Mengenang Wallace
Alfred Russel Wallace |
Oleh M. Kubais M. Zeen
Editor, Penulis Freelancers. Pernah esais di Koran TEMPO edisi Makassar.
Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis, zoolog, biolog, biogeografi, dan pencetus teori evolusi yang hidup dalam kurun waktu 1823-1913. Lahir 14 tahun sebelum era Victoria 1837, tepatnya 8 Januari 1823 di Llanbodac—sebuah Desa di kawasan Monmoutshire, Inggris—kini bagian wilayah Wales. Ayahnya, Thomas Vere Wallace berdarah Skotlandia, dan sang ibu, Mary Anne Greenell, kelas menengah Inggris dari keluarga Hertford.
Dalam keluarganya yang suka hijrah, sedari belia Wallace dikenal ‘gila’ membaca dan memiliki hasrat tahu yang sangat tinggi. Tak heran, ia “melahap” berbagai bacaan terutama buku-buku biologi, botani, matematika, geometri, bahkan politik radikal. Juga serius mendalami esai Thomas Robert Malthus, The Principle of Population, dan belajar menulis karya ilmiah secara otodidak.
Namun lantaran orangtuanya dibelit masalah ekonomi, Wallace terpaksa putus sekolah saat berusia 13 tahun. Ia lalu hijrah bersama abang-abangnya, dan mencoba berbagai pekerjaan untuk meringankan beban hidup. Tapi, tak satu pun pekerjaan yang membuatnya betah.
Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dhuroruddin Mashad dalam buku Alfred Russel Wallace, Pencetus Teori Seleksi Alam dan Garis Imajiner Nusantara mengatakan, kehidupan Walllace berubah tatkala berkenalan dengan H.W. Bates—seorang naturalis dan penjelajah kenamaan Inggris. Pada 1848-1852, Wallace dan Bates menjelajahi Amazon hulu untuk mengumpulkan hewan dan tumbuhan. Dalam perjalanan pulang ke Inggris, kapalnya terbakar. Semua spesies hewan dan tumbuhan yang dikumpulkannya lenyap. Catatan-catatan penelitiannya pun nyaris tak tersisa.
Musibah itu tak membuat Wallace frustasi. Bermodal catatan yang tersisa, ditunjang ingatannya yang kuat akan kondisi Amazon dan spesies hewan maupun tumbuhannya, Wallace menulis enam karangan akademis. Juga dua buku, Palm Trees of The Amazon and Their Uses, dan Travels of the Amazon.
Kendati karya-karyanya itu melambungkan namanya di panggung intelektual Eropa, terutama kalangan naturalis, rasa tak puas masih menggelayuti Wallace. Pada 1854—saat berusia 31 tahun, Wallace menuju Nusantara.
Di negeri ini, Wallace melakukan penelitian selama enam tahun—dua tahun di Sulawesi dan empat tahun di Ternate. Di kota mungil ini, ia menempati sebuah rumah di Keluarahan Santiong, sebagai basis pengamatan. Wallace mengunjungi berbagai pulau besar dan kecil di Sulawesi, Maluku, Papua, dan Timor. Di Sulawesi, selain Makassar, ia menjelajahi Gowa, Maros, Manado, dan Tondano. Di Maluku, pulau kecil yang paling banyak dikunjungi yaitu pulau Halmahera (Jailolo, Sahu, Dodinga, Waigeo), Kayoa, Bacan, Moti, Makean/Taba, Tidore, Buru, dan Seram.
Alhasil, Wallace mengumpulkan sekitar 125.660 spesimen, terdiri dari 83.200 spesies calootera, 13.400 spesies serangga, 13.100 spesies lepidopetra, 8.050 spesies burung, 7.500 spesies kerang, 310 spesies mamalia, dan 100 spesies reptil.
Sejumlah sumber menyebutkan, di Ternate, ia menulis makalah berjudul On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Origin Type, dikenal sebagai Ternate Paper atau Letter from Ternate, dikirim ke Charles Darwin di Inggris, 9 Maret 1858 untuk disampaikan kepasa Sir Charles Lyell. Makalah ini dibacakan Charles Lyell dan Joseph Dalton Hooker secara bersama dengan dua makalah Darwin yang juga mengusung tema yang sama, di hadapan Linnean Society London, 1 Juli 1858. Setahun kemudian, mahakarya Charles Darwin, The Origin of the Spesies, terbit.
Julian Huxley mengatakan, Charles Darwin ‘berani’ menulis buku The Origin of Species lantaran terilhami Wallace di Ternate. Jika tidak, Darwin akan menunda lagi 15 tahun kemudian untuk menulis bukunya yang mengguncang jagat ilmu pengetahuan dan agama.
Selain itu, setelah menulis beberapa karya ilmiah untuk jurnal-jurnal ilmiah di Eropa, Wallace menulis The Malay Archypelago—buku yang berisi semua perjalanan dan penelitiannya di Nusantara, Singapura dan Kepulauan New Ginie, sejak 1854-1860, terbit pada 1869. Tahun 2009 atau 140 tahun baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Komunitas Bambu, berjudul Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Di Eropa dan Amerika berulang kali buku ini dicetak dengan judul On the Zoological Geography of The Malay Aarchypelago. Selain menjadi dasar ilmu biogeografi, buku ini juga sebagai dasar lahirnya Garis Wallacea.
Garis Wallacea, seperti dijelaskan Karnera (Kordi K, 2009), berawal dari sebelah selatan Pulau Mindanao, Filipina, memotong Laut Sulawesi, terus ke Selat Makassar melalui Selat Lombok hingga di ujung barat Australia. Garis imajiner Wallace ialah pemisah fauna dengan bagian barat. Para ahli membuktikan bahwa Garis Wallacea benar bagi hewan vertebrata, ikan air tawar dari marga Cyprinidae, dan beberapa spesies burung.
Sekalipun kontribusinya amat besar di jagat ilmu pengetahuan dunia, ilmuwan yang di senja hidupnya masih aktif menulis itu laksana “padi yang makin berisi.” Seperti ditulis Tony Whitten, penulis utama buku The Ecology of Sulawesi dalam pengantar mahakarya Wallace, The Malay Archypelago: “Berbagai macam penghargaan dan medali diberikan kepada Wallace. Tapi Wallace tak menganggap penting hasil pemikirannya. Ia selalu menyerahkan setiap pujian dan tanda jasa kehormatan kepada Darwin, juga kekayaan, kemasyhuran dan kekuasaan.”
Wallace ialah bagian dari sejarah bangsa Indonesia, demikian dikatakan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia, Sangkot Marzuki. Sayangnya, ia dilupakan. Jangankan tradisi ilmiah mengagumkan yang dirintisnya, jejaknya pun tak berbekas. Di Ternate, misalnya, rencana pembangunan Tugu Wallace di Kelurahan Santiong, Ternate Tengah, yang disepakati para ilmuan pada November 2009, tak terwujud. Jalan A.R. Wallace yang pada 2003 masih ada, sudah berganti menjadi Jalan Saleh Puha—seorang tokoh masyarakat setempat. Demikian halnya rumah yang ditempati sebagai pos pengamatan.
Membuka kembali lembaran-lembaran The Malay Archypelago—buku sejenis yang belum ada tandingannya, juga tulisan-tulisan tentangnya, sembari berupaya memetik hikmah dari kisah hidupnya, ialah cara saya mengenang ilmuan besar paripurna yang tanggal dan bulan kelahirannya sama dengan saya, 8 Januari, itu.[] (Tulisan ini pernah dimuat Kalaliterasi.com).