Brindonews.com
Beranda Headline PUPR Penyumbang Terbesar Utang Pemprov

PUPR Penyumbang Terbesar Utang Pemprov

ILUSTRASI

TERNATE, BRN – Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Maluku Utara terjerat utang hingga Rp 53.647.180.500,00. Tunggakan
ini tercatat dari 2015 sampai 2018.

Tunggakan
akibat keterlambatan pembayaran terhadap pihak ketiga itu membuat pencatatan
utang di tahun anggaran berikutnya. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Malut sedikitnya 17 SKPD penyumbang
utang.





Khusus
tahun anggaran 2017 dan 2018, penyumbang utang terbesar adalah Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang (PUPR) disusul Dinas Perumahan dan Permukiman
(Disperkim). PUPR menyumbang Rp. 9.434.423.000,00 pada 2017 dan Rp.
7.593.977.000,00 di 2018, sementara Disperkim senilai Rp. 6.896.750.000,00.

“Total
utang PUPR senilai Rp 17.028.4000,00,” tulis BPK dalam LHP tertanggal 22 Mei
2019.

Selain
PUPR dan Perkim, besaran utang yang menjerat pemprov umumnya merupakan utang
akibat pekerjaan atau program fisik di 15 dinas. Yaitu Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, Dinas kesehatan, RSUD CB Ternate, Badan Kesbangpol, Pertanian, Disperindag,
Dishub, DP3A, Sekwan, Biro Umum, Biro Organisasi, BPKAD, Bappeda, Dinas
Koperasi Usaha Kecil Menengah, dan BPB.





Sejumlah
nama SKPD tercantum dalam LHP BPK tersebut dibenarkan Ketua Komisi I Dewan
Perwakilan Rakyat Provinsi (Deprov) Malut, Wahda Z. Imam. Wahda mengatakan
hampir tiap SKPD menyisakan utang dan belum terkafer secara menyeluruh.
  

“Banyak,
termasuk rumah sakit,  kesehatan, dan perkim.
Hampir seluruh unit ada. Walaupun itu ternyata banyak sekali utang yang mereka
sampaikan itu tidak masuk dalam LHP BPK,” katanya di Hotel Batik usai FGD
ranperda tentang tata kelola dan KIP, Selasa (13/8).





Menurutnya,
di akomodir atau tidaknya usulan pembayaran tunggakan pada perubahan anggara
2019 tetap mengacu pada produk BPK. Pengusulan di akomodir kalau status
utangnya termuat dalam LHP BPK. “ DPR tetap mempunyai standar pengakuan
hutangnya di LHP BPK, maka kami hanya terima kalau itu (utang) ada dalam LHP,”
katanya.

“Yang
paling aneh lagi adalah utang dalam pergub nomor 1 dan 4 telah terbayar di APBD
induk, tapi dimasukkan lagi sebagai utang pada perubahan anggaran. Mereka meminta
DPR melegelisasi tentang apa yang mereka bayarkan. Itu problem hukumnya kami
agak sulit bisa menemukan. Rata-rata banyak sekali utang yang mereka bayar tapi
minta legelisasi dari DPR. Ada juga pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR,
tetapi sudah menggeser dan telah membayar utang itu”. (ko/red)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan