Brindonews.com
Beranda News Pak Jokowi Rapid Test Kok Berbayar ?

Pak Jokowi Rapid Test Kok Berbayar ?

(Advokat - Pakar Hukum Kesehatan dan Direktur LBH NU Kota Yogyakarta)
Dr. (can) Hasrul Buamona S.H., M.H. | (Advokat – Pakar Hukum Kesehatan dan Direktur LBH NU Kota Yogyakarta)

Rapid testberbayar merupakan fenomena kecil, dari wajah politik hukum
kesehatan di Indonesia yang patut dikatakan sangat buram. Namun, sebelum
membahas judul di atas, penulis ingin sampaikan kepada pembaca bahwa Indonesia
adalah negara yang menganut prinsip “kesejahteraan umum” yang memiliki landasan
filosofis kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, seperti itu kira-kira yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945.

Indonesia
saat ini, sedang mengalami serangan Covid-19,
sehingga dapat dikategorikan Indonesia sedang berada dalam situasi darurat bencana
non fisik. Memang benar, apa yang sampaikan dalam video yang bertemakan “dilarang sakit” dalam chanel youtube watchdoc documentary, bahwa wajah
pelayanan kesehatan di Indonesia telah masuk dalam jurang pasar kapitalisme.





Hal
tersebut, dibuktikan dalam penelitian disertasi penulis, di mana UU Rumah Sakit
tidak mencantumkan UU Kesehatan dan UU SJSN dalam konsideransnya. Artinya
secara hukum, UU Rumah Sakit tidak terintegrasi dengan UU Kesehatan dan UU SJSN
yang berdampak pada rumah sakit menjadi institusi mandiri.

Ditambah
lagi memberi legitimasi yang dominan terhadap rumah sakit berbentuk PT, yang
memiliki kebebasan menentukan bentuk  dan
biaya pelayanan medis, tanpa memikirkan kondisi negara yang saat ini mengalami
bencana non fisik yakni Covid-19, dan lebih mengutamakan mencari keuntungan
ekonomi .

Rapid test berbayar, baik itu dilakukan oleh rumah
sakit pemerintah dan rumah sakit swasta adalah problem serius. Mengapa ini
problem serius ? Begini. Dalam konteks landasan politik hukum kesehatan, jelas
kesehatan adalah “hak” masyarakat dan negara memiliki “tanggung jawab” untuk
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak (lihat Pasal 28H ayat (1)
dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945). Apalagi dalam kondisi darurat Covid-19, sangat
tidak konstitusional dan tidak manusiawi, jika pelayanan kesehatan dibiarkan
masuk dalam mekanisme pasar bebas.





Secara Das Sollen (seharusnya), rapid test yang merupakan seruan pemerintah
dalam kondisi Covid-19. Artinya seruan ini adalah seruan dalam keadaan darurat
kebencanaan yang seharusnya pemerintah membantu masyarakat agar mengetahui
kesehatannya, termasuk juga membantu semua elemen masyarakat yang hendak
melakukan perjalanan jauh menggunakan trasnportasi publik. Namun, Das Sein (kenyataannya), rapid test dibuat berbayar oleh rumah
sakit, baik rumah sakit publik maupun rumah sakit privat (yayasan, perkumpulan
dan PT).

Menurut
penulis, rapid test berbayar adalah
salah satu jawaban bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia telah jatuh dalam
pasar bebas, yang mana telah pasti berjiwa kapitalisme. Selain itu, menunjukan pemerintah
telah gagal menunjukan sikap nurani dalam keadaan darurat kebencanaan Covid-19 yang
berdampak tidak hanya dalam konteks kesehatan. Namun lebih dari itu berdampak
pada ketahanan ekonomi dan sosial, yang saat ini berada pada situasi terpuruk.

Betapa
astaganya lagi, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Utara
menyatakan kalau rapid test sejauh
ini “belum ada dasar hukum” (lihat Kompas.com tertanggal 25 Juni 2020). Menurut
penulis, sangat tidak bernurani ketika pemerintah membiarkan praktik rapid test berbayar terus terjadi.





Apabila
kembali melihat UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, di mana dalam
Pasal 49 ayat (1)  tercantum norma
“kedaruratan kesehatan masyarat”. Dari norma tersebut, Presiden Joko Widodo
harusnya mengeluarkan kebijakan (beleid) yang
melarang seluruh rumah sakit di Indonesia agar tidak memungut biaya rapid test. Bahkan seharusnya, Presiden
Joko Widodo mengeluarkan beleid yang
menggratiskan rapid test bagi
masyarakat yang membutuhkan.

Penting
diketahui oleh Presiden Joko Widodo, bahwa praktik rapid test berbayar adalah tindakan yang tidak konstitusional. Hal ini
dikarenakan pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab negara, yang mana
menuntut negara harus bersikap aktif dan tidak boleh melepaskan tanggung jawab
kedarurat Covid-19 pada mekanisme pasar bebas yang kapitalis.

Presiden
Joko Widodo harus ketahui bahwa rakyat secara kolektif, sebagaimana dalam UUD
1945, memberi mandat kepada Pemerintah untuk mengatur (regelendad), mengurus (bestuurdaad),
mengeluarkan kebijakan (beleid),mengelola
(beheersdaad) dan mengawas (toezichtoudensdaad). Terakhir, Presiden
Joko Widodo harus ingat, bahwa tujuan hadirnya negara untuk mensejahterakan
seluruh rakyatnya, bukan memberi beban ekonomi, sosial dan kesehatan kepada
rakyatnya disaat kedaruratan Covid-19. (*)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Iklan