Brindonews.com
Beranda Opini Limbah Tambang Mengancam Pulau Kecil

Limbah Tambang Mengancam Pulau Kecil

Akmal Lule

Oleh: AKMAL LULE  |  Jurnalis

Teluk yang dicemari sedimentasi limbah PT. Antam, dulunya sebagai tempat persinggahan nelayan dari Buli dan Maba ketika memancing ikan. Perairannya teduh dan beberapa pulau kecil terbentang berjejeran. Gugusan pulau tersebut sebagai tempat ikan bertelur. Tempat nelayan menangkap ikan kombong, teri (orang Maluku Utara menyebutnya Ikan Ngafi) dan ikan laut dangkal lainnya.





Hari demi hari, area perairan sekitar tak lagi menjadi spot favorit nelayan menangkap beragam ikan. Teluk yang awal mula adalah tempat parkir perahu nelayan dan tempat singga ketika waktu malam, kini sudah jadi jalur kapal besi berlalu lalang membawa ore nikel, tanah merah yang dikeruk dari perut bukit Moronopo.






Aktifitas perseroan pelat merah itu penyebab kerusakan lingkungan dan biota laut di Moronopo. Pencemaran yang berulangkali merubah wajah air laut menjadi coklat karena terkontaminasi limbah. Lapisa tanah di dasar laut yang terus menebal kemudian tercampur lumpur ikut memengaruhi biofisik dan kualitas air laut.

Vagetasi mangrove, padang lamun, dang karang korbannya. Parahnya, penyusutan lahan dan kerusakan kawasan lindung di sekitar Moronopo tak bisa diatasi. Tak jauh dari fasilitas publik, berjarak sekitar 200 meter dari Site Moronopo adalah pelabuhan, tempat kapal mengangkut ore. Tampak juga sisa endapan tanah jatuh ke dasar laut sampai air pun tak sedap dilihat.

Luapan air limbah terus mengalir keluar belum ditemukan solusi jitu. Meskipun pihak persuhaan merehabilitasi lingkungan dengan mengunakan Geotube_teknologi yang diklaim ampuh menangkal retensi padatan. Namun faktanya, alat canggih ini belum mampu menjawab masalah sedimentasi.





Perwakilan Eksternal Relation Antam, Nasrudin D. Marjirung menyebut penyedotan endapan sedimentasi mengunakan Geotube dilakukan tahap pertama 20.000 metrik kubik. Kemudian 50.000 metrik kubik. Tahap ketiga, sebanyak 65.000 metrik kubik (brindonews, 21, Oktober 2022).

Namun proses pemulihan belum bisa mengembalikan habitat ke lingkungan semula. Justru kerusakan lingkungan makin kritis. Mungkin ini yang dibilang Koordinator Jaringan Tambang Merah, Johansyah “Di mana ada tambang di situ ada penderitaan warga. Di mana ada tambang di situ ada kerusakan lingkungan, tidak akan bisa berdampingan”.

Pencemaran lingkungan di Halmahera Timur akibat limbah tambang tercatat bukan baru kali pertama. Kasus ini muncul pada 2016 lalu semenjak perusahaan di bawah kendali BUMN ini masuk dan mengeksploitasi perut bumi di kabupaten bermotto Limabot Fayfiye itu. Teluk Buli dan Maba Pura menjadi langganan limbah. Teluk Buli, Maba Pura, Wailukum, dan Kota Maba dulunya jadi tempat warga menangkap ikan kini terusik ketika Antam beroperasi di Pulau Pakal dan Gee pada 2010 lalu. Bahkan, imbasnya meluas dan berpindah ke daratan bagian utara Buli di saat bersamaan. (mogabay, 4 Mei 2021).





Beban pencemaran kali dan air laut yang cukup parah tercampur zat dan energi lain tentu berpengaruh pada kualitas air. Lain sisi, kalau dilihat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran lingkungan terjadi akibat kelalaian Antam karena mungkin kurang pengawasan dan evaluasi.

Pengelolaan lingkungan hidup pun jelas telah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Pasal 1 poin kedua menegaskan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan ligkungan hidup yang melputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.

Namun fakta empirik dan penegasan dalam regulasi seolah saling kontras alias bertolak belakang. Pihak Antam dalam pengelolaan lingkungan hidup harus taat asas maupun norma hukum yang berlaku. Kalau tidak, limbah yang mencemari lingkungan hidup dikhawatirkan berimplikasi pada manusia.





Ancaman Pulau-pulau Kecil

Pencemaran lingkungan menjadi tabir pembuka permasalahan yang kompleks terjadi belakangan ini di wilayah konsesi Antam. Problem yang kerap kali mengemuka secara parsial bermula dari deforestasi secara serampangan di tempat sumber nikel. Antam maupun sub kontraktornya menjadi pemain utama.

Izin PT Antam dikeluarkan olleh Kementerian ESDM sejak tahun 2000. Luas konsesinya 39.040 hektar, atau hampir mencakup separuh luas wilayah Kabupaten Halmahera Timur yang hanya 14.202,02 km. Ketika Antam mulai mengeruk biji nikel di Kecamatan Maba dan Kota Maba, hampir sebagian lokasi perkebunan warga dikonversi menjadi lahan produksi tambang.





Sebelum masuk menambang di wilayah Buli dan Maba, Antam terlebih dulu bercokol di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah pada 1979 sampai 2004. Kurang lebih 25 tahun “membredel” perut Gebe, berpindah ke Pulau Gee di Halmahera Timur.

Anak usaha Antam, PT. Minerina Bhakti menjadi jagoan di pulau berukuran 171 hektar ini. Pulau yang awalnya menjadi suku cadang warga Buli dan tempat singga nelayan lenyap seketika.

Sekian tahun di Pulau Gee, Antam seolah masih “lapar” dan berekspansi lagi ke Pulau Pakal yang hanya berjarak beberapa kilometer. Ketika Antam angkat kaki dari Pulau Gee, beribu jejak buruk tertinggal di sana. Pengundulan, tandus dan perairan sekitar tercemar. Hutan lebat nan rimbun itu lenyap tanpa kabar.





Antam menambang di Pulau Pakal sekitar tahun 2010. Daratan seluas 709 hektar ini pun bernasib sama. Di tahun yan sama, Antam bertolak menuju Moronopo (JATAM, 16, April 2021).

JATAM mencatat sedikitnya 164 izin tambang di 55 pulau-pulau kecil di Indonesia. Puluhan pulau ini telah dibongkar isi kandungan perutnya oleh berbagai perusahaan ekstraaktif, termasuk Gee, Gebe Pakal, dan Mabuli di Halmahera Timur. Empat pulau di Maluku Utara ini hancur karena perusahaan datang dan menambang nikel. (JATAM, Juli 2022).

Yang perluh dipersoalkan adalah kenapa pemerintah dengan beraninya memberi izin konsesi kepada perusahaan tambang untuk menambang di pulau-pulau kecil. Perusahaan tambang tidak begitu leluasa mengeruk kandungan pulau andai pemerintah tidak menginzinkan. Keindahan pulau mestinya dijaga supaya tidak dirusak.





Rusaknya Pulau Pakal, Gee, Mabuli adalah “kerakusan” oligarki. Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur mungkin tidak lagi menaruh harap pada dana bagi tambang andai dua pulau itu dikembangkan menjadi wisata yang menggenjot pendapatan daerah. Toh sama saja, bukannya sejahtera, malah menyumbang angka kemiskinan terbanyak. Padahal kaya akan hasil tambang.

Barangkali Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tidak lagi dianggap pedoman. Nyatanya, gumam investasi yang diklaim mengedepankan kelestarian ekologi hanyalah isapan jempol dan pemanis telinga.

Deforestasi hutan di Moronopo dan Pulau Pakal oleh Antam memberi dampak fatal pada kerusakan lingkungan, pesisir pantai dan laut. Bahkan tidak sedikit sisa material ore jatuh ke dasar laut. Terumbu karang dan ekosistem laut lainnya korbannya. Perairan sekitar tak lagi memberi harapan dan senyum kepada nelayan. Beradu nasib hingga jarak operasi mereka sampai bermil-mil namun kadang pulang dengan tangan kosong.





Deni Sarianto, Domu Simbolon, dan Budi Wiryawan dari Institut Pertanian Bogor mengatakan penurunan komunitas ikan dan pencemaran air laut di wilayah teluk Buli yang meliputi wilayah perairan Maba Pura dan Maba dipengaruhi limbah logam berat. Lingkungan dan air laut yang terdegradasi akibat penambangan nikel Antam.  Perairan Wasile, Buli, Mabapura dan Tanjung Moronopo berada di bawah nilai ambang batas atau NAB, kecuali Wasile Selatan yang berada di atas NAB. Nilai Ni yang mendekati NAB berpotensi memengaruhi penurunan kualitas perairan. Bahkan sumber ikan pun bisa terusik apabila aktivitas perusahaan berlangsung lama (Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, JIPI, Agustus 2016).

Kondisi ini butuh langkah kongkrit secepatnya. Antam harusnya tampil di muka dan menjadi motor gerak pemulihan. Pemerintah daerah demikian, menjadi garda depan. Pencemaran biota laut dan vagetasi mangrove begitu massif dan luas apabila terus menerus dibiarkan maka resikonya ditangung warga sekitar.

Ini masalah kompleks, tidak bisa saling lempar tanggung jawab. apabila dibiarkan dan tambah menebal di dasar laut, sudah tentu memiliki daya rusak yang semakin parah. Aktivitas penambangan di pengununan sekitar Monoropo dan Pulau Pakal yang sangat gila sudah tentu dapat menimbulkan banyaknya lahan kritis. Pengrusakan ruang hidup laut maupun darat tidak hanya dirasakan warga yang masih hidup, tapi generasi akan datang pun ikut merasakan dampak. Barangkali butuh perjuangan panjang untuk menyelamatkan lingkungan yang tercemar agar generasi berikut tak merasakan hal yang sama. (*)










Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan