Brindonews.com






Beranda Opini Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie: Guru yang Memperjumpakan Kebinekaan

Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie: Guru yang Memperjumpakan Kebinekaan

Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie. (istimewa)

   

    Oleh Gufran A. Ibrahim [Ibrahim Gibra] 





    Profesor Antropolinguistik Universitas

    Khairun. Abnaul Khairaat. Ketua Umum

    IKAAL
Maluku Utara Periode 2004-2019.





 

Ada banyak bukti jejak keulamaan dan ketokohan Guru
Tua—begitu semua murid dan para murid dari murid-muridnya menyapa Allah yarham
Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie (selanjutnya saya sebut Guru Tua)—dalam
memperjumpakan pribadi, komunitas, dan warga masyarakat ke dalam satu ruang
bersama yang bernama Indonesia, sepanjang perjuangannya dalam mencerdaskan
warga.

Perjumpaaan pertama





Kita mulai dari bukti historis tentang murid-murid
mula-mula Guru Tua. Jumlahnya tak banyak. Kurang lebih tujuh belas orang.
Murid-murid ini berasal dari daerah-daerah seputaran Sulawesi Tengah. Guru Tua
menyebut para murid mula-mula ini sebagai
bākûratul khairāt ‘generasi mula-mula Alkhairaat.’



Para murid mula-mula ini memang berasal dari
daerah yang secara kultural relatif sama.Hanya ada satu atau dua berasal dari
luar Sulawesi Tengah.





Tetapi kepada para murid mula-mula inilah Guru Tua
berhasil menanamkan semangat berjuang dalam menyiarkan Kebaikan (dengan K
kapital). Generasi mula-mula ini dididik oleh Guru Tua menjadi guru yang dengan
berani dan ikhlas pergi ke pelosok kampung di sejumlah wilayah Sulawesi.

Kemudian para murid berikutnya terus bertambah, bertambah, dan menjadi semakin
luaslah bersebar dan bertebar ‘anak panah’ Alkhairaat itu ke berbagai pelosok
kampung di luar Sulawesi Tengah, ke Sulawesi Utara, Maluku (Utara), Kalimantan,
dan sejumlah wilayah lainnya.

Ada yang menarik dari jejak sejarah
pengembangan Alkhairaat. Guru Tua mengirim murid-muridnya ke pelosok kampung
tanpa “gaji.” Mungkin cuma sekadar uang saku hingga sampai di tujuan mengajar.
Para murid mula-mula dan murid-murid generasi sesudahnya pergi ke daerah-daerah
yang tidak hanya baru tetapi juga mungkin masih asing bagi mereka.





Secara antropologis, apa yang menarik dari
cara Guru Tua mengirim para murid mula
[1]mula dan kemudian para murid generasi
sesudahnya ke daerah-daerah yang saat itu jauh dalam jarak ruang-waktu, juga
jauh pula secara psikologis? Ada banyak penjelasan dapat diberikan.

Tetapi dari
semua penjelasan itu, di belakang hari, kita kemudian menemukan satu hal
penting dalam konteks studi multibudaya: Guru Tua sedang membikin ruang
perjumpaan-perjumpaan antara para murid mula-mula dan para murid generasi
berikutnya.

Guru Tua tidak saja menyiarkan Islam, tetapi
juga telah menciptakan satu ruang mutlibudaya dalam model belajar
halaqah.
Para murid yang berasal dari kampung yang berbeda, dari teritori tradisional
yang berbeda, berjumpa, berinteraksi, dan kemudian menjadi saudara dalam rumah
besar yang bernama Alkhairaat.







Para murid yang sebelumnya berasal dari berbagai
kampung dengan interaksi sosial yang relatif terbatas, berjumpa dalam ruang
belajar bersama. Dari ruang pengalaman itu, para murid tidak saja mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan mengajar, tetapi juga mengenal orang lain yang
berasal dari latar budaya yang berbeda.

Di sini, di Alkhairaat, para murid
mula-mula dan para murid generasi berikutnya—dalam tumbuh kembang
Alkhairaat—tidak saja mendapatkan teman baru, tetapi juga mendapatkan
pengalaman baru dalam satu ruang belajar yang memperjumpakan orang-orang
berbeda latar budaya.





Di sini mereka mengenali dirinya dalam liyan. Inilah
perjumpaaan pertama dari orang-orang yang berbeda latar budaya dalam satu
sekolah yang mempromosikan ikatan-ikatan kebajikan saudara lintasbudaya. Para
murid ini telah bersaudara, meski berasal dari daerah yang berbeda;
persaudaraan itu bahkan melampaui demarkasi genealogi kekerabatan dan kesukuan.

Perjumpaan kedua





Setelah menjadi pandai dan dianggap sudah cukup cakap
mengajar oleh Guru Tua, para murid mula-mula dan murid-murid generasi berikutnya
ini kemudian dikirim ke berbagai kampung—bahkan ke kampung terjauh untuk ukuran
saat itu—untuk mengajar.

Mereka tidak diantar dengan gaji, tetapi dengan
keberanian dan keikhlasan. Para guru ini bisa dibilang tak punya saudara
seorang pun di kampung tempat mereka dikirim. Tetapi dari waktu ke waktu para
guru ini telah berhasil memperkenalkan Alkhairaat ke banyak kampung di bagian
timur Indonesia. Dari para guru mula-mula yang disebut sebagai
bākûratul khairātkemudian
disusul oleh para guru generasi berikut, dalam kurun beberapa dekade, lahirlah
generasi
abnāul khairāat ‘anak-cucu’ Alkhairaat.







