Brindonews.com






Beranda News Penjelasan dan Pandangan Dr. Hasrul Buamona soal RUU Kesehatan

Penjelasan dan Pandangan Dr. Hasrul Buamona soal RUU Kesehatan

Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona memberikan padangan mengenai RUU Kesehatan dalam FGD Partisipasi Publik Rancangan Undang-undang Kesehatan. Terlaksananya FGD ini atas kerja sama Kementerian Kesehatan dengan Kolegium Juris Institute dan Fakultas Hukum UGM.

Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona memberikan empat gagasan dan pandangan dalam FGD Kementerian Kesehatan.

FGD Partisipasi Publik Rancangan Undang-undang Kesehatan terlaksana atas kerja sama Kementerian Kesehatan dengan Kolegium Juris Institute dan Fakultas Hukum UGM.





Dalam diskusi ini para pakar hukum diminta menyampaikan pandangannya, salah satunya Dr. Hasrul Buamona. FGD dilangsungkan Hotel Alana Convention, Jumat 31 Maret.

Adapun empat poin gagasan dan pandangan Dr. Hasrul Buamona, yaitu (1). Integrasi dan sinergitas peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungan dengan pelayanan kesehatan. (2). RUU Kesehatan harus mempermudah pengangkatan tenaga profesi medis dan tenaga profesi kesehatan untuk menjadi ASN dan PPK untuk menjawab kurangnya tenaga medis diwilayah terpencil. (3). Mengatur norma terkait Kedududan Rekam Medis sebagai Alat kedalam RUU Kesehatan. (4). RUU Kesehatan harusnya membuat Peradilan Profesi Medis yang kedudukannya dibawah Mahkamah Agung demi terwujudnya access to justice.

Di hadapan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Dr. Hasrul menyampaikan, wajah politik hukum kesehatan di Indonesia penuh dengan konflik pembentukan norma, tumpang tindih aturan, sampai berebut kewenangan. Hal ini disebabkan politik hukum peraturan perundang-undangan dalam pelayanan kesehatan tidak saling terintegrasi.





Sebagai contoh kecil dapat terlihat dari UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam konsideransnya tidak sama sekali memuat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sehingga secara politik hukum, rumah sakit baik publik atau swasta menjadi mandiri dan menjadikan rumah sakit sebagai industri perumahsakitan.

“Hal yang sama pula terjadi dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), dimana dalam konsideransnya tidak sama sekali memuat UU Kesehatan, sehingga telas jelas menampakan internal pemerintah sendiri belum memiliki kesatuan paradigma pelayanan kesehatan, baik sebagai hak konstitusonal masyarakat,” jelasnya.

Paradigma pelayanan kesehatan di Indonesia, menurut Hasrul, seharusnya menjadikan UU Kesehatan sebagai payung hukum (Umbrella Act). UU BPJS, UU Rumah Sakit, UU Praktik Kedokteran, UU Kebidanan dan UU Keperawatan, termasuk UU Kekarantinaan dalam pembentukan norma hukumnya harus terintegrasi dengan UU Kesehatan.





“Harus diketahui bahwa pelayanan kesehatan bagian dari Hak Ekosob HAM, sehingga secara politik hukum tidak bisa melepaskan intervensi kebijakan hukum pemerintah, atau sebaliknya pemerintah juga tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya kepada swasta/masyarakat. Dikarenakan ini sesuai bunyi Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 bahwa ‘Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak’,” sebutnya.

Maka secara politik hukum, dengan adanya Rancangan Undang-Undangan Kesehatan (RUU Kesehatan) harus dijadikan momentum melakukan integrasi hukum agar tidak terjadi tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah/pemerintah daerah dengan swasta, dan pemerintah pusat dengan organisasi profesi tenaga medis dan/atau organisasi profesi tenaga kesehatan.

Salah satu urgensi kehadiran RUU Kesehatan, sambung Hasrul, ialah memperkuat pelayanan kesehatan primer. Maka dari itu kebijakan yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah mulai menghitung kembali biaya pendidikan kedokteran yang begitu mahal untuk menjadi terjangkau bagi segala lapisan masyarakat.





“Jika perlu pemerintah pusat memberikan subsidi terkait pembiayaan pendidikan tersebut, dikarenakan bisa menjawab kekurangan dokter di daerah terpencil di Indonesia seperti Maluku, Maluku Utara, NTT dan Papua,” katanya.

Pada sisi lain, lanjut Hasrus, perlu melihat keadaan kebencanaan non alam seperti Covid-19 yang kehadirannya tanpa persiapan parpipurna dari pemerintah. Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah harus mengangkat tenaga kesehatan yang masih berstatus honorer menjadi Aparatur Sipil Negara.

