Brindonews.com






Beranda Opini KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK SIAPA?

KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK SIAPA?





Dr. Saiful Deni, M.Si*

* Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, 2017-2021

Kebijakan publik adalah keniscayaan sosial. Pernyataan kini
mengawali makna tentang kebijakan publik sebagai “apa saja yang menjadi pilihan pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan
”. Pertanyaannya, bagaimana dengan pilihan pemerintah yang tidak
sesuai dengan permintaan masyarakat luas. Meminjam B. Guy Peters dalam bukunya Handbook of Public Policy 2006), memahami kebijakan publik sebagai
aktivitas menyeluruh pemerintah yang dilakukan secara langsung ataupun melalui
perantara yang berdampak pada kehidupan warga Negara. Jauh sebelumnya Charles
L. Cochran dan Eloise F. Malone dalam bukunya “Public Policy: Perspectives and Choices(1999) mendefinisikan bahwa
kebijakan publik itu berupa keputusan politik untuk melaksanakan
program-program dalam rangka mencapai tujuan-tujuan sosial. Sebagai produk
politik, seringkali kebijakan publik berdampak luas terhadap formasi elite
politik maupun formasi pendukung (supporter) dalam praktek pembangunan. 





Misalnya, ketika kebijakan publik melenceng dari keputusan
politik yang berdampak buruk dan koruptif bagi masyarakat akan meruntuhkan
suatu rezim pemerintahan. Jika diruntut ke belakang, Runtuhnya rezim Orde Baru
tahun 1998 dan bergulirnya reformasi pada awalnya bertujuan mengubah sistem
korup, kini justru harus melawan tubuh sejarahnya sendiri. Pembusukan citra
reformasi ditandai oleh perilaku koruptif Negara yang tidak berdaya menghadapi
relasi perkoncoan ekonomi-politik bagi actor-aktor pengusaha-politisi yang
membanjak kebijakan publik (public
policy)
sebagai tameng menyedot kebijakan public bersumber  dari sumberdaya Negara yang diperuntukan untk
kesejahteraan rakyat. Akibatnya, Jika tidak diatasi, hal ini akan melumpuhkan
kekuatan negara dan bangsa, menimbulkkan 
konflik sesama struktur sosial yang semakin senjang dan timpang.

 Publik menuntut
kebijakan yang berpihak terhadap kesejahteraan sebagaimana dimanatkan dalam UUD
1945, sehingga di level lokal setiap aktor perencana, perumus, eksekutor dan
implementator kebijakan seharusnya berkomitmen bagi keberlangsungan daya saing
daerah ini. Beberapa fakta menggambarkan bahwa masih banyak perilaku koruptif
dalam mengatasnamakan kebijakan publik. Misalnya, kegagalan kebijakan publik
sektor  infrastruktur akibat korupsi
anggaran biasanya ditandai buruknya hasil pembangunan atau bahkan tidak
diselesaikan sama sekali. Ini akan menggiring Maluku Utara terus menerus tidak
memiliki daya saing, daerah merugi, kondisi masyarakat buruk, meskipun telah
menguras kas daerah.

Indeks Demokrasi Maluku Utara mencerminkan kebebasan
berdemokrasi semakin baik, namun pernyataan ini belum bisa diikuti oleh praktek
kebijakan publik yang lebih terarah, transparan, dan akuntabel. Idealnya indeks
demokrasi yang baik seharusnya diikuti dengan pelayanan kebijakan publik yang
baik. Masyarakat menginginkan agar demokrasi yang mampu mengatur mekanisme check and balance antara kekuasaan
pemerintahan dan kebebasan masyarakat. Demokrasi yang mampu menjembatani antara
hak-hak politik publik demi mendapatkan akses sumberdaya ekonomi yang merata.
Demokrasi yang mampu menjembatani praktek kebijakan publik yang terarah,
teratur dan berkesinambungan. Demokrasi yang kehendaki oleh masyarakat adalah
kemampuannya dalam menjembatani proses kebijakan publik yang tidak terbuka
bahkan tidak mampu dipertanggungjawabkan. Keinginan masyarakat ini sebagai
sebuah antiklimaks dari evaluasi angka kemiskinan dan pengangguran yang belum
teratasi di semua Kabupaten dan Kota. 





Publik berharap banyak pada lembaga-lembaga hasil demokrasi seperti
partai politik dan DPRD agar mampu menjembatani keputusan politik dalam
perumusan kebijakan publik yang berpihak kepada masyarakat sebagai konstituen
permanen. Perdebatan DPRD dan Pemerintah Daerah dalam merumusan kebijakan
publik anggaran daerah seharusnya lebih berkualitas secara substantif, bukan
sebagai friksi politik sesaat karena hanya akan merugikan publik, melahirkan
gelombang ketidakpercayaan terhadap kedua lembaga eksekutor ini, dan
menghabiskan energy konflik politik yang tidak berkesudahan. Ketidaksempurnaan
kedua lembaga ini seharusnya diperkuat dan disokong oleh kekuatan moral
masyarakat sipil (civil society) yang partisipatif seperti kalangan kampus yang
terdidik dan obyektif maupun organisasi kemasyarakatan yang memiliki akar
rumput secara solid.

Kebijakan publik  harus
sesuai dengan kondisi riil kehidupan masyarakat kepulauan ini, bukan justru
sebaliknya malah direpotkan dengan produk kebijakan publik cenderung merugikan
masyarakat. Demikian pula kontrol DPRD terhadap langkah-langkah pemerintah
Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam menerapkan kebijakan publik dilakukan
setiap saat agar output dari kebijakan publik tidak melahirkan persoalan baru
dan tidak merugikan masyarakat. Kontrol terhadap naiknya harga barang, listrik,
air dan komoditas lainnya seharusnya tidak dipandang sebelah mata karena sangat
berdampak luas terhadap daya tahan ekonomi masyarakat. Pemberlukan kenaikan
harga barang dan jasa, bisa memicu formasi angka kemiskinan baru dan
menimbulkan ketimpangan sosial. Akibatnya, publik menuai hasilnya. Salah satu
daerah di Maluku Utara, yakni Kota Ternate dikategorikan sebagai salah satu
kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia. 

            Mengapa masih tumpulnya kebijakan
publik? Karena lebih banyak perumusan kebijakan publik itu diproduksi dari
ruang pemerintah daerah sehingga mengabaikan substansi sosial kemasyarakatan.
Musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) yang melibatkan masyarakat
perdesaan, seringkali belum mengakomodasi mayoritas kebutuhan masyarakat. Di
sisi lainnya, kebijakan pembangunan daerah dalam melibatkan investor dengan
alasan rangka penataan, efisiensi, dan kesejahteraan daerah justru lebih
menguntungkan pemilik modal yang 
menguasai struktur ekonomi sumberdaya alam. Belajar dari kasus tersebut,
pemerintahan daerah seharusnya membuka kran komunikasi yang transparan dengan
masyarakat, menjaga keseimbangan dalam keberpihakan terhadap masyarakat pemilik
modal. 





Demikian
pula penegakkan supremasi hukum di daerah ini terhadap pelaku korupsi anggaran
kebijakan publik harus professional tanpa tebang pilih. Saat ini masih maraknya
berita di media masa lokal mengenai kasus korupsi yang melibatkan para
aktor-aktor pengambil kebijakan publik adalah contoh telanjang tentang buruknya
moral para petinggi-petinggi pembangunan di daerah ini. Dampak korupsi ini
justru bersampak luas karena merusak mentalitas pemerintahan yang kredibel,
memperburuk kualitas pelayanan publik, dan merusak kepercayaan social (social trust). 

Wajar jika para petinggi
daerah ini wajib belajar dan mempraktekkan arti kejujuran dan keadilan terhadap
kinerjanya. Jika kebijakan publik itu demi kepentingan publik, mengapa justru
menimbulnya ketimpangan sosial di masyarakat. Lalu  dimana sebenarnya substansi keselahan praktek
kebijakan yang berdampak meluas terhadap publik itu.

 Semuanya dikembalikan kepada kejujuran dan
kualiatas aktor kebijakan daerah ini. Sebagai perbandingan, secara formal
indeks kinerja pemerintahan daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota di Indonesia)
dikaitkan tinggi rendahnya mutu pelayanan publik. Sumber masalahnya adalah
buruknya kebijakan publik ditandai oleh perilaku korupsi, rendahnya kualitas
pembangunan, rendahnya tingkat pelibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran
dan hasil-hasil pembangunan daerah, serta evaluasi kebijakan yang terukur.
Merumuskan kebijakan publik yang berkualitas adalah saripati kebijakan yang
berpihak pada kebaikan bersama (common
sense)
, dimana suatu produk perumusan kebijakan yang berdampak luas terhadap
daya saing daerah, inovasi, kualitas hidup masyarakat, dan kemajuan bersama.
Implementasi kebijakan publik secara nyata di masyarakat antara lain
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat sehari-hari, stabilnya daya beli
masyarakat, terciptanya ruang-ruang publik yang serasi, dibangunnya berbagai
fasilitas infrstruktur yang berkualitas sebagai pendukung aktivitas pereknomian
masyarakat.





Kebijakan
publik bisa dicapai melalui pendekatan kebijakan distributif dan regulatif.
Praktek yang distributive berkaitan dengan kebijakan yang mempertimbangkan
distribusi sumberdaya pembangunan yang yang meluas baik infrastruktur, modal
maupun kebutuhan bersama. Seperti sudah disinggung di atas bahwa kebutuhan
dasar masyarakat merupakan contoh nyata kebijakan distributive yang
diimplementasikan melalui pelayanan publik. Sedangkan kebijakan regulatif
berkaitan dengan kebijakan di level regulasi yang berdampak luas, baik
intsruksi, edaran, implementasi, perintah maupun larangan. Kasus-kasus
tumpulnya dan mandulnya fungsi Perda disebabkan oleh kemampuan berbagai
stakeholder dalam menaati regulasi daerah masih rendah. Jika keduanya bisa
berjalan dengan baik, maka akan menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas
pula. Pelayanan publik yang berkualitas ketika pemerintah mampu menyediakan
fasilitas umum dan mampu mengelolanya dengan baik. Peratnyaannya, apakah
pemerintahan saat ini sudah mampu menyediakan fasilitas publik yang memadai.
Pengelolaan Rumah sakit, air, listrik yang masih amburadul ini tentu saja
memerlukan penanganan dan evaluasi yang baik. Sektor lainnya tidak kalah
pentingnya adalah peningkatan mutu sumberdaya manusia sebagai penopang kinerja
pembangunan. Akselerasi sumberdaya manusia (SDM) ditandai oleh kualitas produk
SDM hasil perguruan tinggi di Maluku Utara. 

Akhirnya,
meskipun kebijakan publik dirumuskan oleh pemerintah daerah, meminjam Bridgman
dan Davis dalam bukunya “The Australian Policy Handbook (1998) tentang siklus
kebijakan publik (identifikasi isu, analisis kebijakan, konsultasi, koordinasi,
keputusan, implementasi, dan evaluasi), tetapi wajib melibatkan pihak-pihak
lainnya yang berkompeten agar hasilnya tidak merugikan semua pihak. Keputusan
bersama diawali oleh identifikasi isu daerah yang mendesak dan prioritas.
Hal-hal apa saja yang mendesak di daerah ini? Tentu saja masalah
keterbelakangan, pengangguran yang berdampak pada kemiskinan, rendahnya daya
saing, dan kurangnya infrastruktur daerah. Ini sangat jelas di mata masyarakat.
Agar kebijakan publik itu menghasilkan produk yang berbobot, membutuhkan formulasi
kebijakan yang tepat, tidak salah dalam perencanaan pembangunan dengan berbagai
solusi yang baik dan tepat. Mengapa dalam implementasinya sering mengalami
kemacetan?.

Mungkin saja prosesnya tidak berdasarkan  kaidah dan prinsip administrasi, kurang
tersedianya sumberdaya finansial  maupun
buruknya moral SDM yang mengurusi kebijakan itu. Dengan model evaluasi 20
tahunan jangka panjang, 5 tahunan jangka menengah, satu tahun, 6 bulan, maupun
3 bulan, maka seharusnya pemerintah daerah sudah mampu mengetahui di mana
sebenarnya titik kelemahan kinerja kebijakan public selama ini. Dengan berbagai
fakta dan kecenderungan tersebut di atas, maka kebijakan publik masih lebih
dominan dikuasai oleh penentu kebijakan karena kepentingan para elite sehingga
mudah korupsi. Jika demikian halnya untuk siapa sebenarnya kebijakan publik itu
diwujudkan?(***)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan