Pentingnya Sosialisasi Larangan Buang Sampah di Laut dan Destructive Fishing di Halbar

![]() |
Jaring plastik bekas menjerat penyu tempayan di Laut Mediterania, Spanyol. (dok. nationalgeographic.grid.id). |
Membuang
sampah sembarang dan penggunaan sampah plastik masih menjadi salah satu masalah
terbesar yang belum bisa diselesaikan. Minimnya kesadaran masyarakat membuang
sampah berimbas pada laut yang mulai ditutupi sampah. Bahkan dampaknya juga
memengaruhi satwa lindung.
Dengan dasar
ini, Tim Pengawas Perikanan Pangkalan Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan atau PSDKP
Ambon melaksanakan sosialisasi larangan buang sampah di laut dan cara
melindungi satwa lindung.
Ketua Tim Gelar Operasi Napoleon 055, Sunapit M menjelaskan, sosialisasi
semacam ini sangat penting membantu masyarakat memperoleh pengetahuan mengenai bahaya
sampah di laut dan jenis apa-apa saja hewan yang dilindungi.
“Misalnya
jenis satwa laut lindung di laut, ada penyu, hiu paus, dugong atau ikan duyun,
Ikan Napoleon atau maming, pari manta, lobster, kepiting dan rajungan. Begitu juga
satwa darat lainnya. Ada kera besar, Nuri Ternate, kakatua putih, kakatua hijau
dan jenis burung lindung lainnya,” kata Sunapit.
Sunapit menyebutkan, dalam sosialisasi masyarakat diberi
pemahaman mengenai larangan buang sampah di laut, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, UU
Nomor 5 tahun 1990 tentang hewan lindung dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun
1999 tentang pengawetan dan jenis tumbuhan dan satwa serta ketentuan sanksi
terhadap hewan yang di lindungi.
Selain larangan buang sampah di laut dan pentingnya
melindungi hewan lindung, Sunapit menganggap sosialiasi menyangkut kegiatan
penangkapan yang tidak ramah lingkungan atau Destructive Fishing di
Halmahera Barat juga amat pentig.
Menangkap ikan dengan tradisional dengan bahan peledak, bius
dan racun bukan saja merusak regenerasi ikan, namun ikut merusak ekosistem dan
biota laut lainnya.
“Kegiatan semacam ini masih sering dijumpai atau terjadi di laut
Maluku Utara,” ucap Apit, Begitu Sunapit biasa disapa, dalam cara sosialisasi
di Desa Guaeria, Halmahera Barat, Minggu (14/6).
Bagi-bagi Brosur/Pamflet
“Tim gabungan ini selain melakukan sosialisasi, juga membagikan
brosur atau pamflet. Isinya mengenai undang-undang perikanan yang mengatur
tentang Destructive Fishing,” ucap Pengawas
Perikanan Wilayah Kerja PSDKP Jailolo itu.
Apit mengatakan, kegiatan Destructive Fishing dapat menyebabkan kerugian besar terutama terhadap kelestarian
ekosistem perairan. Destructive
fishing yang dilakukan oleh oknum masyarakat umumnya
menggunakan bahan peledak atau bom ikan, dan penggunaan bahan beracun untuk
menangkap ikan mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem di
sekitarnya.
“Efek
lainya adalah kematian berbagai jenis dan ukuran yang ada di perairan tersebut,”
ucapnya.
Tujuan
Bagi-bagi Brosur atau pamflet, kata Apit, agar masyarakat
bisa tahu hewan-hewan laut dan satwa mana yang tidak bisa di tangkap atau di
bunuh maupun dikomersilkan.
Kegiatan tersebut dipimpin Rizqi Tatri Kusuma, selaku Koordinator
Satwa Morotai, sekaligus penanggungjawab PSDKP Ambon. Pelaksanaan sosialiasi
itu ikut hadir Pengawas Perikanan Lingkup Stasiun PSDKP Ambon, PSDKP Ternate,
Satwa PSDKP Morotai, dan Pengawas perikanan Wilker PSDKP Jailolo serta Perwakilan
dari DKP Provinsi Malut.
Mikroplastik Bahaya Tersembunyi
M. Reza
Cordova, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI mengemukakan, dari
76 juta plastik yang digunakan manusia, hanya dua persen bisa didaur ulang.
Sementara 32 persen sisanya masuk ke ekosistem.
