Brindonews.com
Beranda News Wamenkumham Keliru Soal Mempidanakan yang Menolak Vaksin Covid-19

Wamenkumham Keliru Soal Mempidanakan yang Menolak Vaksin Covid-19





Hasrul Buamona.

Dalam Januari 2021 ini, publik Indonesia dikabarkan dengan adanya
program Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bahwa akan diadakan pemberian
Vaksin Covid-19 kepada masyarakat yang tentu dimulai dari aparatur sipil
negara. Kabarnya vaksin covid-19 tersebut telah sampai di Provinsi Maluku Utara
yang mana mendapatkan sorotan tajam dari Sultan Tidore.

Namun yang menjadi fokus utama dalam penulisan kali ini terkait
pernyataan Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, SH.,M.Hum selaku Wakil Menteri Hukum dan
Ham yang mana beliau juga adalah Guru Besar Hukum Pidana UGM. Sebagaimana yang
termuat dalam media online cnnindonesia.com tertanggal 11 Januari 2021,
Wamenkumham menyampaikan bahwa Warga Tak Mau Divaksin Corona Bisa Masuk Penjara
hal ini Wamenkumham merujuk pada Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan.

Menurut penulis, Wamenkumham RI keliru bilamana Pasal 93 UU No. 6 Tahun
2018 yang dijadikan dasar hukum untuk mempidanakan setiap orang yang tidak
ingin divaksin, walaupun norma pidana dalam hal ini bersifat ultimum remedium. Dalam
Pasal 93 berbunyi “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau
menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)”.





Apabila kembali melihat defenisi kekarantinaan kesehatan dalam Pasal 1
angka 1 UU No. 6 Tahun 2018 adalah “upaya mencegah dan menangkal keluar atau
masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.” Dari defenisi ini sebenarnya
lebih cenderung kepada pengaturan aktifitas sosial masyarakat yang mana hal ini
kemudian terbagi dalam beberapa bentuk karantina yaitu Karantina Wilayah,
Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Perlu diketahui kekaratinaan kesehatan lebih pada suatu kebijakan untuk
pembatasan kegiatan dan pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular.
Sehingga, secara hukum Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tidak tepat digunakan untuk
mempidanakan setiap orang yang tidak ingin divaksin covid-19 sebagaimana
dijelaskan diatas. Terkait dengan Pasal 93 diatas, penulis hanya ingin
mengingatkan bahwa terdapat asas hukum lex
scripta
, lex certa dan lex stricta. Yang mana asas-asas hukum
ini mengatur bahwa hukum pidana harus tertulis, jelas, tegas dan tidak bisa
dianalogi.
 

Terakhir, apabila Wamenkumham ingin terapkan sanksi pidana walaupun
sebagai ultimum remedium. Saran penulis, Wamenkumham dapat menggunakan Pasal 14
ayat (1) UU.4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular yang berbunyi “ Barang
siapa dengan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1
tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1 juta. (*)





 

Tentang Penulis   

—– Penulis: Dr. Hasrul Buamona,S.H.,M.H.





—– Merupakan Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram
Yogyakarta.

 





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Iklan