Kejari Diduga Lindungi Oknum Kadis yang Terlibat Kasus Pembelian Eks Kediaman Gubernur
Kantor Kejari Ternate. |
TERNATE, BRN – Kasus pembelian eks Rumah Dinas Gubernur Maluku
Utara di Kelurahan Kalumpang terus disuarakan. Pembelian aset milik pemerintah
yang menelan APBD senilai Rp2,8 miliar itu sampai saat ini masih jalan di tempat.
Pembelian lahan ini sebelumnya
disidangkan di Pengadilan Negeri Ternate 2012 lalu. Noke Yapen selaku penggugat sertifikat
kepemilikannya dinyatakan tidak sah atau ditolak alias kalah melawan Pemerintah
Provinsi Maluku Utara sebagai tergugat.
Penggugat kemudian menempuh langkah hukum satu tingkat
diatasnya di Pengadilan Tinggi Maluku Utara. Upaya banding Noke kembali ditolak. Pengadilan Tinggi Maluku Utara memutuskan dan menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 10/Pdt.G/2011/PN/Tte tertanggal 26
April 2012.
Tak puas dengan dua
putusan tersebut, Noke lalu mengajukan permohonan
kasasi ke Mahkamah Agung. Alih-alih menang, Noke justrus menelan pil pahit. Mahkamah
Agung menolak permohonan kasasi Noken Yapen.
Praktisi Hukum Agus
Salim R. Tampilang mengatakan, kasus beli bekas Rumah Dinas Gubernur Maluku
Utara, di Jalan Pattimura, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah itu sebenarnya sudah
ditangani Kejaksaan Negeri Ternate. Hanya saja tidak ada progres alias jalan di
tempat.
Ketidakjelasan penanganan
kasus ini, lanjut Agus, patut diduga ada permainan. Penyidik Kejaksaan Negeri
(Kejari) Ternate diduga melindungi oknum pejabat yang terindikasi terlibat
dalam kasus ini.
“Sebagai lembaga
hukum, pihak Kejari Ternate harus lebih terbuka kepada publik. Alasan apa saja sehingga perkara ini tak ada progress,
sehingga publik bisa tahu,” kata Agus, saat ditemui di halaman Kantor KejarI
Ternate, Selasa siang, 16 Agustus.
Kasus beli eks rumah dinas
gubernur merupakan perbuatan melawan hukum, termasuk tindak pidana korupsi. Sebab,
Pemerintah Kota Ternate membeli tanah kepada Noke Yapen sebagai pihak yang
kalah di pengadilan. Kekalahan Noke tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
191/K/pdt/2013.
“Anehnya Pemkot
Ternate melalui dinas perkim bayar lahan itu. Alasan Noken menjual tanah karena
Noken merasa miliki sertifikat eks kediaman gubernur itu dengan nomor 227 tahun
1972. Padahal Mahkamah Agung telah menolak gugatannya. Amar putusan Mahmakah
Agung jelas disebutkan bahwa tanah dan bangunan eks kediaman gubernur adalah
milik Pemerintah provinsi Maluku Utara, bukan milik pribadi Noken Yapen. Bagaimana
mungkin ada transaksi jual beli,” sambung Agus.
Acuan lainnya,
menurut Agus, yaitu Laporan Hasil Pemeriksaan LHP BPK RI Perwakilan Maluku Utara
tahun 2016. BPK menyebutkan tanah dan bangunan Kediaman Gubernur Maluku Utara
adalah lahan pemerintah daerah Provinsi Maluku Utara.
“Namun anehnya
secara melawan hukum Noke menjualnya ke Pemkot Ternate dan dibayar oleh seorang
kepala dinas inisial RM. Parahnya lagi, pembelian itu menggunakan
APBD yang nilainya mencapai Rp2,8 miliar. Tetapi sampai sekarang kasus ini jalan
di tempat karena para aktor korupsi rumah dinas diduga dilindungi oleh pihak
Kejari Ternate,” terangnya. (ham/red)