Brindonews.com
Beranda Opini Mengingat Pak Atma, Guru yang Menyalakan Lentera di Ruang Berita

Mengingat Pak Atma, Guru yang Menyalakan Lentera di Ruang Berita

Foto ini merupakan koleksi vaforit penulis, Askim Kanshu.

Oleh: Askim Kanshu

(Sebelumnya menulis dan menyunting buku dengan nama pena M. Kubais M. Zeen)

Suatu pagi, ponselku berdering pelan, seolah mengetuk jendela waktu. Sebuah pesan dari Polo—Moehammad Imron Kadir, rekan sesama alumni Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta:

“Assalamu’alaikum… Bang, saya dapat kabar, instruktur kita, Pak Atmakusumah Astraatmadja berpulang hari ini.”

Dadaku mengerut. Aku bangkit dari tempat tidur, menutup novel debut Emi Yagi, Diary of a Void, yang sedang kubaca. Aku segera menelpon Polo, yang kini bekerja di Kehumasan Universitas Khairun, Ternate, untuk memastikan kabar duka itu. Beberapa jam sebelumnya, pesan serupa datang dari Bur—Burhan Ismail, seangkatan di LPDS, yang kemudian mendirikan media Posko Malut dan Pojok Lima.

Kami check and recheck jejak kepergian Pak Atma di situs Dewan Pers hingga portal-portal media nasional. Semuanya menulis tentang duka berpulangnya tokoh pers Indonesia pada 2 Januari 2025 itu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. Sayangnya, di tanah yang kupijaki saat ini, berita itu nyaris senyap—seperti ruang redaksi yang sunyi dari suara ketikan.

Usai itu, aku duduk di kursi depan meja kayu hadiah dari ibu dan ayah, menatap buku Panduan Jurnalistik Praktis: Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers. Disunting Maskun Iskandar dan Atmakusumah Astraatmadja, diterbitkan LPDS bekerja sama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung. Ingatanku terpelanting pada masa belajar dengannya.

Empat tahun setelah damai mekar di Maluku Utara, kami yang baru belajar menulis berita di tabloid Cermin Reformasi (CR), sedang berusaha memahami apa arti menjadi wartawan di tengah masyarakat yang mulai bangkit dari luka konflik horizontal. Di CR, hanya satu wartawan senior yang juga Sekretaris PWI, Idrus Ahmad—kini  dosen di STKIP Kie Raha.

Taraweh Djamaluddin, Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi kami, punya tekad gila: mengadakan pelatihan jurnalistik dengan LPDS. Tedja—sapaan akrab beliau, ingin mengakhiri masa-masa di mana setiap naskah berita kami membuatnya pening dan sakit gigi.

“Agar kalian menulis dengan benar dan beretika,” katanya suatu malam, sambil menatap tajam dan mengangkat naskah berita kami yang penuh coretan spidol merah-hitam.

Di sisi lain, pers Indonesia tengah tumbuh bagai jamur di musim hujan, berkat lahirnya Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, yang membuka kran kebebasan baru bagi media. Di Maluku Utara sendiri, sekitar 34 media cetak terbit harian, mingguan, dan bulanan, menyulut persaingan ketat.

Para pengajar LPDS yang datang adalah nama-nama besar di panggung pers nasional:  Pak Atma, TD Asmadi, Maskun Iskandar, dan Warief Djajanto Basorie. Sebagai wartawan “kemarin sore,” kami baru tahu Pak Atma telah menapaki kerasnya tiga zaman: Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Ia menjadi saksi dan pelaku yang menjaga marwah profesi ini di setiap masa.

Kami tertegun melihat dedikasi mereka. Materi yang biasanya disajikan dalam dua atau tiga bulan, dipadatkan menjadi dua pekan. Disiplin sangat tinggi. Tak ada toleransi datang terlambat dan mengabaikan tugas. Aku, Polo, dan Bur yang terbiasa bangun pukul sepuluh pagi, terpaksa belajar bangun subuh, dan tak menunda tugas.

Kendati usia Pak Atma ketika itu sudah melampaui enam puluh, semangatnya tak pernah padam, penuh energi, santun pula. Selalu berpenampilan rapi. Kerap mengenakan kemeja biru bergaris putih lengan panjang digulung setengah, celana navy, dan sepatu adidas biru bergaris tiga putih. Sederhana, tapi terpancar karisma seorang guru yang mengajarkan ketelitian dengan sentuhan kelembutan.

Banyak hal yang ia ajarkan, di antaranya “check and recheck” — periksa dan pastikan ulang kebenaran informasi, serta asas demokratis dalam setiap berita. Semua pihak yang terlibat dalam suatu isu, punya hak untuk bicara pada waktu yang sama, sebab keseimbangan adalah napas keadilan. Maka tak ada alasan untuk memberitakan secara berat sebelah. Pembaca-lah yang akan menilai.

Pak Atma juga mengingatkan kami tetap menjaga kejernihan informasi. Berita, tak boleh dikotori dengan opini atau pendapat pribadi. Wartawan harus menulis sesuai fakta, jernih, tanpa bias, dan bukan tafsir. Judul pun tak boleh menuduh, bombastis. Asas praduga tak bersalah dikedepankan, bahkan kepada mereka yang tampak bersalah, sebab media bukan institusi peradilan.

Satu hal yang selalu dengan tegas diulangnya dalam setiap sesi adalah amplop—frasa halus bagi suap yang kerap menyelinap di ketiak “kuli tinta.” Wartawan tidak boleh menerima uang atau hadiah dari narasumber. “Amplop itu seperti debu di lensa kamera,” katanya, “sekali menempel, kebenaran jadi buram. Wartawan yang menerima amplop kehilangan kebebasannya.”

Namun, Pak Atma juga paham akar persoalannya: rendahnya tingkat kesejahteraan wartawan. “Kalau tidak siap menyejahterakan wartawan,” katanya suatu siang, “lebih baik jangan dirikan media.” Baginya, integritas bukan hanya urusan pribadi, tapi juga sistem yang adil.

Ia mengajarkan bahwa berita yang baik adalah karya ilmiah yang disajikan dengan bahasa yang bisa dipahami siapa pun:  sederhana, jernih, bebas dari kepentingan, serta memenuhi semua unsur.

Dalam pelatihan itu, Sukardi—kini bekerja di Sekretariat DPRD Maluku Utara, menjadi peserta terbaik pertama, aku di urutan kedua. Bur sendiri terbaik untuk disiplin dalam penulisan. Hadiahnya sederhana, sebuah buku catatan dan kaos putih bertuliskan LPDS. Tapi nilai sesungguhnya jauh lebih besar: pelajaran tentang kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab seorang wartawan terhadap nuraninya sendiri.

Sebelum kami, ada Burhanuddin Arsyad (alm)—kontributor MetroTV yang akrab disapa Bur Metro. Mantan wartawan Mimbar Kie Raha ini adalah wartawan Maluku Utara pertama yang berguru langsung dengan para pengajar LPDS, tanpa kecuali Pak Atma.

Ia adalah guru yang menyalakan lentera kebenaran di hati banyak wartawan muda. Dalam buku 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja, Lukas Luwarso menulis bahwa Pak Atma mulai menapaki dunia jurnalistik sejak usia 19 tahun di koran legendaris Indonesia Raya, di bawah bimbingan Mochtar Lubis. Mochtar adalah wartawan besar, dan novelis ternama di panggung sastra Indonesia.

Sejak itu, Pak Atma mengabadikan hidupnya pada kebebasan pers, dan atas jasanya ia menerima penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award di Manila, 31 Agustus 2000. “Ceburkanlah dirimu pada apa yang kamu pilih sebagai jalan hidupmu,” petuah Vincent van Gogh, salah satu pelukis tersohor dunia, terngiang di telingaku.

Kini, setiap kali aku membaca berita yang tergesa, kering keseimbangan, menuduh dan bombastis, aku teringat wajah Pak Atma di ruang kelas kecil kami di Ternate, dulu. Ia berdiri di depan papan tulis, menatap kami dengan sabar, seolah berkata: “Jaga kejernihanmu. Dunia boleh bising, tapi wartawan harus tetap bening.”

Pak Atma bukan hanya seorang wartawan, tetapi juga penulis dan editor buku. Ia kerap berbagi gagasan bernas tentang pers, etika, dan kebebasan berpendapat di berbagai media nasional. Ia menulis seperti berbicara: jernih, tenang, tak pernah berteriak. Kritiknya tajam, tapi selalu disampaikan dengan welas asih laiknya seorang guru. Bukunya ku koleksi, tulisan-tulisannya memenuhi klipingku.

Kepergiannya memang meninggalkan ruang sunyi. Tapi dari sunyi itu, aku, Polo, dan Bur tahu ada suara yang tetap hidup tentang kebenaran, tanggung jawab, dan tentu saja tentang cinta pada profesi yang menjadi salah satu penopang demokrasi suatu negara.

Semoga setiap tetes peluhmu di dunia pers tak hanya menjelma cahaya yang menuntun generasi kami di tengah riuhnya dunia kata dan kepentingan. Melainkan pula amal jariyah yang membentangkan jalanmu ke salah satu pintu jannah-Nya. ***

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan