Brindonews.com
Beranda News Tragedi Atau Statistik

Tragedi Atau Statistik

dr. Siti Noviyanti
Penulis adalah Tim Dokter Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Rumah Sakit Umum Banten

L

ayaknya suatu negara, Pemerintah
Indonesia menjamin melindungi bangsa dan warga Negara Indonesia yang tercantum
dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 45 yang
berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.





Atas dasar itu, pentingya pemerintah
mengambil kebijakan untuk melindungi warga dari pandemi virus corona. Namun,
kelalain itu terjadi dalam bentuk pengabain arus informasi, kelangkaan alat
perlindungan diri, dan melakukan kesalahan diagnostik (underdiagnostik). Mempertanyakan nurani pemangku kebijakan, apakah
ini tragedi atau statistik bagi bangsa kita.

Pengabaian
informasi





Pengabaain informasi, laporan
penelitian oleh seorang profesor bidang epidemiologi dari Universitas Harvard
Marc Lipstch terkait corona, seharusnya menjadi kewaspadaan pemerintah dalam
merancang kebijakan mengenai pandemi ini. Namun, ditanggapi cemooh oleh
berbagai tokoh, sepertihalnya wakil presiden dengan pernyataannya “berkat doa
dan qunut, corona menyingkir” dan elakan dari menteri kesehatan dengan tanggapan
“itu namanya menghina”.

Kemudian laporan dari pemerintah
negara Arab Saudi (27 Februari
2020). Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak diperbolehkan masuk ke Arab
Saudi terkait penularan virus corona. Beberapa laporan negara lain terkait
perjalanan penerbangan seseorang dari Indonesia yang kemudian terkena virus
corona. Berbagai pertanyaan publik terkait penularan di Indonesia, pemerintah
dipertanyakan akan keterbukaan informasi publik sesuai UU Keterbukaan Informasi
Publik.

Kelangkaan
alat perlindungan diri





Dalam upaya pencegahan, pemerintah
gagap mengendalikan stok barang kebutuhan alat perlindungan diri sepertihalnya
masker, kaca mata google, hazmat suit, sepatu boots yang digunakan tenaga
kesehatan dalam pemeriksaan kepada masyarakat. Sehingga dampaknya per tanggal
10 April 2020 terdapat 25 kematian dokter dan 10 kematian akibat covid dengan
jumlah kematian seluruh 305 pasien. Pemerintah beralasan kelangkaan terjadi
karena kesulitan produksi. Namun, dilapangan terjadi hal yang kontradiktif
dengan saat ini, ditemukan hazmat suit yang di impor dari luar negara. Barang-barang
ini berlebel “made in indonesia”.

Selain itu, kelangkaan dan harga yang tidak
normal terjadi pada masker medis. Di
mana,
tidak adanya pengendalian harga dan stok barang dalam memenuhi perlindungan
diri bagi warganya disaat pandemi virus corona ini. Sehingga  peningkatan angka kesakitan dan bergugurnya
tenaga medis yang merawat pasien covid. Kegagalan ini pemerintah dalam
pengendalian barang kebutuhan dasar kesehatan dapat
di proses
secara perdata dan administrasi negara terkait
underdiagnostik.





Di Indonesia, kurangnya alat
pendeteksi dini virus corona sehingga pasien yang positif covid memasuki fase
berat dan mengalami gagal nafas yang menyebabkan rasio kematian pasien positi
f corona mencapai 8,12 persen,
tentunya pemerintah sepatutnya melakukan screening
diagnostik guna menemukan penyakit covid dalam fase ringan.

Screening diagnostik diperlukan metode yang
akurat. Namun kita juga melihat pemerintah melakukan kebijakan screening menggunakan Rapid Test dimana sensitivitasnya
berkisar 36 persen dan menghasilkan false
negative
, yaitu tampak negatif meski sebenarnya positif.





Sepatutnya
pemerintah mendengarkan berbagai pertimbangan para ahli yang banyak disampaikan
oleh tim penanganan covid di rumah sakit rujukan yaitu screening menggunakan metode Swab
Test
guna menegakkan diagnostik pasti, ketimbang menggunakan Rapid Test yang akan diuji kembali
dengan metode Swab Test. Screening yang tidak akurat menambah
beban biaya dan membuat pendertia covid yang sebenarnya positif, namun
dilakukan Rapid Test hasilnya negatif
akan mengabaikan kondisinya sehingga dapat menularkan penyakit ke orang lain.

Penanganan di Indonesia terkesan tak
mau rugi. Kita ambil di beberapa negara yang sudah terjangkit virus corona
dengan berbagai metode yang dilakukan guna mengurangi angka positif corona dan
angka kematian. Cina misalnya. Sistem karantina diterapkan menekan laju
penyebaran hingga berhasil bebas dari virus corona dalam kurun waktu 3 bulan.

 Ada juga negara yang tidak menerapkan
karantina seperti Korea Selatan. Deteksi dini masif dan secara sukarela,
sehingga angka positif corona memang amat tinggi namun presentasi kematiannya
CFR (Case Fatality Rate) 1,73 persen,
jauh dibandingkan Indonesia dengan CFR 9,49 persen. Ambil contoh di Vietnam misalnya.
Pengendalian penyakitnya memastikan warganya menggunakan masker dan tertib
melaporkan diri jika ada gejala penyakit covid, sehingga angka kematiannya CFR
0 persen.





Kita bisa liat juga penanganan Singapura
dengan pengalaman kejatuhan virus flu burung. Sehingga saat penanganan covid,
pemerintah melakukan pengendalian ruangan ICU di setiap rumah sakit yang diambil
alih oleh pemerintahan pusat langsung. Berbagai metode dilakukan dengan upaya
pencegahan hingga tatalaksana covid. Adapun metode di Indonesia dengan menggunakan
diagnostik Rapid Test.

Pola atau metode lain terdengar
celetukan Herd Immunity yang
disampaikan oleh Gubernur Jawa Timur. Membiarkan masyarakatnya terkena virus
dan menunggu daya tahan tubuh menciptakan kekebalannya dan melawan virus. Hal
ini amat disayangkan jika benar-benaar dilakukan karena secara epidemiologi
akan didapatkan 90 persen yang selamat dan 10 persen yang akan mengalami
kegagalan pembentukan daya tahan tubuh.

Kita ketahui bersama, angka kematian
ibu hamil dan stunting di Indonesia
masih tinggi. Hal tersebut menggambarkan kecukupan gizi yang masih dibawah
standar. Jika Herd Immunity dilakukan
pada masyarakat yang kecukupan gizi berkurang, maka angka kematian bisa jadi
lebih dari 10 persen.





Disaat pengambilan keputusan yang
tidak pro-rakyat, pemerintah melakukan kedaulatan ekonomi di
atas kesehatan. Pemerintah
disibukkan dengan pembahasan ekonomi, walau sejatinya akan berdampak pada
perekonomian negara, sepatutnya pemerintah melakukan intervensi kesehatan
sedari awal guna mengurangi kacaunya perekonomian Indonesia. Mengingatkan apa
dasar dari fundamental rule of government
yang disampaikan John Locke yaitu: Solus
populi suprema lex esto
(keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).

Pemerintah dalam penanganan virus
corona, sedianya patut bertanggung jawab terhadap ratusan korban
meninggal akibat penularan vrius yang menggerogoti sistem pernapasan tersebut. Pemerintah
berpotensi digugat olehmasyarakatdengan gugatan perbuatan melawan hukum pemerintah sebagaimana
ketentuan
1365 KUHPerdata,
UU Keterbukaan
Informasi Publik.
(*)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan