Brindonews.com
Beranda Nasional Menyatukan Inovasi Dan Kearifan Lokal : Jalan Baru Pertanian Padi Sawah Di Maluku Utara

Menyatukan Inovasi Dan Kearifan Lokal : Jalan Baru Pertanian Padi Sawah Di Maluku Utara

Ekaria, SP.,M.Agr Mahasiswa Doktoral Ilmu Pertanian Universitas Muhamamdiyah Malang Dosen dan peneliti di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Ternate.

Krisis pangan mengintai dari lahan yang menyusut

Dalam tiga tahun terakhir, produktivitas padi sawah di Provinsi Maluku Utara terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, luas panen padi menyusut dari 10.301 hektare pada 2021 menjadi 6.416 hektare pada 2023. Produksi beras pun merosot hampir 45%, dari 43 ribu ton menjadi hanya 24 ribu ton. Padahal, berbagai inovasi pertanian telah diterapkan. Petani di sejumlah wilayah mulai mencoba Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan metode tanam Hazton yang diklaim mampu meningkatkan hasil hingga dua ton per hektare. Namun, begitu program pendampingan berakhir, sebagian besar petani kembali ke pola lama.

Mengapa inovasi teknologi pertanian sulit bertahan di lapangan?

Ketika inovasi tak berakar di budaya petani

Penelitian yang kami lakukan di empat kabupaten di Maluku Utara menemukan bahwa persoalannya bukan pada penolakan petani terhadap inovasi, tetapi pada kurangnya penghargaan terhadap kearifan lokal yang menjadi dasar praktik bertani mereka. Bagi petani, bertani bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ia merupakan bagian dari identitas sosial, spiritual, dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Masih banyak praktik tradisional yang dipertahankan, seperti sistem irigasi “ara” yang mengatur pembagian air sawah secara adil, atau tradisi gotong royong saat menanam dan panen. Ketika teknologi baru datang tanpa memahami nilai-nilai ini, inovasi terasa asing dan tidak relevan dengan realitas hidup petani.

Bukti empiris: inovasi dan pengetahuan lokal saling menguatkan

Melalui analisis Structural Equation Modeling (SEM), penelitian kami menguji empat variabel utama: inovasi pertanian, pengetahuan lokal, produktivitas, dan keberlanjutan pertanian.

Hasilnya menunjukkan Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan kearifan lokal sama-sama berpengaruh positif terhadap produktivitas dan keberlanjutan pertanian padi sawah. Produktivitas berperan sebagai penghubung (mediator) antara inovasi dan keberlanjutan.
Artinya, ketika teknologi modern disinergikan dengan pengetahuan lokal, hasil panen meningkat, dan keberlanjutan jangka panjang dapat terjaga. Dengan kata lain, teknologi yang tidak berakar pada budaya lokal hanya berumur pendek, sementara inovasi yang tumbuh dari pengalaman dan nilai masyarakat justru mampu memperkuat sistem pertanian.

Menafsirkan ulang keberlanjutan pertanian

Temuan ini menegaskan bahwa keberlanjutan pertanian tidak cukup diukur dari hasil panen semata. Ia harus mencakup tiga dimensi utama:

  1. Ekologi – menjaga kualitas tanah, air, dan ekosistem pertanian.
  2. Ekonomi – memastikan petani memperoleh pendapatan yang stabil.
  3. Sosial-budaya – melestarikan nilai gotong royong dan kemandirian komunitas tani.

Pendekatan yang hanya menekankan aspek ekonomi atau produktivitas akan membuat sistem pertanian rapuh menghadapi perubahan iklim, krisis harga, dan degradasi lingkungan.

Jalan tengah: dialog antara ilmu dan tradisi

Maluku Utara memiliki peluang besar menjadi pertanian berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Untuk mewujudkannya, pemerintah daerah dan lembaga riset perlu membangun pendekatan dialogis dengan petani bukan hanya mentransfer teknologi, tetapi bersama-sama merancang inovasi yang relevan secara sosial dan ekologis. Inovasi semacam ini bisa disebut inovasi kontekstual: teknologi yang lahir dari kebutuhan dan pengalaman petani, bukan dari luar sistem mereka. Contohnya, di Halmahera Timur, petani menggabungkan teknik Hazton dengan kalender tanam tradisional. Hasilnya, produksi meningkat tanpa merusak keseimbangan ekosistem sawah.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa ilmu modern dan kearifan lokal bukan dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Menatap masa depan ketahanan pangan

Krisis pangan global, perubahan iklim, dan tekanan industri ekstraktif semakin mengancam sumber pangan lokal di Indonesia Timur. Menghadapi tantangan ini, Maluku Utara perlu memperkuat basis pertanian yang tangguh, adaptif, dan berakar pada budaya lokal. Menyatukan inovasi dan kearifan lokal bukan sekadar strategi teknis, melainkan tindakan moral untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia, tanah, dan alam. Pertanian yang berkelanjutan adalah pertanian yang hidup — bukan hanya karena pupuk dan mesin, tetapi karena ia tumbuh dari kebijaksanaan dan keimanan masyarakat yang menjaganya.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan