Brindonews.com
Beranda Nasional Rumput Laut dan Laut yang Menyangga Pangan: Menata Masa Depan Ekonomi Biru dari Pulau Morotai

Rumput Laut dan Laut yang Menyangga Pangan: Menata Masa Depan Ekonomi Biru dari Pulau Morotai

Oleh: Rusdi Hi. Ishak Mahasiswa Doktor Universitas Muhammadiyah Malang

Di tengah ancaman krisis pangan global dan perubahan iklim, laut Indonesia menyimpan harapan baru bagi masa depan ketahanan pangan nasional. Dari Pulau Morotai, Maluku Utara, hamparan rumput laut bukan hanya simbol ekonomi pesisir, tetapi juga cermin potensi besar ekonomi biru yang berkelanjutan.

Rumput Laut: Dari Laut untuk Pangan dan Kehidupan

Laut Indonesia adalah anugerah yang kerap kita pandang setengah sadar. Ia luas, indah, dan kaya sumber daya, namun masih sering diperlakukan sekadar halaman belakang negeri. Padahal, di tengah ancaman krisis pangan global, laut sesungguhnya memegang peran strategis yang belum sepenuhnya kita sadari terutama melalui komoditas sederhana yang sering luput dari sorotan yaitu rumput laut. Rumput laut bukan sekadar bahan tambahan makanan atau kosmetik. Ia adalah sumber gizi, energi, dan ekonomi. Di banyak negara, rumput laut bahkan menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan karena kandungan proteinnya yang tinggi, mineral esensial yang lengkap, serta potensinya sebagai bahan baku pangan fungsional dan pakan alternatif. Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi pusat produksi dunia. Menurut data International Trade Centre (2019), Indonesia merupakan eksportir rumput laut terbesar di dunia dengan volume 176.481ton pada 2018. Namun, di balik kebanggaan itu tersimpan ironi: sebagian besar produk kita masih diekspor dalam bentuk bahan mentah, sementara nilai tambahnya dinikmati di luar negeri.

Pulau Morotai dan Harapan dari Laut

Di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, laut bukan hanya bentangan air, melainkan ruang kehidupan. Perairannya yang jernih, suhu dan salinitasnya yang stabil menjadikannya habitat ideal bagi budidaya rumput laut. Ratusan keluarga menggantungkan hidup dari setiap tali yang terapung di permukaan laut. Namun, potensi besar itu belum berbanding lurus dengan kesejahteraan pembudidaya. Produktivitas masih fluktuatif, kelembagaan lemah, dan penerapan teknologi belum optimal. Di sisi lain, tekanan lingkungan akibat aktivitas pesisir seperti pertambangan dan pariwisata mulai terasa. Penurunan kualitas air laut bukan hanya ancaman bagi ekologi, tetapi juga bagi rantai pangan laut yang menopang kehidupan masyarakat. Padahal, dalam kerangka ekonomi biru, laut seharusnya menjadi tumpuan ketahanan pangan masa depan sumber protein, bahan baku industri pangan, sekaligus penyangga ekonomi lokal.

Rumput Laut dan Ketahanan Pangan

Kita jarang memandang rumput laut sebagai bagian dari sistem pangan nasional. Rumput laut adalah bahan baku penting dalam industri pangan global mulai dari agar-agar, es krim, hingga suplemen nutrisi. Lebih jauh lagi, budidaya rumput laut tidak membutuhkan lahan subur seperti pertanian darat. Ia tumbuh di laut, tanpa pupuk kimia, tanpa irigasi, dan tanpa menimbulkan konflik lahan. Artinya, rumput laut mampu menghasilkan bahan pangan dan ekonomi tanpa menambah tekanan terhadap lahan pertanian yang semakin sempit. Sehingga rumput laut dapat disebut “padi dari laut” sumber gizi, pendapatan, dan keberlanjutan.

Namun, sebagaimana ditunjukkan berbagai penelitian (Budianto, 2018; Wahyuni et al., 2020), keberhasilan budidaya tidak hanya ditentukan oleh kualitas air, melainkan juga oleh tata kelola sosial dan ekonomi. Akses pasar, inovasi pascapanen, serta kelembagaan pembudidaya menjadi faktor penting yang menentukan keberlanjutan. Di Pulau Morotai, tantangan ini nyata. Diperlukan dukungan riset, kebijakan, dan sinergi lintas sektor untuk memperkuat kapasitas lokal agar potensi besar ini tidak berhenti di laut, tetapi berlanjut menjadi kekuatan ekonomi dan pangan nasional.

Ekonomi Biru dan Jalan ke Depan

Kita memerlukan cara pandang baru: laut bukan hanya sumber daya, tetapi juga ruang pangan. Pemerintah daerah bersama akademisi dan masyarakat perlu membangun model pengelolaan yang mengintegrasikan dimensi ekologi, sosial, ekonomi, dan teknologi. Kajian daya dukung perairan harus dipadukan dengan inovasi pascapanen, sistem pemasaran digital, serta kebijakan harga yang berpihak pada pembudidaya. Dengan demikian, rumput laut tidak hanya menopang ekspor, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan nasional. Ia bisa menjadi bahan baku industri makanan lokal, suplemen gizi untuk anak sekolah, atau bahkan substitusi pakan ternak yang menekan impor bahan baku. Budidaya rumput laut adalah contoh konkret dari harmoni antara manusia dan alam: ekonomi tumbuh, lingkungan terjaga, pangan terjamin. Rumput laut menyerap karbon, menjaga ekosistem pesisir, sekaligus memberi penghasilan bagi keluarga nelayan. Dalam konteks krisis iklim dan ketidakpastian global, rumput laut adalah simbol kedaulatan pangan maritim yang harus kita rawat.

Penutup

Masa depan ketahanan pangan Indonesia tidak hanya bergantung pada sawah dan ladang, tetapi juga pada laut. Di sanalah tersimpan cadangan pangan masa depan tumbuh diam-diam di antara gelombang Morotai, menunggu untuk dikelola dengan ilmu, kebijakan, dan kesadaran ekologis. Rumput laut tumbuh di air asin, tetapi dari sanalah harapan yang manis bagi pangan dan masa depan bangsa bermula.

 

 

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan