Surau di Ujung Kampung

CERPEN; SAM EDY YUSWANTO/CDN
SURAU di ujung kampung yang sebagian dinding semennya
telah rata ditumbuhi lumut hijau itu tak hanya terlihat muram tapi juga sepi.
Sesepi rumah kayu beberapa meter di sebelah surau yang kondisinya sudah begitu
memprihatinkan. Sebagian atap gentingnya retak, bahkan terlepas dari rangkanya
sehingga menjadi celah masuk air saat hujan turun deras.
Surau di ujung kampung itu kini telah mati dan tak berpenghuni
lagi. Begitu pula rumah kayu lapuk nyaris roboh di sebelahnya yang telah
bertahun-tahun ditinggalkan pemiliknya. Tak satu pun warga masyarakat yang sudi
menyambangi surau untuk mendirikan shalat berjamaah sebagaimana beberapa tahun
silam.
Bahkan sekadar membersihkan surau serta halamannya yang berlumut
dan dipenuhi tumpukan dedaunan pohon sawo yang tumbuh merimbun persis di depan
halaman surau pun warga merasa enggan.
Padahal dulu, surau itu selalu ramai tiap senja kian menua dan
akhirnya terlumat oleh pekat malam. Surau yang tak begitu besar tapi bisa
menampung sekitar 80-an jamaah itu begitu ramai tiap Magrib dan Isya. Warga
berduyun-duyun ke surau dengan harapan bisa meraup pahala shalat berjamaah 27
derajat.
Tak hanya itu, usai shalat Magrib, Wak Darmun pemiliki sekaligus pengasuh suarau di ujung kampung itu tampak begitu telaten mengajari mengaji. Menuntun anak-anak kampung melafazkan huruf-huruf hijaiyyah sesuai makhrajnya. Semnetara pengajian umum untuk warga kampung digelar tiap bakda Isya. Namun segalanya berubah pasca tragedi memilukan menghamtam kehidupan Wak Darmun dan istrinya.
Betapa kecewa hati Wak
Darmun saat melihat kenyataan getir; Bajang, anak lelaki satu-satunya yang
digadang kelak menjadi penerusnya sebagai juru dakwah, malah memilih merantau
ke luar negeri. Tepatnya setahun usai lulus SMA. Padahal, selama ini, di mata
Wak Darmun, Bajang adalah sosok pendiam, penurut, dan selalu membantunya
mengajari anak-anak kampung mengeja alif ba ta tiap malam.
“Buat apa merantau jauh-jauh ke luar negeri, Jang,” Wak Darmun
berusaha meredam emosi yang membakar dada saat suatu sore yang gerimis, Bajang
mengatakan ingin merantau ke Malaysia.
“Bajang bosan hidup di kampung, Bah. Bajang ingin seperti
teman-teman lain, merantau ke luar negeri,” terang Bajang yang terbiasa memanggil
ayahnya dengan abah. Roman Wak Darmun sontak memerah mendengar penjelasan
putranya.
“Teman-teman lain siapa yang kau maksud, heh?” cecar Wak Darmun
emosi.
Tanpa sepengetahuan Wak Darmun, selama ini Bajang terpengaruh
pergaulan Wito dan Lani, dua teman semasa SMA-nya yang juga masih termasuk
warga kampung ini tapi rumahnya cukup jauh dari rumah Wak Darmun. Bajang yakin
abah tak mengenali Wito dan Lani meski sebenarnya mengenal orangtua mereka. (**)