Brindonews.com
Beranda Opini Potensi Konflik Pasca Pilkada

Potensi Konflik Pasca Pilkada

Oleh: Antoni
Putra

Staf Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan





Sebanyak 400 personil di Bawah Kendali Operasi (BKO) Brimob
Kepolisian RI turut mengamankan jalannya rapat pleno KPU Maluku Utara saat menetapkan
enam pasangan bakal calon (balon) gubernur dan wakil gubernur Malut Periode
2013-2018. Pemilihan kepala daerah (pilkada) waktu itu berlangsung pada
tanggal 1 Juli 2013. Polda Malut mendapat bantuan sebanyak 400 personil BKO Brimob Kepolisian RI ini memback-up Polda Malut guna mengantisipasi pengamanan pemilukada di Maluku Utara pada 2013 lalu. 


Pilkada

Serentak 2018 baru saja usai. Kini kita hanya tinggal menunggu hasil tentang
siapa pemenangnya. Walaupun berbagai prediksi sudah bermunculan, hasil resmi
tetap menjadi hak KPU untuk mengumumkan sebagai penyelenggara.

Kini, kita wajib menunggu apa yang akan terjadi. Potensi terjadinya sengketa di
Mahkamah Konstitusi (MK) tentu terbuka lebar setelah hasil resmi diumumkan KPU.
Nantinya, akan ada yang menggugat karena memang adanya ditemukan pelanggaran,
dan ada pula yang menggugat hanya untuk mencoba peruntungan karena belum bisa
menerima kekalahan dalam pemilihan yang berlangsung demokratis.





Jika terjadi sengketa hasil pilkada, maka itu berpotensi menyebabkan konflik di
dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia belum mampu
menyerap prinsip-prinsip dasar demokrasi dengan baik. Masyarakat belum cerdas
dalam menerima informasi. Pada tataran ini, kebebasan individu dihadapkan
dengan berbagai persoalan dan isu menyesatkan yang sengaja dibangun oleh
sekelompok orang. Tujuannya jelas, yaitu untuk mendapat dukungan dan membangun
kebencian terhadap lawan politik. 

Pada akhirnya,
hal tersebut menimbulkan adanya golongan fanatik yang senantiasa mengamini
apapun yang dilakukan oleh kandidat yang didukungnya. Masyarakat akan pecah
menjadi berkelompok-kelompok yang saling menyalahkan, bahkan berpotensi besar
berlanjut setelah sengketa hasil pilkada selesai diputus di MK.

Tidak Siap Kalah





Kalah dan menang dalam pemilu adalah suatu hal
yang biasa. Namun, kekalahan dalam pilkada seringkali tidak dapat diterima.
Kalah seolah akhir dari dunia, sehingga menghalalkan segala cara untuk
mempersoalkannya. 

Bila berkaca kepada pilkada sebelumnya, maka
dapat dipastiakn banyak dari paslon yang tidak siap menerima kekalahan.
Akibatnya, ada yang tidak melakukan tindakan ‘ksatria’, saling tuding, menyebar
kebencian dan tidak bersikap bijak, sehingga berbuntut kepada perpecahan
bangsa. 

Kedaulatan rakyat seperti sengaja hanya
dimanfaatkan oleh sekelompok orang sebagai alat untuk mencapai tujuannya.
Kandidat yang maju dalam pilkada hanyalah orang-orang yang mengejar ambisi,
bukan untuk membangun bangsa. Sehingga banyak paslon yang tidak bisa menerima
kekalahan dengan lapang dada, padahal pemilihan berlangsung dengan demokratis.





Tentu hal ini tidak relevan dengan urgensi
dilakukannya pemilu yang tujuan utamanya adalah untuk kebaikan bersama.
Urgensinya, pemilihan umum adalah untuk mencari pemimpin yang baik dalam
membangun bangsa dan negara. Maka suatu hal yang aneh bila kemudian malah
menimbulkan perpecahan. Kemenangan dan kekalahan merupakan bagian dari dinamika
demokrasi yang seharusnya diterima dan dijalani dengan ikhlas oleh mereka yang
ikut berkompetisi.

Jika memang terjadi konflik yang menyebabkan
perpecahan, maka itu adalah akibat dari perbuatan para pihak yang tidak saling
menahan diri. Masyarakat yang merupakan pendukung masing-masing kandidat akan
terbawa arus kandidat yang saling berhadapan.

Sama Tapi Berbeda





Jika kita berkaca kepada konsep negara-negara
maju dalam pemilu, maka pada prinsipnya adalah sama tetapi berbeda.
Persamaannya adalah negara-negara yang melakukan pemilu adalah negara
demokrasi, termasuk Indonesia. Sementara perbedaannya adalah negara-negara maju
telah lebih dewasa dalam berdemokrasi daripada Indonesia.

Sebagai contoh, Indonesia dalam berdemokrasi
menjadikan Amerika Serikat sebagai salah satu kiblatnya. Di Amerika Serikat,
pasangan calon yang kalah dalam pemilu akan menerima kekalahan dengan lapang
dada, kecuali memang betul-betul ada alasan yang kuat untuk menggugat
kekalahannya. Sementara di Indonesia, yang kalah selalu mencari-cari alasan
untuk menggugat, terkadang alasan tersebut hanyalah dibuat-buat. 

Di Amerika Serikat, jika terjadi sengketa hasil
pemilu, maka konfliknya hanya terjadi di kalangan para pihak sampai adanya
putusan pengadilan. Sementara di Indonesia, jika terjadi sengketa hasil pemilu,
konflik tidak hanya terjadi di tataran pihak yang bersengketa saja, namun
meluas sampai ke masyarakat. Bahkan, setelah diputus pengadilan pun sengketanya
masih berlanjut, karena pihak yang kalah tidak bisa menerima kekalahan.





Masyarakat di negara maju akan menerima dan
mendukung siapapun kandidat yang menang dalam pemilu, tanpa terkecuali itu
bukanlah calon yang didukungnya, karena siapapun pemenangnya, itu adalah
kemenangan semua. Sementara di Indonesia, masyarakatnya selalu merasa kalah dan
tidak puas sepanjang waktu bila jagoannya kalah dalam pemilu.

Masyarakat Indonesia masih mudah terbawa arus
kepentingan. Sementara partai politik dan pihak-pihak yang kalah selalu
berambisi untuk menjatuhkan lawan politik, walaupun dengan cara menyebar isu
yang menyesatkan. Tentu hal ini dapat menjadi petaka yang sewaktu-waktu akan
mengirim Indonesia ke jurang kehancuran.

Memang, pihak yang kalah dalam pemilu adalah
oposisi, namun bukan berarti boleh menyalahkan atau hanya sibuk menyalahkan
pemerintah. Bahkan ada pula yang hanya sibuk membangun kebencian dengan
seolah-olah pemerinah tidak sama sekali ada baiknya.





Semoga saja kita akan semakin dewasa dalam
pilkada kali ini, sehingga tidak menimbulkan perpecahan. Semoga setelah pilkada
kali ini tidak sama denga pemilu dan pilkada sebelumnya yang selalu
meninggalkan bekas berupa perpecahan. Seperti halnya Pemilu Presiden 2014 dan
Pilkada Serentak 2017 silam, di mana hingga kini efeknya masih sangat
terasa. 

Marilah kita bersama-sama meredam konflik
setelah pilkada. Bagi pemenang, jadilah pemenang yang budiman, sehingga mampu
merangkul lawan politik untuk bersama-sama membangun bangsa. Dan, yang kalah
jadilah seorang ksatria yang mau menerima kekalahan. Jangan hanya sibuk mencari
celah untuk menjatuhkan.

Patut kita sadari bersama, pilkada bukanlah ajang
perlombaan untuk gaya-gayaan. Bukan pula kontestasi persaingan untuk memecah
belah. Pilkada adalah sarana untuk membangun bangsa. Siapapun pemenangnya harus
di dukung dan dibantu dalam menjalankan tugasnya untuk membangun bangsa dan
negara. (**)





Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan