Brindonews.com
Beranda Opini Ukir Sejarah Baru Indonesia Lebih Tangguh

Ukir Sejarah Baru Indonesia Lebih Tangguh

Fathur Rohman

 Oleh: Fathur Rohman

“Pengurus Nasional Karang Taruna Bidang Tangap Bencana”

Ketangguhan dan keunggulan Indonesia bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kewajiban historis. Mengukir sejarah baru berarti menolak takdir fatalistik yang menyamakan bencana dengan kehancuran yang berulang. Ketangguhan sejatinya adalah ketika masyarakat dan negara mampu menyerap guncangan (absorb shock) dan bangkit kembali dengan kondisi yang lebih baik (build back better), tanpa mengulangi kerentanan yang sama.

Saat ini masyarakat Indonesia hidup di tengah pusaran polarisasi informasi akibat disrupsi digital, kesenjangan ekonomi yang melebar, dan tingginya urbanisasi. Kerentanan sosial inilah yang diperparah oleh bencana. Misalnya, kelompok miskin yang terpaksa tinggal di bantaran sungai menjadi yang paling menderita saat banjir.

Bencana-bencana besar sejak lama sudah terjadi di wilayah Indonesia. Korban  nyawa, harta dan kekayaan budaya juga telah dirasakan. Namun kesadaran untuk mengantisipasi dampak bencana, belum terasa hingga memasuki awal dekade tahun 2000an. Baru sesudah terjadi bencana-bencana besar secara  beruntun selama hampir dua dekade terakhir, yaitu  tsunami, gempa bumi,  dan gunung meletus di beberapa wilayah Indonesia, saat itulah upaya-upaya mitigasi bencana mulai digalakkan.

Beberapa bencana yang lebih kecil skalanya namun lebih sering frekuensi kejadiannya, yaitu kebakaran dan banjir yang melanda rumah warga menambah kekhawatiran bahwa, berikutnya akan terjadi yang lebih parah dari hari ini. Pengalaman-bengalaman traumatis ini sebagian besar mengakibatkan kerusakan yang langsung terlihat dengan jelas. Namun sumber permasalahan lain yang tampaknya harus dijadikan prioritas justru belum disiapkan, yaitu kesadaran untuk mengatasinya melalui mitigasi dengan data yang sudah dimiliki agar resiko bencana dapat dikurangi dan dampak bencana dapat diminimalisasi.

Indonesia adalah negeri yang dianugerahi keindahan alam sekaligus dihadapkan pada ancaman multi bencana. Sebagai negara yang berada di “Ring of Fire” dan dilintasi tiga lempeng tektonik, siklus bencana seolah menjadi takdir. Namun, opini ini berargumen bahwa sejarah baru yang harus diukir bukanlah tentang menghindari bencana yang mustahil melainkan tentang mengakhiri kerentanan yang sama (the same vulnerability) yang terus menerus menghasilkan kerugian yang begitu masif.

Fakta sejarahnya adalah tsunami Aceh pada tahun 2004. Bencana ini mengubah cara pandang kita terhadap risiko. Namun, hampir dua dekade terakhir, isu mendasar seperti kegagalan tata ruang di kawasan pesisir rawan tsunami masih terus terulang di beberapa daerah. Kemudian gempa di Palu pada tahun 2018. Bencana ini mengungkap kerentanan ganda yakni kegagalan infrastruktur akibat guncangan dan bahaya sekunder yang terabaikan, seperti likuifaksi (pencairan tanah), yang belum sepenuhnya terintegrasi dalam rencana tata ruang.

Lingkaran setan ini menunjukkan bahwa masalah kita bukanlah kurangnya peta atau peringatan, tetapi kegagalan sistematis dalam menerjemahkan pelajaran sejarah fakta bencana  menjadi Rencana Aksi dan Kebijakan yang mengikat.

Pergeseran paradigma global dalam manajemen bencana, dari Manajemen Bencana Konvensional menjadi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) atau Disaster Risk Reduction (DRR). Karena itu basis utama pembahasan dalam opini ini adalah “Kerangka Sendai” yang mendefinisikan empat Prioritas Aksi untuk mencapai pengurangan kerugian bencana:

Pertama memahami risiko bencana dilakukan dengan pemetaan dan kajian risiko. Kedua, memperkuat tata kelola risiko bencana dengan tahap rencana dan kelembagaan. Ketiga berinvestasi dalam pengurangan risiko untuk ketahanan melalui tahap implementasi dan anggaran dan. Keempat meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons efektif dan build back better  dengan membangun kembali lebih baik, tahap Pasca-Bencana.

Indonesia telah relatif berhasil pada Prioritas 1 (Peta Ada), tetapi sering gagal pada Prioritas 2 dan 3 (Rencana Aksi dan Investasi). Sejarah baru diukir ketika kita fokus pada Prioritas 3, memastikan bahwa pembangunan dan anggaran diarahkan oleh data risiko yang ada di peta.

Aksi Baru Mengukir Sejarah

Pertama yang dilakukan adalah pendidikan bencana inklusif. Yakni ketangguhan yang dimulai dari edukasis, tidak hanya tentang gempa, tetapi juga tentang adaptasi iklim dan keterampilan bertahan hidup. Program ini harus inklusif, melibatkan tokoh adat dan agama untuk mengubah persepsi fatalistik menjadi budaya kewaspadaan. Kedua ketangguhan ekonomi komunitas dengan membangun sistem keuangan mikro di tingkat komunitas (RT/RW) untuk memastikan pemulihan ekonomi dapat dimulai segera setelah bencana, mengurangi ketergantungan penuh pada bantuan pusat.

Integrasi Data ke Kebijakan “Pilar Strategis”

Ketangguhan institusional adalah kunci untuk mengakhiri kegagalan dengan menganalisis pertama, Peta sebagai Hukum: dengan Peta Risiko Bencana harus diangkat statusnya menjadi dokumen hukum yang mengikat dalam setiap tahapan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ini mengakhiri praktik “pembangunan di zona merah” yang merupakan kerentanan struktural terbesar.

Kedua Investasi Proaktif: Anggaran negara dan daerah harus menerapkan Manajemen Risiko Keuangan Bencana (DRFM). Dana harus diarahkan secara signifikan ke mitigasi (pencegahan) sesuai prioritas yang ditunjukkan Peta, bukan sekadar menyiapkan dana tanggap darurat reaktif. Ketiga, Tata Kelola Lintas Sektor: Mewajibkan koordinasi antara BPBD, Dinas PU, dan Bappeda (Perencanaan) untuk bekerja menggunakan satu Peta risiko terintegrasi. Ketidakselarasan antar-lembaga adalah sumber kerentanan kelembagaan.

Mengukir sejarah baru di Indonesia yang lebih tangguh adalah tugas penting yang harus di jawab oleh pemerintah dan masyarkat sipil. Karena ini adalah tugas bersama, Peta Bencana adalah cermin yang jujur; Rencana Aksi adalah palu untuk mengubah realitas.

Kita harus menolak takdir fatalistik yang menyamakan bencana dengan kehancuran. Dengan menghilangkan kerentanan lama melalui penegakan tata ruang berbasis risiko, investasi proaktif, dan tata kelola yang kuat, kita akan mencapai ketahanan sejati (sesuai Vulnerability-Resilience Nexus).

Mengukir Sejarah Baru Indonesia Lebih Tangguh adalah proyek jangka panjang yang menuntut komitmen politik berani untuk mengorbankan keuntungan jangka pendek demi keselamatan struktural. Anak muda memiliki tugas untuk menjadi agen advokasi dan inovasi digital yang menuntut transparansi, memastikan Peta Bencana benar-benar menjadi panduan aksi, bukan hanya pajangan di rak dokumen yang tersusun rapih di atas lemari.

Dengan begitu Indonesia yang tangguh adalah Indonesia yang belajar dari masa lalu, merencanakan masa depan berdasarkan data, dan berani berkata “TIDAK” pada kerentanan yang sama karena sejarah baru Indonesia, bukan lagi negara yang hanya hebat dalam merespons bencana, tetapi negara yang hebat dalam mencegah bencana yang berkepanjangan. (*)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan