangka memeringati Hari Ibu 22 Desember 2019.
Ketua Himapro Geo STKIP Iskandar
Malik menjelaskan, tema atau tajuk tersebut dipilih untuk memperkuat dukungan
dalam upaya pencegahan intimidasi atau serangan bernuansa seksual, termasuk
ancaman yang bahkan bermuara pada pelecehan. Selain itu, lebih spesifik pada menghentikan
kekerasan dan atau pelecehan pada perempuan, baik itu kekerasan dalam bentuk verbal
atau kekerasan secara fisik.
Iskandar mengemukakan,
komukasi yang kurang baik bisa berdampak pada intimidasi. Penggunaan bahasa (verbal bullying) yang menyinggung lawan bicara memiliki efek yang lebih kuat
dibandingkan bullying yang
dilakukan dengan kekerasan fisik.
“Disisi lain perempuan juga perempuan secara
signifikan lebih kontemporer terhadap penampilan. Artinya, harus rubah gaya
penampilan untuk mengurangi bullying,
karna secara realita paradigama laki-laki itu selalu berubah-rubah sesuai
dengan kondisi lingkungan,” katanya.
Ketua Bidang Pemberdayaan
Perempuan Himapro Geo, Rahmawati menjelaskan, alasan dipilihnya tema tersebut
seiring beberapa kasus di Maluku Utara yang notabanen korbannya perempuan. “Salah
satu contohnya adalah kasus saudari Kiki Kumala pada Juli lalu,” katanya mencontohkan
peristiwan yang dialami Kiki.
Rahmawati berpendapat, selain
memeringati hari ibu, juga bentuk kampanye untuk
mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dalam upaya ini,
bukan hanya dipandan perlu membangun strategi memberikan pemahaman soal
kekerasan berbasis gender, khususnya yang dialami perempuan, melaikan kekerasan
seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap
perempuan.
“Persoalan ketimpangan relasi antara pelaku dan korban adalah akar
kekerasan seksual tehrhadap perempuan. Ketimpangan pun bisa makin parah bila
salah satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban,” jelasnya.
Astuti J. Kilwouw, diawal
materinya menyentil peran perempuan di industri 4.0 dan menjelaskan kepada
peserta menyangkut memahami konstruki gender. Menurutnya, pemahaman konstruki gender
menjadi proteksi atau benteng utama.
Astuti bilang, industri 4.0
tidak hanya mendakan kemajuan dan perkembangan teknologi saja, tetap juga
memicu bahkan melahirkan bullying
terhadap perempuan. “Penggunaan media sosial seperti facebook, twiter, instagram
dan media sosial lainnya seringkali dipakai membuli orang lain. Nah ini
sebenarnya basisnya adalah persoalan kultural,” kata Tuti, begitu dia disapa
sehari-hari.
Ka Tuti menerima cendramata dari Rahmawati, Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Himapro Geo. |
Banyak yang Anggap Perempuan Pemuas Seks
Alumnus megister hukum di
UII Yogyakarta ini mengemukakan, laki-laki saat
ini cenderung menganggap perempuan sebagai obyek pemuas seksual. Di
tengah kegalauan ikhwal tubuh, Astuti melihat dibalik pinggul yang aduhai dan payudara
yang montok ternyata menyimpan sejarah kelam yang kerap mendiskriminasikan
perempuan dan meminggirkannya dalam percaturan peradaban. Bahkan telah
menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan dalam berbagai epifeni terburuk
dalam sejarah.
“Apakah perempuan yang
menjadi korban itu berkontribusi terhadap korban kekerasan seksual terhadap perilaku
?, pekau melakukan tindakan [pelecehan] itu karena masih termakan dengan bentuk
tubuh atau potongan-potongan daging yang menempel di tubuh seorang wanita. Misalnya
bentuk payudara, pinggul dan segala intrumen yang mendukukung penampilan si
wanita,” jelasnya.
Astuti mengatakan, kekerasan
seksual bisa dialami siapa saja, terjadi dimana saja dan kapan saja. Gaya style atau penampilan yang tidak
menunjukkan bentuk tubuh/bodi belum tentu menjamin seorang perempuan jauh dari prilaku bejat seorang
pria.
“Bahkan di rumah sendiri
dan orang terdekat sekalipun perempuan dijadikan korban. Ini soal paradigma, bukan
soal tubuh perempuan yang kemudian dijadikan alasan,” terangnya. “Bahkan bayi
usia 9 bulan dan wanita berusia 80 tahun pun pernah jadi koban kekerasan
seksual,” kata Astuti menambahkan.
Wanita Bukan Pelaku Pemerkosa
Pakaian
korban kerap disalahkan sebagai alasan seseorang mengalami pelecehan, kekerasan
seksual, hingga pemerkosaan. Perempuan yang berpakaian terbuka dianggap
berpotensi menjadi obyek bagi pelaku pelecehan seksual hingga pemerkosaan, dan
yang berpakaian tertutup dipandang lebih aman.
Hal
dominan yang menyebabkan mengapa pelaku melakukan perkosaan, kata Astuti adalah
karena pelaku merasa ‘berhak’. Bahkan dalam beberapa kasus, sebagian besar pelaku
merasa tidak bersalah atas tindakannya.
Tuti mengatakan,
menyalahkan pakaian perempuan menjadi salah satu perlakuan menyalahkan korban. Model
baju, keadaan sepi, atau apa pun tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan
pemerkosaan. “Sekalipun laki-laki
bertelanjang di hadapan saya, tidak akan mungkin saya memperkosa dia. Saya
punya hasrat sama halnya wanita pada umumnya, tapi bukan soal itu, karena
memang wanita bukan pelaku pemerkosa,” tandasnya.
Pentingnya Pendidikan Seks
Tuti menyebut pemahaman
anak tentang pendidikan seksual sejak dini bukanlah hal yang tabu. Adapun edukasi
seks dimaksudkan bukan mendemokan, memperagakan atau membahas soal sexual intercourse tetapi lebih pada pengenalan organ tubuh dan fungsinya kapada.
“Jangan diasumsikan
pendidikan seks itu kita mengajarkan hal-hal tidak senonoh kepada anak, atau
mengajarkan bagaimana cara berhubungan intim. Kita beritahu area-area tubuh
mana yang sensitif dan tidak boleh di pegang, caranya
harus memulainya dari hal yang simpel dan mudah di pahami anak,” jelasnya.
Memberikan edukasi seks sejak dini
menurut Astuti, berimbas pada mental anak yang menjurus kepada pornografi. Anak-anak
harus tahu tentang konvensi sosial dasar privasi, termasuk ajari dan awasi anak-anak
saat menggunakan komputer dan perangkat seluler dengan aman. (brn)