Semua
sampah plastik yang ada di ekosistem nantinya dapat dipastikan berakhir pada
lautan dan mengancam biota yang ada. Sampah plastik, lanjut M. Reza, dapat
berakibat fatal bagi biota laut.
Reza
mencontohkan seekor penyu yang biasa memangsa ubur-ubur. Ketika berada di dalam
air laut, plastik akan terlihat layaknya ubur-ubur dan membuat si penyu akan
langsung memakannya.
“Ketika
dimakan biota, plastik akan merusak dan merobek bagian dalam saluran pencernaan
(hewan),” ujar Reza seperti dilansir di laman oseanografi.lipi.go.id.
Ia menambahkan bukan itu saja dampak buruk plastik. Ketika
plastik berubah menjadi mikroplastik, biota laut seperti plankton dapat memakan
zat tersebut. Plankton yang kemudian dimakan ikan dan ikan itu nantinya akan
dimakan oleh manusia. Hal ini membuat mikroplastik yang awalnya berada di plankton
bisa berpindah ke makhluk lain seperti ikan dan manusia.
Meski belum diketahui secara pasti dampaknya bagi manusia,
riset yang dilakukan Reza menemukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Dalam riset tersebut ditemukan, hewan yang
mengkonsumsi mikroplastik mengalami tumor pada bagian saluran pencernaan. Hal
ini menjadi indikasi bahwa plastik berdampak buruk pada biota.
Menurut
hasil risetnya, kandungan mikroplastik di Indonesia masih kurang lebih sama
dengan kandungan mikroplastik di Samudra Hindia. Diperkirakan, ada sekitar 30
sampai 960 partikel mikroplastik per liter air. Sementara di China ditemukan
ada sekitar 17 ribu partikel zat tersebut dalam tiap satu liter air.
Meski jumlah
mikroplastik di Indonesia masih terhitung sedikit, apa yang ditemukan Reza
dalam risetnya menunjukkan kalau mikroplastik bisa jadi membawa ancaman dan
bahaya tersembunyi, setidaknya pada biota laut.
“(Memang)
mikroplastik dampaknya ke jangka pendek lebih rendah dan belum diketahui dampak
jangka panjangnya (pada manusia). Tapi bukan berarti kita bisa mengabaikannya,”
ucapnya.
Reza
mengatakan, dirirnya akan melakukan riset jangka panjang terhadap mikroplastik
untuk mendalami bahaya tersembunyi zat ini.
800 Partikel
Berasal dari Pembungkus Rokok, Pakaian, dan Jaring Ikan
![]() |
Jaring plastik bekas menjerat penyu. (dok. EduardoAcevedo | nationalgeographic.grid.id). |
Mikroplastik
merupakan partikel yang berukuran kurang dari lima milimeter. Para peneliti
khawatir serabut ini dapat membawa bakteri atau virus uang menginfeksi penyu atau mengubah
sel mereka.
“Hasil studi
ini menambah bukti bahwa kita semua harus mengurangi jumlah sampah plastik di
laut kita. Juga menjaga agar laut tetap bersih, sehat, dan produktif bagi
generasi mendatang,” kata dr. Penelope Lindeque, peneliti dari Plymouth Marine
Laboratory, seperti dikutip di laman nationalgeographic.grid.id
Menurut studi
yang dipublikasikan pada Global Change Biology, perlu
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek jangka panjang mikroplastik pada
hewan laut tersebut.
“Ukuran
mikroplastik yang sangat kecil berarti mereka dapat melewati sistem pencernaan
penyu tanpa penyumbatan. Meski begitu, penelitian masa depan harus fokus pada
apakah mikroplastik mungkin memengaruhi organisme air lainnya yang memiliki
tubuh lebih lunak,” papar Dr. Emily Duncan, pemimpin penelitian.
Para ahli
ekologi mengumpulkan sampel dari 102 penyu dari Samudra
Atlantik dan Pasifik, serta Laut Mediterania. Mereka menemukan 800 partikel
serat sintetis yang berasal dari pembungkus rokok, pakaian, dan jaring ikan.
“Meskipun studi
ini sukses menemukan hal baru, tapi saya justru merasakan sebaliknya. Bukan hal
bagus ketika Anda melihat mikroplastik pada perut setiap spesies penyu yang diteliti,”
pungkas Duncan. (an/red)