Secara antropologis, ada catatan penting
tentang para murid mula-mula dan para murid generasi sesudahnya pergi mengajar
ke kampung-kampung pelosok.

Sebelum ke sana para guru ini telah menjadi saudara
dalam perguruan Alkhairaat. Persaudaraan itu melampaui batas-batas genealogi.
Berasal dari kampung yang berbeda, bertemu di perguruan Alkhairaat dan menjadi
saudara, meski tak berkerabat.

Kekerabatan mereka adalah kekerabatan yang
diikat oleh kebaikan dan kebajikan. Sebelum ke pelosok-pelosok kampung, mereka
telah bersaudara secara multibudaya. Inilah perjumpaan yang
syu’uban waqabaila
litaarafu
pertama yang dalam teori budaya dikenali
sebagai esensi dari titik jumpa lintas budaya. Perjumpaan ini tidak saja
membentuk kesadaran diri di dalam yang liyan, yang lain, tetapi membentuk
encounter
understanding
secara
lintas budaya.





Ketika berada di kampung-kampung pelosok,
para guru Alkhairaat ini mengalami apa yang saya sebut sebagai perjumpaan
kedua. Berjumpa dengan orang yang berbeda di kampung tempat mengajar.

Tentu
saja dengan segala suka dan dukanya, para guru mula-mula dan para guru generasi
sesudahnya mengalami sekaligus menjalani perjumpaan lintas budaya. Dalam mengalami,
para guru ini belajar kepada orang-orang di kampung, sedangkan dalam menjalani,
guru-guru ini memperjumpakan orang-orang terutama murid-muridnya dalam satu
ruang belajar bersama.

Dalam dua pengalaman ini, guru, murid, dan
masyarakat di kampung tempat perguruan Alkhairaat dikembangkan belajar bersama.





Masyarakat belajar menerima guru yang sebelumnya mereka tak kenali bahkan tidak
berkerabat; dan para guru itu belajar dari masyarakat yang bukan kerabatnya. Pada masa masyarakat dengan mobilitas sosial terbatas, dan masa-masa serba
susah dan sulit saat itu, perjumpaan guru Alkhairaat dengan masyarakat lokal
adalah sesuatu yang amat mahal.

Guru Tua bukan orang kaya, bukan pengusaha
yang dengan kekayaannya bisa menggerakkan para muridnya pergi ke pelosok kampung-kampung.
Tetapi, para murid mula-mula dan para murid generasi sesudahnya yang pergi ke
berbagai pelosok kampung mengabdikan diri di sana tanpa gaji tetapi berhasil
mengerakkan masyarakat bersama
[1]sama membangun pendidikan
adalah bukti dari kemampuan Guru Tua memperjumpakan orang-orang yang berbeda
secara genealogi.








Di masa-masa sulit ekonomi, sosial, dan politik, Guru Tua
membuat orang bisa berjumpa, setidak-setidaknya sejumlah guru berjumpa dan
belajar bersama masyarakat. Guru dan masyarakat lokal sama-sama mendapatkan
pengalaman; dan dalam pengalaman bersama itu dapat dirumuskan dalam satu
kalimat pendek: membangun budaya saling kenal.

Merekatkan
keindonesiaan





Di kemudian hari, dalam konteks keindonesiaan, itulah
cikal bakal tumbuhnya perkacapan-percakapan lintaswarga yang berbeda genealogi,
yang sebelumnya tak pernah saling jumpa. Ini tampaknya sesuatu yang biasa-biasa
saja, tetapi bila kita letakkan ke dalam suatu masyatakat yang majemuk tetapi
hidup berpisahan dan jarang berjumpa, pergirnya para guru ke pelosok-pelosok
kampung, dikenal dan mengenal, adalah salah satu cara paling bermakna dalam
memperkenalkan kebinekaan Indonesia.

Dengan model pendidikan halaqahdengan para murid mula-mula sebagai bākûratul 
khair
ātdan para
guru generasi sesudahnya yang kemudian menganak-pinakkan
abnaul khairaatdi
berbagai pelosok kampung adalah cara Guru Tua memperjumpakan orang[1] orang yang berbeda latar
genealogi dan berbeda latar budaya.





Lini masa perjumpaan antara sesama guru di
Palu kemudian perjumpaan para guru dengan para murid di berbagai pelosok
kampung memberi pemahaman dan kesaaran baru tentang kebinekaan Indonesia.

Di tangan Guru Tua dan dalam tradisi belajar
Alkhairaat, perjumpaan lintasbudaya antarwarga Indonesia menjadi lebih mungkin
dan luas cakupan wilayahnya pada masa- masa sulit ekonomi, sulit komunikasi dan
transportasi.

Etos, semangat, dan elan perjuangan Guru Tua yang melahirkan abnaul khairaat dari berbagai pelosok kampung dan kini mengalami
mobilitas vertikal dalam beragam peran dalam pembangunan Indonesia, adalah satu
bukti otentik ketokohan beliau dalam merekatkan keindonesiaan. [*]





(Tulisan ini, bahan pengantar pada Seminar
Nasiomal dalam Rangka Pengusulan Sayyid Idrus Bin Salim Al-Jufrie sebagai
Pahwalan Nasional yang diselenggarakan atas kerja sama Komisariat Wilayah
Alkhairaat Provinsi Maluku Utara dengan Institut Agama Islam Negeri Ternate,
6-7 September 2022, di Auditorium Kampus IAIN Ternate
).








Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan