Brindonews.com






Beranda Opini Politik Hukum Pasifik Arah Baru Sistem Hukum Indonesia

Politik Hukum Pasifik Arah Baru Sistem Hukum Indonesia

Oleh: Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.  |  Penulis adalah Advokat dan Dosen S2 Magister Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Kawasan pasifik tidak seramai kawasan Asia Tenggara dan kawasan Timur Tengah yang selalu ramai dalam perbincangan secara global, dan bahkan provinsi-provinsi ras Melanesia seperti Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua yang berada langsung dalam kawasan pasifik, tidak banyak melakukan kajian serius soal pasifik.





Ras Melanesia menurut Tiwery (2015) berasal dari sebelah barat Samudera Pasifik. Salah-satu ciri yang melekat pada ras Melanesia ialah kemampuan mereka melakukan pelayaran jarak jauh menggunakan perahu.

Dalam sejarah, tercatat bahwa masyarakat Nusantara sempat melakukan pelayaran melewati Samudera Hindia, India, dan sampai di Afrika (Yudi Latif, Negara Paripurna). Dari sini, bisa dikatakan bahwa pada mulanya sistem pelayaran dunia ialah dari Timur ke Barat. Sejak itu, orang Barat mulai mengenal rempah-rempah yang dibawah pelaut Nusantara.

Sekilas ulasan tentang ras di atas, sekedar menunjukkan bahwa masyarakat Maluku pada umumnya berasal dari satu akar pohon keluarga yang sama yakni Melanesia.





Belakangan, Melanesia tidak disebut lagi sebagai ras tapi suku-bangsa sejak Maluku menggabungkan diri dalam negara yang sah yakni Indonesia (lihat: https://alif.id/read/m-kashai-ramdhani-pelupessy/sejarah-lahirnya-budaya-siwalima-hakikat-persatuan-ala-maluku-b232722p/).

Ras Melanesia memiliki solidaritas kultur yang begitu kuat dibarengi spritualitas serta penghargaan yang tinggi terhadap alam. Sebagai contoh di Maluku, oleh masyarakat dibuat hukum-hukum yang bertujuan menjaga hubungan kekerabatan sosial, sekaligus membuat hukum untuk menjaga keseimbangan alam dan kelestarian alam.

Sasi Laut Ikan Lompa di Pulau Haruku Maluku, sebagai bukti keberhasilan manusia dengan alam. Sasi yang adalah hukum adat merupakan suatu ide, perilaku dari suatu masa yang lalu yang diturunkan secara simbolis dengan makna tertentu kepada suatu kelompok atau masyarakat. (Damardjati Kun Marjanto, Nilai Budaya Yang Terkandung Dalam Tradisi Sasi Ikan Lompa Di Negeri Haruku Kabupaten Maluku Tengah,2015).





Potret nilai-nilai hukum Melanesia Maluku di atas, sebagai wujud nyata hubungan manusia dengan Allah Swt, sesama manusia dan alam.

Dalam pandangan masyarakat, kepulauan adalah alam yang bersifat personal, alam yang berjiwa dan beridentitas, alam yang memiliki daya, sejarah dan nilai-nilai yang juga menentukan bagi keberlanjutan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat kepulauan itu sendiri (Watloly, 2013. Dalam Elsina Titaley, Local Community Empowerment Through Exploitation Of Masela Bloc Gas, 2019).

Perspektif Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi pernah mengeluarkan pernyataan bahwa “Indonesia bagian dari bangsa Pasifik”. Selanjutnya Mantan Duta Besar Indonesia untuk New Zealand pada tahun 2021 menyatakan bahwa “kita (Indonesia) adalah ras pasifik terbesar (we are the biggest Pasific race)”. (lihat: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/26/indonesia-dan-pemahaman-tentang-pasifik). Sudah pasti klaim tersebut, merujuk pada Provinsi Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua (Melanesia Indonesia).





Indonesia telah tiga kali mengadakan kegiatan yang bertemakan kawasan pasifik yang akhirnya tidak berjalan dan tidak berkelanjutan diantaranya; pertama, pada awal tahun 2000 Indonesia sebagai inisiator Forum Kerja Selatan-Selatan yang akhirnya tidak berjalan; kedua, tahun 2015 Indonesia pernah membuat Festival Kultural Melanesia Indonesia (Melindo);dan ketiga, tahun 2018 Indonesia pernah membuat juga Forum Indonesia Pasific Parliamentary. Isu-isu strategis Provinsi ras Melanesia (Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua) di Indonesia yakni pelanggaran HAM Papua, masyarakat adat, pelestarian eksosistem maritim, kerusakan alam dan pariwisata.

Terakhir pada 7 Desember 2022 Indonesia menjadi inisiator Indonesia-Pacific Forum for Development (IPFD), muncul persoalan dalam IPFD tersebut, Pemerintah Indonesia mengklaim sebagai bagian dari ras Pasifik (Melanesia), namun tidak melibatkan provinsi-provinsi yang adalah ras Melanesia yang kedudukannya juga berada pada wilayah pasifik.

Menurut penulis, pemerintah Indonesia seharusnya menjadikan Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua sebagai solidaritas kawasan (solidarity in paradise). Artinya keempat provinsi tersebut, tidak hanya dijadikan sebagai dasar klaim bahwa Indonesia bagian dari negara pasifik atau ras Melanesia, namun perlu terlibat secara aktif  sebagai aktor utama dalam pusaran geopolitik pasifik.