Hal ini berguna untuk menjamin kepastian hidup dan jaminan kehidupan bagi tenaga kesehatan apabila meninggal saat menjalankan tugas bencana non alam dimaksud. Perlu diketahui yang terjadi di daerah-daerah saat ini, baik di rumah sakit dan puskesmas beban kerja tenaga kesehatan berstatus ASN dibebankan kepada tenaga kesehatan yang berstatus honorer.





“Dalam RUU Kesehatan diatur pula terkait rekam medis dan penyelesaian sengketa medis atau perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan tenaga medis. RUU Kesehatan seharusnya tidak hanya mencantumkan rekam medis dalam konteks hak dan kewajiban pasien atau hak dan kewajiban tenaga medis, tenaga kesehatan atau rumah sakit untuk memberikan kepada pasien. Namun esensi hukum yang harus diatur terkait kedudukan rekam medis sebagai alat bukti yang dapat digunakan penasihat hukum, aparatur penegak hukum dalam proses pembuktian persidangan untuk kepentingan peradilan,” terangnya.

Mengatur rekam medis sebagai alat bukti dipandang penting. Sebab, kerangka dasar pembuktian atau alat-alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia menggunakan teori negatife wettelijk bewisjtheorie yang menyatakan bahwa pembuktian harus didasarkan pada ketentuan undang-undang dan dasar keyakinan hakim yang dimaksud ketentuan berdasarkan undang-undang adalah terpenuhi sekurang-kurangnya adanya dua alat bukti yang sah atau alat bukti yang ditentukan undang-undang yang mendukung dakwaan.

“Menjadi persoalan hari ini dalam pelayanan kesehatan, kedudukan rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti seringkali dikesampingkan oleh penegak hukum lainnya misalnya polisi, jaksa dan hakim. Hal ini disebabkan rekam medis dalam fungsi sebagai alat bukti hanya diatur melalui peraturan teknis yang dibuat oleh Menteri Kesehatan yakni PERMENKES Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 kemudian diganti dengan Permenkes Nomor 24 Tahun 2022 Tentang Rekam Medis. Maka dari itu sangat penting ke depan politik hukum kesehatan rekam medis sebagai alat bukti harus didorong untuk diatur dalam RUU Kesehatan lex specialis baik dalam konteks objek hukum, subjek hukum (tenaga kesehatan dan tenaga medis) dan materi hukum (kesehatan),” tambah Hasrul.





Ia menuturkan, dalam pandangan pakar, alat bukti adalah elemen dasar dan penting dalam memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana. Dikarenakan dalam rekam medis terdapat elemen sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.

Maka secara mutatis mutandis ini merupakan bagian dari hukum pidana formil yang tujuannya menegakkan hukum pidana materil. Telah diketahui bahwa alat-alat bukti menjadi dasar pembuktian untuk memberikan sanksi pidana terhadap dokter, baik yang terdapat dalam KUHPidana, RUU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Tenaga Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran.

Artinya ketika alat-alat bukti menjadi dasar pemenuhan unsur dalam pemidanaan, maka layak secara politik hukum kesehatan rekam medis sebagai alat bukti diatur dalam RUU Kesehatan, dikarenakan sesuai dengan politik hukum pemidanaan dan sistem peradilan pidana (criminal justice system).





Melihat RUU Kesehatan, lanjut Hasrul, telah mengatur banyak hal, termasuk ruang lingkup profesi tenaga medis dan profesi tenaga kesehatan beserta ketentuan yang bersifat hukum materil. Namun, RUU Kesehatan penting untuk mengatur pembentukan peradilan profesi medis/kesehatan dibawah Mahkamah Agung.

“Telah diketahui bahwa Profesi medis merupakan profesi padat modal, padat teknologi dan padat SDM, yang mana terdapat juga beragam kompetensi keilmuan yang tersistematis mulai dari kompetensi umum, spesialis dan subspesialis. Sehingga mutatis mutandis, profesi medis atau profesi tenaga kesehatan bersifat hukum khusus (lex specialis). Peradilan profesi medis juga bagian dari kontrol (checks and balances), agar tenaga profesi kesehatan dan tenaga profesi medis lebih profesional”.

“Betapa pentingnya eksistensi pengadilan profesi medis sebagai jaminan terpenuhinya akses terhadap keadilan (access to justice), ketika suatu proses hukum yang melindungan hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia dan mencegah kesewenang-wenangan dalam dunia pelayanan kesehatan yang bisa terjadi kapan saja. Maka sangat urgen untuk RUU Kesehatan ini mengatur juga terkait pembentukan Peradilan Profesi Medis dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia,” katanya. (red)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan