Brindonews.com
Beranda Opini Peluang BPOM Mengajukan ‘judicial review’ Pasal 98 Ayat (3) UU Kesehatan

Peluang BPOM Mengajukan ‘judicial review’ Pasal 98 Ayat (3) UU Kesehatan

PENULIS: HASRUL BUAMONA, S.H., M.H.
(Advokat-Konsultan Hukum Kesehatan Direktur LPBH NU Kota Yogyakarta)

SebelumMenkesTerawanmengeluarkanpernyataanbahwaakanmengambilwewenangijinedarobatdari
BPOM pada November 2019
, penulissejakAgustus
2018 telah
membuatopinihukum
yang berjudul “Obat Online dan
Lemahnya
BPOM”
yang dimuatoleh
Koran Malut Post
padatanggal21
Agustus 2018, dimana
telahmemperkirakansuatusaatnanti kemenkesdan
BPOM akan
salingmerebutkewenangan, salahsatunyaterkaitijinedarobat.

Perludiketahuibahwapenulisaninimerupakanbagiandaripenyampaianpenulissebagainarasumberdalamdiskusipublik
yang diselenggarakan
olehAliansiMahasiswa
Anti Kartel
pada 19 Desember 2019 di UIN SunanKalijaga
Yogyakarta, dengan
temadiskusi
“Kemenkesdan BPOM Berebut
KuasaSoalIjinEdar:
Dampaknya
TerhadapIndustriFarmasidanJamuTradisional”,
yang di hadiri
jugaoleh BPOM
RI Riska
Andalucia, GP Jamu Charles SarengandanWakilKetuaUmumKadin
Mufti Mubarok.





Dalampengkajianpenulis,
polemic
saling rebut ijinedarobatbiasterjadidikarenakandalam
UU Nomor 36 tahun 2009
tentangKesehatan
(UU Kesehatan) dan
PeraturanPresidenNomor
80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat Dan Makanan (Perpres BPOM), member
peluanguntukKementerianKesehatanmengambilwewenangijinedarobatdari
BPOM, dan
padasisi lain
dari
aturanhukum
di atas,
jugatelahmelemahkankedudukanhukum
BPOM dalam
melaksanakanwewenangnyaterkaitijinedarobat.

Secarahokumada2
(dua)
peraturanperundang-undangan
yang menjadi
fokus,sekaliguspenyebablahirnyapolemicsaling
rebut ijin
edarobat. Pertama, apabilakembalimelihatPasal
98 ayat (3) UU Kesehatan yang berbunyi
“Ketentuanmengenaipengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran
sediaanfarmasidanalatkesehatanharusmemenuhistandarmutupelayananfarmasi
yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah..


Kedua, melihatjugaPasal
1 ayat (2) Perpres BPOM yang berbunyi “BPOM berada di bawah
danbertanggungjawabkepada presidenmelaluimenteri
yang
menyelenggarakanurusanpemerintahan
di bidang
kesehatan.”.





Menurutpenulis,
Pasal 98 ayat (3) UU Kesehatan
telahmembukapeluang menteri kesehatanuntukmenafsirkanpasaltersebutsecarabebas.Dikarenakanpasaltersebut,memang
multi tafsir
danambigusertamelahirkankonflikantarlembagapemerintah.Norma
“pengedaran
sediaanfarmasi
yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah” adalahsalahsatupenyebabKemenkesinginmengambilalihijinedarobatdari
BPOM, dikarenakan
Kemenkesdapatdenganbebasmenfasirkanbahwaketikapengedaransediaanfarmasi
di aturdalam UU kesehatan, yang ketetapannya
melaluiperaturanpemerintah (PP),
yang dalam
halini kementerian kesehatanmerupakanpembantu presidendalammenjalankanfungsieksekutifpelayanankesehatan.Makasecara
mutatis mutandis
lemenkessepenuhnyamengganggapijinedarobatmenjadikewenangan Kementerian kesehatan.

PermasalahanselanjutnyaketikaBPOM
bertanggungjawab
kepada presidennamunharusmelalui kementerian kesehatan,terlihatkewenangan
BPOM sejak
awalmemangtelah
di
amputasioleh PP yang
mengatur BPOM itu
sendiri.Seharusnya
BPOM bertanggungjawab
secaralangsungkepada presiden,
tanpa
harusmelalui kementerian kesehatan.Faktanyahariini kemenkes sangatsuperioritas,karenakapan
pun
kementerian kesehatandapatmengambilijinedarobatdari
BPOM.

Secarakhususterkaitijinedarobatdanmakanan,
ada
3 (tiga)solusi
yang ingin
penulissampaikan.






Pertama,menurutpenulisdarinormaPasal
98 ayat (3) diatas,
dan/ataupasal-pasal
lain dalam UU Kesehatan yang berpotensi
merugikan
BPOM, sehingga
membukapeluangbagi
BPOM sebagai
pihak yang dirugikansecarakonstitusionaluntukmelakukanjudicial review di mahkamah konstitusi.
Menurut
penulis, BPOM memiliki legal standing,
dikarenakan BPOM adalah
badanhokumpublichalinitermuatdalamPasal
1 ayat (1) Perpres No 80 Tahun 2017 yang berbunyi “Badan
PengawasObatdanMakanan, yang selanjutnyadisingkat BPOM adalahlembagapemerintah
non kementerian yang menyelenggarakan
urusanpemerintaha di bidangpengawasan obatdan makanan”.Iniadalahsolusijangkapendek
yang bertujuan
memberjaminankepastianhokumkepada
BPOM.

Kedua, UU
Kesehatan
perlu di gantidengan
UU Kesehatan yang baru
. Dimanaharusmemperjelaskewenanganijinedarobattersebuttetapmenjadikewenangan
BPOM dan
kemudian BPOM harusdisebutsecarajelasdalam
UU Kesehatan yang baru
sebagailembagapemerintah
non kementerian yang bertanggungjawab
secaralangsungkepada presiden
yang
hanyabergerak
di bidang
pengawasan, penindakan, danberhakmengeluarkanijinedarobatdanmakanan.

Ketiga, melanjutkansolusi
di atas, maka
sangatpentinguntukkedudukan
BPOM harus
diaturdengan undang-undang,
dikarenakan
secarapolitikhokumkedudukan perpreshanyadibawah undang-undangsebagaimanadiaturdalam
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
PembentukanPeraturanPerundang-Undangan,
sehingga
halinisangatberpengaruhpadakinerja
BPOM, mulai
daripemberianijinedar,pengawasanobatdanmakanansampaipadapenindakanterhadappelanggaran obatdan makanan.





Bebankerja
BPOM yang harus
melayaniseluruhwilayah
Indonesia yang tidak
hanyaberpulau-pulau,
namun
memilikikendaladanmasalahkesehatan
yang berbeda-beda, haruslah
didukungdenganpranatahukum
yang kuat
yakni undang-undangbukan perpres.Kehadiran
BPOM sebenarnya
sudahtepat,
dikarenakan
telahbanyakmembantu kemenkesdalampekerjaanteknismanajemen,pengawasanproduksiobatdanmakanandanbahkanmelakukantindakanhokum. MakaalangkahbaiknyaPresidendan
DPR-RI
harusmembuat
UU
Kesehatan yang baru, yang sudahtentuharussalingmendukungdanbersinergiuntukmemperkuatkewenanganBPOM. [**]

*) Opini
kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab
redaks
ibrindonews.com.





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan