Brindonews.com
Beranda Hukrim Aksi Protes Kekerasan Polisi, Wartawan: Kata “maaf” Bukan Penyelesaian Masalah

Aksi Protes Kekerasan Polisi, Wartawan: Kata “maaf” Bukan Penyelesaian Masalah

Alfajri saat berorasi di depan Polres Ternate. Nampak dua orang wartawan lainnya menunjukkan poster atau pemlet berisi tulisan sindiran.

TERNATE, BRN Puluhan wartawan menggelar aksi di depan Kantor
Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara dan Kepolisian Resot atau Polres
Ternate, Senin (30/12) pagi. Aksi ini akibat dari pemukulan oleh oknum brimob terhadap
Yasim Mujair, jurnalis media online KabarMalut.co.id pada Jumat kemarin.

Dalam
aksi ini, para jurnalis
dari
berbagai media massa itu mengecam aksi kekerasan yang dilakukan MRI alias Reza, 
 oknum Brimob Palapa II di satuan Brimod Polda Malut. Para jurnalis juga membawa poster-poster bernada sindiran
terhadap oknum kepolisian. Mereka juga menyinggung pewarta bukan sumber malapetaka,
melainkan hanya pencari informasi atau berita.





Munawir Yakub, pimpinan redaksi media
daring brindonews.com, dalam orasi menyatakan, aksi solidaritas bertujuan untuk
mengingatkan bahwa pers memiliki kebebasan yang dijamin dalam undang-undang.
Sehingga tidak semestinya aparat bertindak semena-mena terhadap jurnalis.





“Beragam kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat
kepolisian belum juga mampu mengubah keadaan. Sudut pandang yang salah dari
para oknum membuat wartawan kerap kali menjadi korban pemukulan,” ujar Khoces, sapaan
akrab Munwair di depan Polres Ternate.

Alfajri mengatakan, jika jurnalis dalam
menjalankan tugasnya dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga
jurnalis yang bertugas wajib dilindungi, bukan malah mendapatkan kekerasan
maupun intimidasi.

Menurutnya, tugas jurnalis dan polisi
hampir sama mirip. Polisi bertugas mengayomi dan melindungi masyarakat,
sedangkan jurnalis adalah menyajikan infromasi atau berita yang tak lain itu
kinerja-kinerja polisi. Alfajri menyatakan, bahkan para wartawan punya andil
besar terhadap polisi.





“Wartawan sesuai dengan UU Pers, wajib
dilindungi. Bukan diinjak-injak. Kami bertugas menyampaikan apa yang terjadi di
lapangan, apalagi ini akhir tahun kami pasti diundang menyangkut release akhir
tahun,” ungkapnya. “Kita boikot pemberitaan atau stop mempublikasi hasil kinerja-kinerja
polisi,” terika Alfajdi dibalik pengeras suara. “Sepakat, torang (kita) kasih
stop saja,” saut para jurnalis lainnya.

“Sebelum kasus ini selesai, kami berkomitmen tetap boikot pemberitaan yang bersumber dari Polda Malut, Polres Ternate dan bahkan Polsek jajaran,” sambung Aji, sapaan akrab Alfajri.

Para jurnalis ini
berharap polisi tak lagi melakukan tindakan kekerasan terhadap wartawan yang
sedang melakukan peliputan. Polisi diminta belajar dan memahami UU Pers.





Bukan kasus pertama

Kasus kekerasan
dan intimidasi terhadap pewarta semacam ini bukanlah ikhwal pertama kalinya terjadi
di Maluku Utara. Kasus serupa pernah terjadi pada 2016 lalu. Hijra Ibrahim
menjadi korban pemukulan tempo itu. “Ini terjadi ketika saat Hijra melakukan
peliputan dugaan salah satu kasus pembunuhan beberapa tahun lalu,” kata Dival,
pimpinan redaksi PilarMalut.id.





Dival
menyatakan, kekerasan kepada jurnalis yang meliput merupakan ancaman atas
kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers yang dilindungi undang-undang.
Bahkan,
dalam Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
dimungkinkan adanya sanksi atas tindakan penghalangan atau penghambat aktivitas
tersebut.

Ia
mengatakan, jurnalis adalah komponen penting demokrasi dan perlindungan hak
asasi manusia (HAM), sehingga keberadaannya harus dihormati oleh semua pihak. Dival
menduga, pangkal kekerasan terhadap jurnalis akibat ketidaksukaan atas
pemberitaan media dengan alasan yang beragam, namun menghalangi-halangi
aktivitas jurnalisme jelas-jelas mengancam pilar demokrasi.




“Penghalangan terhadap jurnalis juga menghalangi publik untuk
menerima informasi yang utuh terhadap situasi atau suatu peristiwa. Ingat wartawan
adlah representatif dari masyarakat, olehnya itu tidak ada nama sekat-sekat,
apalgi menghalangi,” ujarnya. 

Tidak diselesaikan dengan kata “maaf”





Halik J. Konora menyatakan,
perkara ini tidak berakhir dengan kata “maaf”. Mantan Ketua PWI Maluku Utara
ini bahkan menyebut persoalan sudah ditindaklanjuti ke PWI Pusat. “Teman-teman
di PWI Pusat so (sudah) tahu,” kata pimpinan redaksi (Pimred) Malutsatu.com
ini.

Narjo Usman mengatakan,
permohonan “maaf” boleh saja diterima, namun tidak menutup kemungkinan termasuk
membuka ruang komunikasi penyelasaian masalah. “Secara manusia kita maafkan,
tapi perbuatan atau tindakan yang bersangkuta tetap di proses,” tegas Pimred
KabarMalut.co.id itu.

Pernyataan serupa diutarakan korban pemukulan,
Yasim Mujair. Dia mengatakan, kasus tetap di proses hingga selesai. (tim/red)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan