Sophie, Cahaya yang Tak Pernah Padam

“Bila yang tertulis untukku
Adalah yang terbaik untukmu
‘Kan kujadikan kau kenangan
Yang terindah dalam hidupku.
Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidupmu
Yang t’lah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah
-Penggalan lirik lagu Kenangan Terindah, Grup Samson.
Namanya Sophie—kami memanggilnya Ophie dengan lembut penuh sayang—sebuah nama yang berarti cinta akan kebajikan. Aku dan istriku memetiknya dari tokoh dalam novel Sophie’s World karya Jostein Gaarder. Novel filsafat best seller internasional ini laksana jendela ke alam berpikir yang luas, dan nama itu kami persiapkan jauh sebelum ia lahir—sebagai doa, harapan, cahaya.
Sophie lahir dalam bulan suci Ramadan, dua puluh empat tahun lalu, di sebuah puskesmas kecil di kota angin berembus semilir, di bawah matahari yang terasa terlalu dekat ke bumi. Menjelang waktu berbuka, kondisinya memburuk. Kami bergegas membawanya ke rumah sakit, menyusuri jalanan macet dengan taksi tua dan secarik surat rujukan. Duduk terpaku di kursi belakang, berdoa dalam hening, menggenggam asa seperti menahan napas agar waktu tak lekas berpaling.
Di rumah sakit, seorang dokter yang tak kami kenal mendengar kisah kami, dan tanpa banyak tanya, ia memutuskan gajinya dipotong demi membiayai operasi pertama Sophie. Istrinya juga seorang dokter. Mereka hanya meminta kami menanggung biaya obat pascaoperasi. Di ruang PICU, dokter anak itu merawat Sophie dengan tangan dan hati yang sama: lapang, sabar, tenang.
Orang-orang menyebutnya dokter dari negeri di atas awan berhati malaikat—yang hatinya mungkin lebih lapang dari langit itu sendiri. Ia mengulurkan tangan tanpa pamrih kepada siapa pun yang datang padanya.
“Kami pernah dibantu. Kami datang dari kampung, puluhan kilometer jauhnya. Kami tak punya uang, jadi kami bawakan hasil kebun, jagung dan sukun di rumahnya sebagai tanda terima kasih. Ia menolak, tapi kami paksa. Ia hanya tersenyum dan menyuruh kami masak, lalu makan bersama,” tutur seorang ibu di bangsal, suaranya nyaris hilang oleh kenangan.
Aku mengingat wajah dokter bertubuh tinggi dan tidak terlalu gemuk itu: tenang, jernih, murah senyum, dan sabar, seakan tahu betul apa artinya menjadi manusia di tengah penderitaan orang lain.
Kebaikan seperti itu bukan sekadar profesi, melainkan laku hidup. Tapi tak semua pengalaman kami sehangat itu. Cahaya yang memancar dari orang-orang baik kerap kali dibayang-bayangi oleh gelap yang tak mengenal belas kasih.
Lima tahun kemudian, Sophie harus dioperasi lagi. Sang dokter malaikat itu sudah tiada, mungkin dipindah tugaskan. Hari itu, ia dijadwalkan operasi pukul dua siang. Kami menunggu, dan menunggu, sampai pengumuman terdengar: seorang dokter akan segera dioperasi, tanpa antrean.
Aku merasa langit patah. Ini rumah sakit umum milik negara, pikirku, bukan milik pribadi atau keluarga siapa pun. Tapi tampaknya, di balik dinding-dinding rumah sakit, ada garis tak kasatmata yang memisahkan manusia, seolah-olah nyawa hanya bernilai jika kita punya profesi tinggi dalam strata sosial.
Sophie akhirnya dioperasi, tapi di ruang antrian yang hanya dibatasi kaca buram dengan ruang bedah. Tanpa bius. Ia menangis kesakitan, menggenggam erat tanganku. “Sudah, Pak… sakit sekali…” pekiknya berulang kali. Aku mohon prosedur dihentikan, tapi sang dokter terus mengorek bekas luka operasi lamanya, seolah hanya sedang membuka sepotong kain usang.
“Stop!” pinta Sophie lagi. Namun tak digubris. Dalam hati aku menjerit, mataku basah. Ingin aku hentikan semuanya. Ingin kutepis tangan manusia angkuh yang kehilangan nurani itu dengan pedang samurai.
Setelah itu, ranjangnya diambil alih untuk dokter yang baru selesai dioperasi. Aku menggendong Sophie keluar, iparku menggiring tiang infus, istriku setengah berlari mencari obat dengan resep di tangan. Kami berjalan, menyusuri lorong rumah sakit dalam keheningan yang berkeping.
Sophie dirawat di ruangan anak dengan diagnosis atresia usus. Sebagian besar perawatannya ditangani oleh para dokter co-ass. Tak seperti sebelumnya, perawatannya terasa jauh dari standar empati.
Ketika Sophie memerlukan transfusi darah, kami kesulitan mendapatkannya. Istriku berjalan ke gedung sebelah, mencari dua kantong darah, lama sekali. Ia bilang langkahnya terasa berat, seperti ada yang menghalangi. Tapi ia terus berjuang….dan berhasil.
Malam itu, seorang dokter muda cantik mirip dara-dara Middle East meminta air hangat. Ia merendam kantong darah itu di baskom sambil tertawa kecil, bercanda dengan rekannya yang juga cantik. Sementara kondisi Sophie kritis, hemoglobinnya turun drastis. Aku menghampirinya, menahan amarah. “Dokter, anakku butuh transfusi segera, kenapa Anda tertawa?”
Beberapa saat setelah darah itu masuk ke tubuh mungilnya lewat infus, Sophie memuntahkan semuanya. Tubuhnya semakin melemah. Seorang ibu di bangsal sebelah yang menemani anaknya, menghampiriku dan berkata pelan: “perhatikan napas anakmu, sudah tak normal. Cepat bisikkan kalimat syahadat di telinganya.”
Tangisku pecah dalam hati. Aku mencium ubun-ubunnya, wajahnya, membisikkan kalimat suci itu perlahan dengan suara bergetar. Istriku menyusul, menggantikan. Kami tak sanggup berkata banyak, hanya air mata yang mengalir, dan doa yang patah-patah.
Lalu… layar detak jantung itu mendatar. Garis lurus, senyap. Sophie menghembuskan napas terakhir di pelukanku. Istriku menjerit, roboh di pelukanku. Kami memeluk tubuh Sophie bersama, tubuh kecil itu masih hangat. Dunia kami runtuh. Lampu di ruangan terasa meredup.
Seorang perawat laki-laki mengazankan, karena aku tak sanggup. Lalu, ia lekas mengumpulkan obat dan perlengkapan yang tersisa. Dokter muda tadi mencoba menenangkan istriku. Aku ingin menyentuh wajahnya dengan telapak tanganku, tapi tak ada kemarahan yang cukup untuk menghidupkan kembali yang telah pergi.
Aku nyaris ambruk saat salat jenazah. Di pekuburan Islam kota itu, saat Sophie diturunkan ke liang lahat, bumi terasa ikut menangis. Istriku nyaris pingsan. Dua adik perempuanku yang sangat dekat dengan Sophie, masih histeris, menggali kembali tanah yang sudah ditimbun, tak tega melihat Sophie dikubur.
Kakak dan adiknyaa menangis, membelai tanah, seolah ingin menyentuhnya sekali lagi. Aku tak sanggup membayangkan tubuh kecil itu sendirian di dalam tanah. Dada ini terasa hampa.
Keesokan harinya, aku mengancam dokter itu lewat telepon dan pesan singkat. Ia memohon maaf. Rekannya menjelaskan bahwa semua sudah dilakukan sesuai prosedur. Tapi kami tahu, tak ada prosedur yang suci bila tanpa rasa kemanusiaan.
Beberapa teman jurnalis kawakan datang menawarkan bantuan: investigasi, autopsi, pemberitaan, hingga proses hukum dengan menyipkan pengacara, atas dugaan malpraktik. Mereka hanya butuh satu kata dari kami: iya. Tapi orang tua dan mertuaku menolak: “Luka ini sudah terlalu dalam, jangan ditambah lagi.” Dan aku menyerah pada keheningan.
Sejak itu, aku goyah, jatuh ke dalam lubang yang tak bisa kujelaskan dengan kata. Istriku dan anak-anakku menangis, ketakutan. Ibu dan ayahku memanggil “orang-orang pintar” memandikanku dengan air kembang, berharap depresi ini hanyut.
Bertahun-tahun aku tak sanggup menjenguk keluarga, tetangga, atau teman yang sakit dan dirawat di rumah sakit. Setiap lorong, bau antiseptik, deru troli, mengembalikan segalanya, dan air mataku pasti jatuh.
Sophie adalah jiwa yang penuh cahaya. Ia suka menyanyi, suaranya lembut, menggetarkan hati. Lagu favoritnya adalah “Kenangan Terindah” dari grup Samson. Saat menunggu operasi di rumah sakit, ia kerap menyanyikannya, lirih namun penuh harap. “Papa, berhenti merokok ya,” katanya suatu sore, usai menyanyi—permintaan kecil yang terasa begitu besar setelah kepergiannya.
Ia juga kerap menyanyikan lagu daerah dengan gaya jenaka, matanya berbinar. Kakek dan neneknya selalu tertawa ketika mendengar lagunya. Suara dan tawanya membuat rumah kami terang, mengusir gelap yang diam-diam mengintai.
Ia begitu ceria, bahkan saat tubuhnya sakit. Senyumnya membawa hangat ke setiap sudut hati. Ia mandi pagi dan sore, suka berdandan, penuh percaya diri. Bila adik atau kakaknya diganggu, ia yang lebih dulu membela. Hanya satu cita-citanya, menjadi dokter.
Aku dan istriku bergantian mengganti plastik kolostomi di perutnya, setelah membersihkan dengan cairan Natrium Klorida yang kami beli di apotek, sesuai rekomendasi dokter. Kami tahu itu menyakitkan, terkadang kami menangis diam-diam. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia tetap tersenyum, bernyanyi, seolah mengatakan bahwa ini tak apa-apa, Pa, Ma.
Setiap kali aku mendengar lagu Kenangan Terindah, aku kembali ke hari-hari bersamanya, ketika dunia kecil kami masih utuh. Tahun lalu, adiknya yang studi akhir di Program Studi Akuntansi Politeknik Negeri, menyisihkan tabungannya demi menonton konser Samson. Ia ingin mendengar langsung lagu Kenangan Terindah. Di Instagram, ia menulis: “Lagu favorit almarhum kakak.” Samson membalas: “Al-Fatihah untuk almarhum kakaknya.”
Setiap Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha, hari anak nasional-internasional, dan tahun baru, kami mengunjunginya. Kakak dan adiknya membersihkan nisan, menabur bunga, membacakan doa—tangan-tangan kecil yang secara perlahan belajar tentang makna kehilangan.
Sophie tak lagi hadir secara fisik. Tapi ia tak pernah pergi. Ia terukir dalam hati kami. Dalam doa di setiap sujud yang kami titipkan ke langit, dalam udara yang kami hirup, dalam lagu Kenangan Terindah. Dalam setiap ruang di rumah yang pernah ia terangi. Dalam buku yang kutulis mupun editori, dan dalam rak-rak buku koleksi keluarga kecilku: Pustaka Sophie. Ia adalah kenangan kami yang terindah. Cahaya yang tak pernah padam.***