Sebagai Alat Bukti Rekam Medis Harusnya Diatur Dalam Undang-undang

![]() |
Dr, Hasrus Buamona, S.H.,M.H. |
Oleh : Dr.
Hasrul Buamona,S.H.,M.H. | Penulis merupakan Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram
Yogyakarta.
Rekam medis bagian yang tidak terpisahkan dari hak atas
informasi yang merupakan elemen penting dari Hak Asasi Manusia(HAM)sebagaimana diatur dalam Pasal
8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, berbunyi “Setiap
orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan”.
Dalam rekam
medis ada tindakan dokter mulai dari
diagnosis, anamnesis sampai pada tindakan medis yang lain.
Tindakan
medis dokter yang mana sebagai subjek hukum, tak bisa lepas dari kesalahan
disiplin keilmuan kedokteran, tentu juga tidak bisa lepas juga dari jeratan
hukum pidana.
Penulisan ini sebagai kelanjutan kajian yang tidak
terpisahkan dari buku Medical Record dan
Informed Consent Sebagai Alat Bukti dalam Hukum Pembuktian yang diterbitkan
penulis pada tahun 2016. Selain itu, penulisan ini juga merupakan kelanjutan
dari pembahasan perkuliahan yang penulis sampaikan dalam Pendidikan Khusus
Profesi Advokat Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tertanggal 4 November 2021.
Pengertian rekam
medis ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008
Tentang Rekam Medis, mengatur bahwa “Rekam Medis adalah berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien”.Sebagaimana Pasal 46 ayat
(1) UU Nomor 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran)
berbunyi “setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajib membuat rekam medis” dan Pasal 29 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit)berbunyi “Setiap Rumah
Sakit mempunyai kewajiban menyelenggarakan rekam medis”. MenurutPasal 13 ayat
(1) PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis berbunyi
“pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai : b) alat bukti dalam proses
penegakkan hukum,disiplin kedokteran,dan kedokteran gigi dan penegakkan etika
kedokteran dan etika kedokteran gigi”.
Dari
pasal-pasal diatas, jelas bahwa rekam medis melekat sifat wajib yang harus
dilaksanakan baik oleh dokter dan rumahh sakit itu sendiri, dan rekam medis
juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum. Alat
bukti khusus dalam pidana, maka wajib berpedoman pada Pasal 184 UU Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 184 ayat (1)disebutkan
alat bukti terdiri dari:a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d)
petunjuk; d) keterangan terdakwa.
Kerangka dasar pembuktian atau alat-alat bukti dalam hukum
acara pidana di Indonesia, menggunakan teori negatife wettelijk bewisjtheorie yang menyatakan bahwa
pembuktian harus didasarkan pada ketentuan undang-undang dan dasar keyakinan
hakim, yang dimaksud ketentuan berdasarkan undang-undang adalah terpenuhi
sekurang-kurangnya adanya dua alat bukti yang sah atau alat bukti yang
ditentukan undang-undang,yang mendukung dakwaan.
Menjadi persoalan
hari ini dalam lapangan hukum kesehatan,kedudukan rekam medis dalam fungsi
sebagai alat bukti seringkali dikesampingkan oleh penegak hukum lainnya
misalnya polisi, jaksa dan hakim. Hal ini disebabkan, rekam medis dalam fungsi sebagai
alat bukti,hanya diatur melalui peraturan teknis yang dibuat oleh Menteri
Kesehatan yakni PERMENKES Nomor 269/MENKES/PER/III/2008. Menurut penulis, maka dari itu
sangat penting kedepan politik hukum rekam medis sebagai alat bukti harus
didorong untuk diatur dalam produk hukum undang-undang.
Secara lex generalis
bisa diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana ataupun secara lex
specialis bisa diatur dalam Rancangan Undang-Undang Rumah Sakit atau Rancangan
Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Dalam
pandangan penulis, alat bukti adalah elemen dasar dan penting dalam memenuhi
unsur-unsur perbuatan pidana seseorang. Dikarenakan dalam rekam medis,terdapat
elemen sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat, maka secara mutatis mutandis ini merupakan bagian dari hukum pidana formil yang tujuannya menegakkan
hukum pidana materil. Telah diketahui bahwa alat-alat bukti menjadi dasar
pembuktian untuk memberikan sanksi pidana terhadap dokter, baik yang terdapat
dalam KUHPidana, UU Rumah Sakit, UU Tenaga Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran.
Artinya
ketika alat-alat bukti menjadi dasar
pemenuhan unsur dalam pemidanaan, maka kedepan seharusnya rekam medis
sebagai alat bukti tidak diatur melalui peraturan teknis Menteri Kesehatan
yakni PERMENKES No 269/MENKES/PER/III/2008, dikarenakan tidak sesuai dengan
politik hukum pemidanaan dan prinsip negara hukum (rule of law) serta HAM.(*)