Brindonews.com
Beranda Daerah Halmahera Selatan GPM Halsel Tolak Restoratif Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual di Obi

GPM Halsel Tolak Restoratif Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual di Obi

HALSEL, BRN – Penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia kerap memasuki wilayah abu-abu, termasuk di Kabupaten Halmahera Selatan.

Ironisnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah Polsek Obi diduga diselesaikan secara damai melalui mekanisme Restoratif Justice. Padahal, pendekatan tersebut secara tegas dilarang dalam peraturan perundang-undangan.





Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Marhaenisme (DPC GPM) Halmahera Selatan, Harmain Rusli, menyatakan penolakan keras terhadap segala bentuk penyelesaian damai di luar proses hukum dalam perkara kekerasan seksual.

“Penyelesaian kekerasan seksual melalui jalur damai bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai hak korban atas keadilan. Restoratif Justice dalam konteks ini bukan solusi, melainkan jebakan yang memperkuat budaya impunitas,” tegas Harmain kepada media ini, Jumat (11/7/2025).

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya Pasal 23, dengan jelas mengatur bahwa tindak pidana kekerasan seksual wajib diproses secara hukum dan tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, kecuali pelaku adalah anak di bawah umur.





Lebih dari itu, Harmain menyoroti adanya dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam praktik penyelesaian damai tersebut. Ia menyebut hal itu sebagai pelanggaran berat terhadap Kode Etik Profesi Polri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 dan Perkap Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pengawasan Internal Polri.

“Jika benar ada keterlibatan aparat yang membiarkan atau bahkan memfasilitasi Restoratif Justice dalam kasus kekerasan seksual, maka mereka telah melanggar kode etik dan layak dikenakan sanksi tegas, hingga pemberhentian tidak dengan hormat,” tegasnya.

Atas dasar itu, DPC GPM Halsel mendesak Propam Polres Halmahera Selatan dan Polda Maluku Utara segera turun tangan dan memeriksa oknum-oknum yang diduga melanggar prosedur hukum dalam penanganan kasus ini.





“Kami tegaskan, tidak ada toleransi bagi aparat yang melecehkan keadilan dan meremehkan penderitaan korban kekerasan seksual,” ujarnya.

Harmin juga mengingatkan bahwa dalam konteks perlindungan anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 12 Tahun 2022 menegaskan bahwa tindak pidana seksual terhadap anak merupakan delik biasa, yang artinya dapat diproses tanpa menunggu laporan dari korban.

“Oleh karena itu, kami mendorong Polres Halsel dan Polsek Obi agar serius menuntaskan kasus ini sesuai hukum yang berlaku, demi menjaga martabat korban dan memberikan efek jera kepada pelaku,” pungkasnya.





Harmain menutup dengan seruan keras “Sudah saatnya kita hentikan ilusi damai yang menipu. Kekerasan seksual bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan mediasi. Hukum harus ditegakkan, pelaku harus dihukum, dan korban harus dipulihkan serta dilindungi sepenuhnya.” tandasnya. (Al/Red)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan