Tren Korupsi di Malut Meningkat
Peneliti LSI Akhmad Khoirul Umam (kiri) saat menyampaikan hasil survei opini publik periode 8-24 Oktober 2019 |
TERNATE, BRN– Tren opini publik
terhadap tingkat korupsi dan penilaian kenirja pemerintah dalam memberantas
korupsi di Maluku Utara belum menunjukkan progres signifikan. Berdasarkan data Lembaga
Survei Indonesia (LSI) meunjukkan pemerintah belum beritikad baik memberantas tindak
pidana korupsi (tipikor).
LSI mencatat mayoritas
masyarakat Malut menilai tingkat korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir. Hasil
survei yang di rilis pada 1 Februari 2019 di lantai IV Aula Nuku Gedung
Rektorat Unkhair Ternate ini mencatat sebesar 43 persen. Hanya berbeda 9 persen
dari 52 persen persepsi masyarakat di tingkat nasional.
Peneliti LSI Akhmad
Khoirul Umam mengatakan, persepsi peningkatan korupsi di Malut cenderung lebih
rendah jika dibandingkan 70 persen di tahun 2016. Penuruan angka tingkat
korupsi sendiri dipengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat.
“ Lembaga-lembaga
yang telah melakukan langkah pemberantasan korupsi di nilai efektif, meski
derajat yang bervariasi,” kata Ahmad
pada jumpa pers di lantai IV Aula Nuku Gedung Rektorat Unkhair Ternate, Jumat (1/2/2019).
Akhmad bilang,
menurut warga, pemerintah terutama pemerintah pusat (Pempus) menunjukkan
keseriusan melawan korupsi sebasar 52 persen. Sementara keseriusan pemerintah
provinsi 40 persen dan pemerintah kabupaten/kota di Malut 39 persen.
“ Warga Malut
menilai korupsi paling banyak terjadi di Pempus, lalu menurun hingga yang
paling sedikit korupsinya di tingkat desa/kelurahan. Ini menunjukkan bahwa
semakin jauh dari warga, pemerintah semakin dinilai korup da sebaliknya,”
katanya.
GRAFIK keseriusan pemerintah melawan korupsi. Sumber: LSI |
Peningkatan yang
sama terjadi pada pemberian uang “terima
kasih” sebagai pemulus pengerusan. Dalam setahun terakhir pemberian
uang ketika berhubungan dengan instansi
pemerintah, baik untuk memperlancar sautu proses mengalami peningkatan.
Jebolan doktor ilmu
politik University of Queensland
Australia mengatakan, penilaian “tidak
wajar” atas pemberian uang “terima
kasih” sebagai pemulus pengerusan sebesar 73 persen, dan 46 persen warga
menilai sesuatu yang “wajar”.
“ Mengenai
nepotisme, warga cenderung menilainya negatif sebesar 40 persen, menganggap tidak
etis 21 persen sebagai perilaku kejatan. Namun, masih ada yang menilai positif
19 persen, menganggap normal dan 7 persen tindakan yang perlu untuk perlancar
proses,” jelasnya.
Tak sampai disitu, para warga di Malut
kerap diperhadapkan persoalan uang “terima
kasih” pada layanan kesehatan, pendidikan (sekolah negeri), pencari kerja, saat berurusan dengan polisi,
universitas negeri.
Pria yang getol pada kajian politik anti
korupsi dan tata kelola pemerintahan dalam konteks demokratis dan liberalisasi
market di negara berkembang ini menuturkan, warga paling banyak berhubungan
dengan pegawai pemerintah untuk peroleh layanan kesehatan sebesar 44 persen,
mengurus kelengkapan administrasi publik 30 persen. 21 persen ketika berurusan
dengan pihak sekolah negeri. Sementara warga lebih sedikit berurusan dengan
pegawai untk mencari pekerjaan di lembaga pemerintah 8 persen, berurusan dengan
polisi 7 persen, dan berurusan dengan univeristas negeri 7 persen.
Urursan-urusan tersebut, kata dia, probabilitas
warga diminta uang/hadiah di luar biaya resmi adalah ketika berurusan dengan
universitas negeri 23 persen dari yang
pernah berurusan, mencari kerja di lembaga pemerintah 20 persen dari yang
pernah berurusan, kemudian mengurus kelengkapan administrasi publik dan sekolah
negeri masing-masing 16 persen dari yang pernah berurusan. “ Alasan memberi uang ketika diminta
adalah supaya urusan cepat selesai,” begitu katanya.
Kepercayaan Terhadap Institusi
Dalam survei itu menunjukkan mayoritas warga menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang
paling bertanggung jawab mengatasi korupsi di Indonesia. Tumpuan masyarakat
Indonesia terutama di Maluku Utara terhadap KPK masih berada di kisaran 60
persen.
“ KPK adalah lembaga yang paling dipercaya publik
saat ini. 72 persen penilaian warga terhadap KPK dan 70 persen terhadap
presiden,” kata Umam.
SUMBER: LSI |
Alumnus Flinders University of South Australia 2010 ini
bilang, masyarakat secara general di Indonesia merasa tingkat
korupsi cenderung meningkat, hal sama terjadi di Maluku Utara. Ada kecenderungan naiknya persepsi dimana tidak ada
perubahan dalam konteks pemberantasan korupsi.
“ Jadi ini satu anomali yang harus di
garis bawahi, karena pada saat yang sama ketika kita melakukan uji evaluasi
terhadap pemerintahan sekarang aspek pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum
termasuk dalam aspek yang relatif kurang mendapatkan perhatian cukup besar. Karena
itu kalau misal degradasi evaluasi kebijakan publik dari pemerintah penegakkan
hukum dan anti korupsi masuk dalam level ke-2 dan 3 paling rendah,” jelasnya. (ko/red)