Fenomena Pasal 27 ayat 3 UU ITE Antara Kriminalisasi dan Dekriminalisasi
Zulafiff Senen. Penulis merupakan Penggiat Cyber Law dan Pengurus Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN PERMAHI). |
“Moneat lex, priusquam
feriat artinya :
Undang-undag harus memberi peringatan dahulu sebelum merealisasikan ancaman
yang terkandung di dalamnya”.
Fenomena
hukum marak terjadi, mulai dari perbuatan hukum yang melahirkan peristiwa hukum
dan berujung kepada akibat hukum kian marak terjadi. Hal serupa sesuai dengan
bunyi daripada adagium hukum “Inde datae leges be fortior omnia posset”, yang
berarti :
Hukum dibuat agar orang yang kuat punya kekuasaan yang terbatas. Namun
terjadi perbedaan antara hukum yang senyatanya berdasarkan aturan (dass sollen)
dengan hukum yang berdasarkan fakta di lapangan (dass sein).
Kriminalisasi
pasal 27 ayat 3 UU ITE
Berbicara
mengenai kriminalisasi, sebagian masyarakat tertentu menjadikan hukum sebagai
alat pemuas dan/atau sebagai alat pembalasan (lex tallionis) atas suatu perbuatan dan kerap kali bersebrangan
yang mana hukum pidana sebagai obat terakhir (ultimum remidium) dijadikan hukum pidana sebagai senjata awal (primum remidium) terjadinya suatu
peristiwa hukum.
Hal
tersebut menjadi perhatian bagi sebagian bengawan hokum, salah satunya adalah
perihal Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan
Undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Banyak
diantaranya bukan perbuatan pidana pencemaran nama baik nsmun dijadikan sebagai
suatu perbuatan pidana pencemaran nama baik (kriminalisasi).
Hal tersebut melenceng dari tujuan hukum sebagaimana dikemukakan Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, “bahwasahnya tujuan daripada hukum
diantaranya adalah ketertiban”.
Salah
satu bentuk kriminalisasi Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016
atas perubahan Undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah kasus antara konsumen dan pegawai alfamart yang marak beredar
beberapa hari ini. Lantas apa sajakah unsur sehingga seseorang dapat disebut
sebagai pelaku dalam Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 atas
perubahan Undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik?. Perlu diperjelas agar kesalahpahaman dalam penggunaan pasal ini
tidak marak terjadi dikemudian hari.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE
Domiunt
aliquando leges, nunquam moriuntur : Hukum terkadang tidur, tapi
hukum tidak pernah mati. Adagium tersebut diatas menjadi pembuka atas
permasalahan yang kompleks terjadi. Tidak heran banyak diantaranya menjadikan hukum
sebagai lex tallionis atas suatu
perbuatan dan kerapkali menjadikan primum
remidium dan bukanlagi sebagai ultimum
remidium atas sebuah permasalahan hukum.
Fenomena
kriminalisasi Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 atas Perubahan
Undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut
kerap terjadi. Setiap perbuatan selalu dikaitkan dengan pencemaran nama baik. Lantas
bagaimana bunyi pasalnya “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”.
Secara tekstual, bunyi dari pasal tersebut sangatlah tegas
terhadap sebuah perbuatan dengan sengaja melakukan pendistribusian dan
pentransmisian terhadap suatu informasi, dan atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan pencemaran nama baik diancam dengan pidana penjara 4 tahun dan
denda 750 juta.
Tentu ini sesuai bunyi Pasal 45 ayat 3 Undang-undang Nomor 19
Tahun 2016 atas perubahan Undang-Undang 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Pertanyaan
kemudian muncul, apakah setiap perbuatan yang dilakukan dapat dikategorikan
sebagai pencemaran nama baik?. Berdasrkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara
Menkominfo, Kepolisian, dan Kejaksaan Nomor: KB/2/VI/2021 tentang Pedoman implementasi UU 19 Tahun 2016
atas perubahan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) dalam poin huruf C disebutkan “Bukan
delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE jika konten atau muatan yang ditransmisikan, didistribusikan,
dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa: Penilaian, Pendapat, hasil
evaluasi, atau sebuah kenyataan”.
Melihat uraian
poin huruf C dan poin demi poin dalam SKB tentang Pedoman implementasi UU 19
tahun 2016 atas perubahan UU ITE, sudah sangat jelas. Mana yang dapat
dikategorikan sebagai delik pencemaran nama baik dan yang tidak dapat
dikategorikan sebagai delik pencemaran nama baik. Sebab hal tersebut perlu dan
penting untuk diperhatikan agar nantinya penggunaan pasal tersebut tepat dan
benar dan mampu diimplementasikan dengan baik bagi masyarakat maupun aparat
penegak hukum. **