Di Jepang, Maya Menemukan Cahaya Baru
Oleh: Askim Kanshu
“Kamu harus menemukan apa yang memicu cahaya dalam dirimu sehingga dengan caramu sendiri dapat menerangi dunia.”– Oprah Winfrey
Kemarin pagi, ketika mentari membentangkan cahaya keemasan di Bandara Sultan Baabullah, Ternate, seorang remaja perempuan turun dari pesawat dengan langkah yang tak sanggup menyembunyikan rindu.
Remaja itu, Maya Dira Suriandi—siswi kelas XI SMAN 3 Ternate, sekaligus salah satu dari 12 delegasi Indonesia untuk Japan International Education Summit (JIES)—akhirnya memeluk orangtuanya: Suriandi Sabtu dan Gamar Anwar. Pelukan yang pecah menjadi isak bahagia, seolah perjalanan enam harinya di negeri jauh baru saja menemukan pintu pulang.
Tokyo, Malam Pertama
Maya tiba di Jepang pada 16 November 2025, membawa sebuah koper kecil dan segenggam harapan yang jauh lebih besar dari ukurannya. Malam pertamanya dilewati di Hotel Monii, di mana udara November yang dingin dan jernih seperti menyambutnya menjadi bagian dari ritme Kota Tokyo.
Keesokan harinya, para delegasi berpindah ke Hotel Live Max—markas besar mereka selama beberapa hari ke depan. Tur pertama menyusuri jantung Tokyo: trotoar yang bergerak setenang arloji, lalu lalang manusia yang tertib seperti paduan langkah dalam tarian yang tak pernah kacau. Mereka bahkan mengunjungi sebuah landmark yang secara bercanda dijuluki “Monas” oleh penduduk lokal.
Di sanalah Maya untuk pertama kalinya berjalan bebas di kota itu, menyerap denyut kehidupan yang lembut tapi pasti. Yang paling membekas baginya adalah keramahan yang sunyi—bukan karena tak ada kata, tetapi karena setiap orang begitu menghargai ruang orang lain.
Masjid yang Menyimpan Jejak Kenangan
Tanggal 18 November membawa mereka ke Tokyo Camii, Masjid terbesar sekaligus salah satu bangunan paling bersejarah di Jepang. Seusai salat, mereka mengelilingi ruang dalamnya: marmer yang memantulkan cahaya hangat, kaligrafi yang seperti berbisik dari dinding ke dinding tentang perjalanan panjang sebuah komunitas.
Namun kejutan sejati terletak dua lantai di bawah tanah—ruang pamer yang menyimpan artefak dan peninggalan masa lalu. Sambil menuruni tangga, Maya mendengar kisah asal-usul masjid itu, tentang masa-masa genting dan bagaimana bangunan tersebut menjadi jangkar bagi Muslim di Jepang.
Pelajaran dari Sebuah Kampus Tua
Pada 19 November, mereka mengunjungi sebuah universitas yang dikenal sebagai University of Tokyo.” Kampus luas itu memadukan bangunan modern dengan satu gedung tua—warisan masa kolonial Belanda. Dahulu gedung itu menampung perempuan Jepang pada era pendudukan Belanda. Setelah Jepang merdeka, kembali dirawat dan diangkat sebagai bagian dari institusi pendidikan.
Yang membuat Maya terpukau: seluruh jenjang pendidikan—dari TK hingga universitas—berbagi satu kawasan. Di dekat kantin tempat mereka makan siang terhampar sebuah danau sunyi yang menyimpan kisahnya sendiri, seakan menjadi penjaga waktu di tengah hiruk-pikuk akademis. Hari itu ditutup dengan presentasi konferensi tentang isu global di University of Tokyo, Kampus Yayoi.
Bahasa, Jembatan Menuju Dunia
Keesokan harinya, 20 November, membawa mereka ke pusat kursus bahasa Jepang di KBRI Tokyo—tempat para pelajar internasional mempersiapkan diri menembus perguruan tinggi Jepang, khususnya di University of Tokyo. Maya belajar satu hal penting: tak semua orang Jepang berbahasa Inggris, tapi banyak yang memahami bahasa Mandarin.
Maya turut menghabiskan waktu di perpustakaan, membolak-balik buku, sebelum para delegasi diperkenalkan secara resmi. Sebuah pelajaran sederhana tetapi mendalam tertanam dalam dirinya: bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan pintu menuju pemahaman budaya.
Keheningan di Kaki Gunung Fuji
Tanggal 21 November, Maya berdiri untuk pertama kalinya di hadapan Gunung Fuji. Siluet raksasa itu, muncul dari kabut tipis, seolah bernapas pelan. Mereka mendengarkan kisah tentang proses terbentuknya, legenda yang menautkan gunung itu dengan kepercayaan kuno, dan maknanya bagi identitas Jepang.
Maya merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan: keheningan yang tidak kosong, melainkan penuh—sebuah keheningan yang mengajarkan ketenangan.
Rumah Kecil di Negeri Orang
Program resmi yang mereka tapaki itu seharusnya berakhir pada hari kelima. Namun, 22 November memberi hadiah satu hari tambahan, digunakan untuk mengunjungi Sekolah Republik Indonesia Tokyo—sebuah oasis kecil Indonesia di tengah disiplin Jepang. Sekitar 95 persen murid dan sebagian besar guru adalah orang Indonesia.
Mereka tiba saat kegiatan ekstrakurikuler berlangsung, sehingga hanya sempat berkeliling. Namun dalam keterbatasan itu, Maya merasakan kehangatan seperti kembali ke tanah air—di sebuah ruang yang tetap rapih dan teratur dengan cara yang khas Jepang.
Dua Dunia, Dua Ritme
Bagi Maya, perbedaan antara Jepang dan Indonesia bukan hanya terlihat—ia terasa, bahkan terdengar. Di Jepang, disiplin adalah napas sehari-hari. Kebersihan dijunjung tinggi. Suara dijaga agar tak mengganggu orang lain; bicara keras saat berjalan pun bisa dikenakan denda.
Bersepeda adalah raja jalanan. Sepeda motor jarang terlihat, mobil dipakai hanya saat diperlukan. Kebanyakan orang memilih berjalan kaki dengan langkah cepat dan hemat waktu, sementara transportasi umum kereta dan bus menjadi urat nadi kehidupan kota. Tak ada pula pengendara yang berani menerobos lampu merah.
Semua itu menanamkan suatu cahaya di dalam diri Maya—sebuah mimpi baru yang tumbuh dalam diam. “Setelah lulus SMA,” ujarnya pelan,“aku ingin melanjutkan studi di Jepang.”
Karena di negeri itu, ia belajar satu hal: memahami bahasa adalah memahami budaya, dan memahami budaya adalah cara paling setia untuk membaca peta kehidupan—agar kita tidak mudah tersesat, baik di jalan raya maupun dalam perjalanan menuju diri sendiri.
Maya lahir pada 10 Desember 2010 di Desa Ngokomalako, Kayoa Utara, Halmahera Selatan. Sulung dari tiga bersaudara pasangan Suriandi Sabtu dan Gamar Anwar ini, meski tumbuh dalam kesederhanaan hidup keluarga petani, ia memiliki mimpi yang tak pernah layu.
Sedari kecil, kecerdasannya sudah menjadi buah bibir masyarakat desa. Dari pelataran SDN 87 Ngokomalako hingga ruang-ruang kelas SMP Albinari Laromabati, juara 1 dam 2 menjadi teman akrabnya.
Prestasinya melejit sejak di SMA Negeri 3 Ternate. Deretan medali emas berhasil ia genggam: Olimpiade Juara Nasional Biologi 2025, Kompetisi Nasional Indonesia Bidang Biologi 2025 plus Piala Juara Utama, Indonesian Intelligence Student Competition 2025, hingga akhirnya ia terpilih menjadi Delegasi Indonesia di Japan International Education Summit (JIES) 2025.
“Maya juga ikut lomba penulisan puisi dan sastra dan mendapat medali. Di Jepang, ia juga mendapat medali. Jadi, Alhamdulillah medalinya lima,” tutur ayahnya. **







