Brindonews.com
Beranda Headline Di Teras Baja Ringan, Delapan Media Menabuh Genderang “Perang” 

Di Teras Baja Ringan, Delapan Media Menabuh Genderang “Perang” 

Istimewa

Oleh: Mario Ahsan 

Pencinta Karya Sastra, Penikmat Kopi

“Jurnalis adalah agen perubahan sosial yang menginspirasi orang untuk berpikir dan bertindak.”

– Daniel Irvin “Dan” Rather Jr.

Sore di Ternate memantulkan cahaya terakhirnya seperti bara yang enggan padam. Sholat Ashar baru berlalu, namun panas masih menggantung di ubun-ubun. Angin semilir datang dan pergi, seolah ikut mengawasi pertemuan kecil itu. Di tepi jalan depan, knalpot kendaraan bertalu sebentar lalu hilang ditelan kecepatan.

Di bawah atap baja ringan yang sederhana, sembilan lelaki duduk mengelilingi meja persegi. Mereka merengguk air mineral, tapi yang ingin mereka padamkan bukanlah dahaga, melainkan resah yang menahun terhadap bau anyir korupsi yang kian menyengat.

Rabu 26 November 2025 itu bukan sekadar sore yang lengang. Dari teras sederhana tapi terbuka itu lahir sebuah perhimpunan—barisan jurnalis yang memilih mengikatkan diri bagai sapu lidi agar bisa menyapu lebih dalam, lebih tajam, ke ruang-ruang gelap kekuasaan yang pengap dan lembab.

Mereka adalah nama-nama yang akrab di ruang redaksi: Burhan Ismail, pendiri Posko Malut—jurnalis yang tak pernah ragu menyingkap ruang sepi di kantor penegak hukum, Munawir Yakub dari Media Brindo Group; Rustam J. Marsaoly yang memimpin Telusurmalut.com, Ismail Lasut PotretMalut.com, Faisal Didi TalentaNews.com, Iswan Saleh Ceo Lensamalut.com, Muhammad Yamin dari JurnalMalut.com; Magfirah Amir, nakhoda Posko Malut.com; dan Jais dari Pojoklima.com. Nama-nama yang selama ini bergerak sendiri-sendiri, kini duduk sejajar seperti garis yang hendak ditarik lurus menuju satu titik: perangi korupsi.

“Kami resah,” kata Bur Posko—sapaan akrab Burhan Ismail, lirih tapi tegas. “Pemerintahan dibebani persoalan dugaan korupsi dan setumpuk masalah lain. Itulah alasan kami berhimpun.”

Resah itu bukan baru datang kemarin sore. Ia “tumbuh” dalam dokumen yang dibredel, dari laporan masyarakat yang menguap, dari wajah-wajah pejabat yang tersenyum sambil menyembunyikan angka-angka fiktif di balik tanda tangan mereka.

Kieraha Corruption Watch (KCW) hadir dalam barisan itu. Kieraha—empat gunung yang merujuk pada empat kesultanan—sebuah nama yang meminjam kekuatan lanskap Maluku Utara yang kokoh, tak goyah, dan sulit dilenyapkan. Simbol keteguhan yang dulu melawan-mengusir kolonialisme, kini digunakan melawan korupsi yang menjalar seperti akar yang tak terlihat, tetapi mencengkeram.

Ingatan Bur terpelanting ke masa ketika Posko Malut masih terbit cetak. Ia bermitra dengan Halmahera Corruption Watch (HCW), membongkar kasus yang mengendap di brankas-brangks birokrasi—sebagian di antaranya baru bergerak setelah bertahun-tahun dibungkam.

Asa itu ingin ia hidupkan kembali—kali ini dengan kekuatan yang lebih besar, terstruktur, lebih kompak, lebih berisik. Bur dan kawan-kawan menyadari, korupsi hari ini tak lagi berjalan mengendap-endap, melainkan “memakai jas,” duduk di rapat anggaran, menebar senyum di kamera, dan pandai bersembunyi di balik kata “kewajaran.”

Senja turun perlahan. Lampu teras menyala remang, menyorot wajah-wajah yang tidak sepenuhnya letih. Agenda disusun, skema liputan dipetakan. Ada rencana kolaboratif—data dibagi, akses dibuka, narasumber diikat, dan risiko dibagi rata.

“Tentu saja jurnalis lain boleh bergabung,” kata Burhan, “asalkan punya visi yang sama.” Visi itu sederhana: menulis dengan keberanian, menyingkap fakta dengan ketelitian. Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik jadi sandaran.

Seperti kata Jill Abramson, “Jurnalis yang baik adalah seseorang yang bertanya, mencari fakta, dan memberitahu kebenaran apapun hasilnya.” Gwen Ifill: “Seorang jurnalis yang baik harus menjadi pengawas kebenaran dan keadilan.”

Dari teras kecil di pinggir jalan itu, mereka menabuh “gendering” perang. Perang yang hanya bisa dimenangkan lewat berita yang berbasis data, bukan sekadar bisik-bisik lembut lewat laporan yang mengikat fakta pada tempatnya, hingga penegak hukum tak bisa lagi memalingkan wajah.

Mereka tahu dan pernah merasakan konsekuensinya: telepon tak dikenal dini hari, pesan samar, lobi-lobi penghentian, hingga ancaman halus dan keras. Tapi mereka juga tahu bahaya paling ngeri dari korupsi: meretakkan iman, memiskinkan rakyat, menghancurkan infrastruktur, hingga merobohkan masa depan negeri tanpa suara.

Belakangan, pemberitaan dugaan korupsi dari barisn tersebut muncul beruntun—seperti ketukan palu yang tak mau berhenti. Ada aroma penyelidikan yang akan memanjang, ada bisik-bisik pejabat yang mulai gelisah, tidur tak nyenyak.

Akankah mereka berhasil? Waktu yang akan menjawab.

Namun dari teras baja kecil tak terlalu istimewa pada sebuah sore yang terik itu, satu hal sudah pasti: sebuah perlawanan telah dimulai, dan sejarah menunjukkan suara kecil sering kali menjadi bunyi pertama dari perubahan besar. “Jurnalisme adalah amunisi paling kuat yang dapat digunakan untuk mengubah dunia,” demikian Nelson Mandela. (**)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan