JASRI USMAN: Sekolah, Buruh, dan Tapak Kaki
Oleh: M. Kubais M. Zeen
Penulis, Editor. Pernah jadi Penulis Literasi Koran TEMPO.
Jasri Usman |
” Dalam Penderitaan,orang masih
memiliki
Kebebasanuntuk menemukan makna
hidupnya (Fiktor E. Frankl,2020)
Ungkapan salah seorang psikiater
paling terkenal di dunia itu begitu kuat tergiang saat menggurat secuil
lembaran perih kehidupan seorang lelaki, sejak belia.
Lelaki itu Jasri Usman, yang lahir
pada 28 Oktober 1970 di Kusubibi. Jasri tumbuh di tengah keluarga yang tingkat
kesejahteraan hidup teramat jauh panggang dari api, alias miskin, baik dalam
takaran pemerintah maupun Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ayahnya, Usman
Abdullah, petani yang dalam waktu lama dipercaya masyarakat sebagai imam
Masjid. Sang ibu, Hadijah Gafur, hanya ibu rumah tangga.
Lebih sepuluh tahun Jasri
menghabiskan masa kecil di ranah kelahirannya. Baju menjadi barang yang
istimewa lantaran untuk memilikinya lagi, menunggu momen hari raya, itupun jika
ada kelebihan rezeki. Matanya berkaca-laca saat mengenang ia tak punya
baju.Waktu saya mau masuk sekolah dasar, tak ada apa-apa sama sekali saat itu.
Lalu, ibu saya mengambil baju kakak saya yang sudah tak cocok dikenakannya. Ibu
menggunting baju itu, menjahitnya sendiri termasuk menjahit bunga matahari di
depan dan belakang baju, benang dari hasil olahan daun nenas. Saya selalu
memeluk baju itu.
Baju tersebut tak hanya dikenakan
saat shalat, dan mengaji. Melainkan juga jadi seragam sekolah dengan celana
yang ditambal kiri kanan, telanjang kaki pula. Jasri tak minder, malahan dari
baju itulah benih tekad untuk mengubah hidup mulai tumbuh mekar dalam dirinya.
Seusai menamatkan pendidikan SD,
Jasri mulai mengembara, menimba ilmu di Madrasah Tsanawiyah Alkhairaat, Bacan.
Saat liburan sekolah, ia pulang kampung, melepas rindu pada orangtua dan
keluarga. Tapi ia tak pangku kaki, harus bekerja: bersama kaknya, mencari
damar, dan kerja kelapa kopra agar bisa kembali bersekolah setelah liburan.
Pada 1990, lelaki tak pelit
menyungging senyum itu melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Ternate. Seperti di Bacan, di kota inipun, Jasri numpang hidup di pengampun, di
Bastiong. Jarak tempat tinggal yang begitu jauh dengan sekolah, tak jarang ia
lalui dengan jalan kakisesuatu yang tak mungkin dilakukan anak-anak di zaman
kini, bahkan pada generasi sezamannya pun biasa dihitung dengan jari melakukan
hal seperti ini.
Sambil sekolah, Jasri yang jadi
pengurus OSIS, bekerja sebagai buruh di pabrik minyak goreng Bimoli, Toboko,
agar meringakan beban orangtua. Saya ambil shift malam. Saya sangat bersyukur
karena pengampun yang sudah saya anggap laiknya orangtua sendiri, meluaskan
waktu saya, sehingga bisa kerja di Bimoli.”
Menjadi buruh di Bimoli, dan jalan
kaki sejauh itu masih ia tapaki ketika melanjutkan pendidikan di Fakultas
Tarbiyah IAIN Alauddin, Ternate, tahun 1990, meskpun tak sekencang seperti
waktu di Madrasah Aliyah dulu. Padahal, selain berstatus mahasiswa, ia aktif di
organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Pelajar Islam
Indonesia (PII).
Sebelum di kampus ini, Jasri
mengikuti seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru dengan membidik jurusan
sosial politik pada dua kampus ternama, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, dan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Jasri lulus di Unhas
yang biaya masuknya berkisar 7 jutaan. Pontang panting mencari bantuan, tak
dapat. Lalu, bersama kakaknya, sensor kayu empat kubik yang harganya 3 jutaan,
sementara waktu mendaftar ulang cuma sepekan. Kecewa sudah pasti, dan pada
kondisi psikologis seperti ini, ia mendafar di Unkhair, namun seorang senior
yang membulinya dengan kata-kata tidak terima mahaiswa buangan, sehingga ia
memutuskan untuk istriahat.
Jasri lalu ke Galela, kerja kelapa
kopra selama satu tahun demi mengumpulkan biaya kuliah di tahun berikutnya.
Hasil peluhnya itu cukup untuk kuliah di luar daerah, namun menibang usia ibu
ayah, dan tak kuasa menolak permintaan sang ibu untuk kuliah di perguruan
tinggi agama terbesar di Maluku Utara itu, Jasri pun mengurungkan niatnya
menimba ilmu di Jawa, atau Makassar.
Usai menggondol gelar sarjana di
IAIN, suami dari Lili Mohdarperempuan Rua berdarah Ternate tulen itu, menjadi
buruh di Pelabuhan Feri dalam waktu cukup lama. Dari pahitnya kehidupan yang
dirasakannya, Jasri, seperti dikatakan Frankl di awal tulisan ini, menemukan
makna keberadaannya di dunia: “hidup adalah perjuangan, dan dalam perjuangan
aral silih berganti menghadang. Bagai air mengalir, tak surut menghadapi semua
itu dengan ketulusan hati.
Di sisi lain, sekalipun kedua
orangtuanya tak merasakan pendidikan formal, tak pula mengenal aksara latin
sebesar gunung, saripati nilai-nilai keagamaan begitu kuat dipatrikan pada
Jasri, dan saudaranya-saudaranya. Ibu saya selalu ingatkan, milik orang lain,
milik orang lain. Begtu juga sebaliknya. Artinya, jangan pernah mengambil milik
orang lain,kenang Jasri sembari menambahkan, sepanjang hidup saya tetap
memegang amanah ibu.
Kini, hidupnya tak seperti dulu lagi.
Namun, ia tak melupakan orang-orang yang berjasa terhadapnya, di antaranya,
pengampunnya waktu sekolah. Silaturahmi pun tetap dijaga. (** )