Sebagai contohnya Proyek Gas di Laut Arafura Blok Masela, Kabupaten Kepulauan Tanimbar Maluku. Blok Masela pada disisi lain, menunjukan potensi melimpah sumber daya alam. Namun, dibalik itu menyimpan potensi konflik horizontal dan konflik international. Seperti de javu perang Asia Pasifik antara Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1937-1945. Terkini Amerika Serikat, Inggris dan Australia telah membentuk pakta strategis trilateral bernama AUKUS yang berfokus pada wilayah Indo-Pasifik.

Sudah tentu, AUKUS memiliki dampak secara langsung baik positif atau negatif terhadap Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi NTT dan Provinsi Papua sebagai ras Melanesia di negara Indonesia yang berhadapan langsung dengan geopolitik pasifik.

Sehingga memunculkan pertanyaan, bagaimana politik hukum pemerintah Indonesia dalam mengakomodir aspirasi masyarakat adat ras Melanesia di Indonesia, baik itu perlindungan wilayah adat, beserta hukum adatnya dalam hal ini sasi laut? dengan historis-antropologi ras Melanesia di Indonesia yang menggantungkan sebagian besar hidup di laut (maritim), maka sudah sejauh mana kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan teritorial dan perlindungan hak ras Melanesia, dalam perspektif geopolitik pasifik? dan politik hukum seperti apa yang hendak dibangun oleh Pemerintah terhadap ras Melanesia yang ada di Indonesia, dan yang ada di wilayah pasifik itu sendiri, mengingat secara historis-antropologis keduanya tidak bisa terpisahkan?. Pemerintah yang saat ini mengklaim bagian dari ras Melanesia untuk bisa masuk sebagai anggota wilayah pasifik.





Sudah waktunya pemerintah membentuk “Politik Hukum Pasifik” yang mana nilai-nilai hukum, sistem hukum adat dan masyarakat adat ras Melanesia (Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua) dimasukan kedalam pembentukan politik hukum pasifik.

Sasi Ikan Lompa telah memberikan potret kecil bahwa ras Melanesia di Indonesia merupakan kultur maritim yang memiliki nilai-nilai hukum asali yang telah ada sebelum adanya negara Indonesia. Dan nilai-nilai dan hukum adat ras Melanesia sampai saat ini berjalan.

Norma hukum adat dan sistem hukum adat yang terdapat di provinsi-provinsi ras Melanesia, harus dijadikan sebagai struktur, substansi hukum dan budaya hukum dalam politik hukum pasifik. Memunculkan gagasan politik hukum pasifik dipermukaan, oleh banyak orang merupakan hal yang baru dan terkadang aneh.





Namun bila melihat landasan politik hukum Indonesia yang basisnya adalah Pancasila dan UUD 1945, maka politik hukum pasifik sangat rasional dibutuhkan oleh ras Melanesia dan Pemerintah.

Spritualisme dan solidaritas merupakan nilai dan hukum bagi ras Melanesia yang kemudian terlembaga tidak secara positivisme (tertulis), akan tetapi nilai dan hukum tersebut, walau dituturkan secara lisan, namun dijalankan secara bijaksana oleh ras Melanesia sebagai contoh pelaksanaan sasi ikan lompa di atas.

Spritualisme dan solidaritas ini kemudian juga terdapat dalam Sila ke 1 dan Sila ke-2 Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai norma gotong royong, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat, hukum adat beserta wilayah adat. Politik hukum pasifik adalah sebuah gagas pikir penulis, yang sekiranya menjadi pijakan awal membangun geopolitik pasifik bagi Indonesia sekaligus melindungi kepentingan hukum ras Melanesia itu sendiri.





Secara internal, untuk melindungi hak-hak ras Melanesia di Indonesia politik hukum pasifik juga sebagai kebijakan dasar bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengatur tata kelola dan pemanfaatan fungsi laut dan pesisir yang mana menjadikan masyarakat adat dan hukum adatnya ras Melanesia sebagai aktor utama kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan ras Melanesia yang mana saat ini, dikategori sebagai daerah miskin, tertinggal, terluar, dan terpencil di Indonesia.

Secara eksternal, politik hukum pasifik dapat menjadi pijakan Indonesia untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara pasifik. Politik hukum pasifik menjadi argumentasi rasional Indonesia, sekaligus tawaran politik dan hukum dengan pemain lama di kawasan pasifik seperti Australia, New Zaeland dan Amerika Serikat bahwa bicara soal pasifik, maka Indonesia juga berhak menjadi aktor utama geopolitik pasifik.

Dikarenakan terapat hubungan historis dan antropologis dengan negara-negara pasifik. Perihal AUKUS di atas, maka dari itu membangun politik hukum pasifik menjadi kebutuhan dasar bagi pemerintah Indonesia untuk melindungi provinsi-provinsi yang berbatasan di wilayah pasifik yang mendapatkan dampak secara langsung dari AUKUS baik secara positif dan negatif.





Terakhir, penulis memiliki keyakinan bahwa 20 tahun kedepan Politik Hukum di Indonesia berfokus pada wilayah pasifik. Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua merupakan arus dan poros utama politik hukum pasifik berpadu. Maka hari ini, sebagai ras Melanesia wajib mempersiapkan banyak hal, baik secara akademis dan praktis. Tujuannya, agar generasi Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua pada hari ini, kedepannya menjadi aktor utama politik hukum pasifik di Indonesia dan kawasan pasifik. **

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan