Brindonews.com
Beranda Pertambangan DPLH Halmahera Timur Tanggapi Penolakan Priven Lestari

DPLH Halmahera Timur Tanggapi Penolakan Priven Lestari

Kepala DPLH Halmahera Timur, Harjon Gafur.

HALTIM, BRN – Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup (DPLH) Kabupaten Halmahera Timur menanggapi perjuangan Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato yang menolak PT. Priven Lestari.

Kepala DPLH, Harjon Gafur mengatakan, pemerintah daerah tetap menerima sikap Aliansi Peduli Wato-wato yang menolak PT. Priven Lestari.





Sebagai langkah awal, pemerintah daerah akan berunding bersama Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-wato untuk membicarakan tuntutan menolak Priven Lestari.

“Kami rencana rapat dengan aliansi untuk bicarakan masalah ini (Penolakan PT Priven Lestari). Kami pemerintah daerah tetap mengakomodir tuntutan teman-teman yang menolak. Tuntutan warga akan kami sampaikan ke ESDM Provinsi,” katanya, Sabtu, 16 September.

Harjon menyatakan, kewenangan urusan pertambangan yang sudah dialihkan ke pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, membuat Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur hilang wewenang untuk menghentikan aktivitas pertamvangan.





Pemerintah Halmahera Timur, lanjut Harjon, hanya diberikan wewenang mengawasi aktivitas semua perusahaan tambang, termasuk PT Priven Lestari agar konsisten dengan analisis dampak lingkungan sehingga lingkungan tidak tercerai berai ekologis dan tidak merusak kawasan hutan lindung.

“Mereka tidak boleh menggunakan hutan lindung terkecuali mereka bisa mengajukan permohonan. Kasus di PT Priven Lestari ini saya sudah bilang ulang-ulang kali, aktivitas ini dihentikan atau tidak, kalau soal kawasan hutan lindung saya pastikan mereka tidak akan disetujui oleh pemerintah pusat dalam hal Kementerian Lingkungan dan Kehutanan. Dong pe IUP sebagian besar hutan lindung dan saya pastikan dorang tara bisa masuk ke situ,” ucapnya.

Pemilik IUP dengan luas konsesi 4.953,00 hektare (Ha) yang mencaplok sembilan anak sungai di areal pegunungan Wato-wato ini dikhawatirkan mencemari sembilan anak sungai dan menjadi peristiwa gunung es seperti di Site Monoropo. Juga dianggap sangat mengancam dan berbahaya karena area operasi perusahaan hanya berjarak satu kilo meter dari permukiman warga Buli.





“Kalau secara administrasi uraian tentang komitmen lingkungan bagus, tapi faktanya, Antam saja dengan masalah Site Moronopo tidak selesai. Priven ini baru memulai. Antam dengan Moronopo sampai hari ini tidak tuntas. Maka di sini ada dua peran penting bagi saya, pertama, menegaskan aktivitas mereka (PT Priven) konsisten dengan dokumen Amdal. Kedua, kehadiran inspektur tambang yang membolehkan atau tidak mereka membangun cekdam karena takutnya terjadi letupan dan mencemari. Fungsi kami memantau letupan lahan berapa besar yang mereka kupas. Pengelolaan tata kelola air cekdam dan melakukan pengawasan aktivitas mereka,” jelasnya.

“Yang pasti masalah ini (PT Priven Lestari) jadi perhatian dan akan dikoordinasikan ke pemerintah provinsi dan pusat. Pemerintah daerah akan mencatat apa yang disuarakan oleh teman-teman aliansi dan kami akan koordinasikan nanti selanjutnya yang berwenang untuk memastikan bahwa suara masyarakat kita terhadap PT Priven ini pentingnya ditelaah dan disimpulkan. Karena torang tara bisa berkeputusan kase setop. Kewenangannya ada di pemerintah pusat, tapi bukan berarti pemerintah daerah tinggal diam dengan masalah ini,” ucapnya. **





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Iklan