Brindonews.com
Beranda Opini GENOSIDA

GENOSIDA



Oleh : HENDRA KASIM, SH., MH.





Advokat / Direktur LBH Pemuda

Beberapa pekan terakhir dunia diingatkan kembali dengan extra ordinary dalam kategori human right yakni Genosida. Kejahatan genosida sudah beberapa kali terjadi. Kali ini, nyata pembataian etnis Rohingya secara sistimatis yang dilakukan oleh otoritas Pemerintah Mnyanmar.

Defenisi Hinga Sejarah Singkat





Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani γένος genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’). (wikipidida.com)

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.(wikipidia.com)

Sebelum tahun 1944, tidak ada istilah “genosida”. Istilah ini sangat spesifik yang merujuk pada kejahatan kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok masyarakat dengan tujuan untuk membasmi keberadaan kelompok itu. Hak asasi manusia, sebagaimana yang dituangkan dalam Deklarasi Hak-Hak (Bill of Rights) AS atau Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Universal PBB 1948, adalah terkait dengan hak-hak individu. (ensiklopedia holocaust)





Pada 1944, seorang pengacara Yahudi Polandia bernama Raphael Lemkin (1900-1959) berupaya menggambarkan kebijakan pembantaian sistematis Nazi, termasuk pembinasaan kaum Yahudi Eropa. Ia membentuk kata “genocide” (genosida) dengan menggabungkan kata geno-, dari bahasa Yunani yang berarti ras atau suku, dengan kata “cide” (sida), berasal dari bahasa Latin yang berarti pembantaian. Ketika mengusulkan istilah baru ini, Lemkin membayangkan sebuah rencana terkoordinasi dengan beragam aksi yang bertujuan untuk menghancurkan landasan dasar kehidupan kelompok-kelompok masyarakat secara nasional, dengan maksud memusnahkan kelompok-kelompok itu sendiri. Pada tahun berikutnya, Pengadilan Militer Internasional yang diselenggarakan di Nuremberg, Jerman, mendakwa pimpinan Nazi dengan “kejahatan terhadap kemanusiaan.” Kata “genosida” dicantumkan dalam dakwaan tersebut, tapi sebagai istilah deskriptif, bukan hukum. (ensiklopedia holocaust)

Amanah Konstitusional

Sebagai bangsa yang merdeka karena perjuangan melawan kolonialiesme, cita-cita kemerdekaan Indonesia tidak hanya untuk memerdekakan diri sebagai bangsa semata, melainkan juga turut dalam menghapus segala bentuk penjajahan. Sebagaimana secara tegas disebutkan dalam alinea pertama pembukaan konstitusi Indonesia “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”





Ditegaskan kembali dalam alinea ke empat pembukaan konstitusi Indonesia “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia … … …”

Sebagai filosofi grundslagh, pembukaan konstitusi secara tegas menyebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak hanya untuk menjadikan bangsa yang terdiri dari beragam suku dan etnis ini sebagai bangsa yang mandiri melainkan juga menjadi pioneer dalam menertibkan ketertiban dunia serta menghapus segala bentuk penjajahan. 

Indonesia pada masa silam memiliki peran penting dalam mewujudkan perdamaian dunia, sebut saja peran Indonesia dalam mendorong pembentukan Konferensi Asia Afrika (KAA). Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatnkan terjadinya Perang Dingin antar kedua blok. Singkat cerita, Indonesia dan beberapa negara menyelenggarakan KAA pertama kali di Bandung dengan mengusung semangat perdamaian yang dikenal dunia dengan “Bandung Spirit”.





Tidak hanya itu, Peran Soekarno dalam mendorong Gerakan Non-Blok/Non Align Movement (NAM) pada sidang PBB sehingga negara-negara dunia ketiga memilih mengikuti jejak Seokarno yang akhirnya dua blok yang dibentuk oleh Amerika dan Rusia tidak lagi mendapatkan dukungan negara-negara ketiga, yang akibat hal tersebut berlahan mendorong perdamaian dunia.

Tidak hanya KAA dan NAM peran Indonesia dalam mendorong perdamaian dunia melalui jalur diplomatik, Indonesia juga turut mengirimkan pasukan perdamaian (Pasukan Garuda) ke Kongo (1956), ke Timur Tengah (1957), ke Vietnam (1960 – 1975), dan masih banyak lagi.

Konteksnya dengan praktik genosida di Mnyanmar sikap tegas pemerintah Indonesia tidak hanya bentuk langkah diplomatic semata dalam pergaulan dunia internasional, melainkan juga sebagai pelaksanaan dari amanah konstitusi atas amanah yang melekat pada jabatan Presiden.





Ditengah posisi tawar Indoneia pada pegaulan Internasional yang semakin melemah, ini kesempatan Pemerintahan Jokowi mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana amanah konstitusi. 

Presiden tidak cukup memilih langkah diplomatik semata, tidak cukup hanya dengan “mengutuk” saja, langkah real perlu diambil. Seperti misalnya, mengirimkan bantuan, mengusir Duta Besar Mnyanmar, mengajak negara-negara Asia Afrika untuk memberikan sanksi, mengirimkan pasukan perdamaian, hingga mendorong PBB membawa orotias pemerintahan Mnyanmar ke hadapan sidang International Court.

Conclusion





Akhirnya, ingin kami sampaikan bahwa seara kebetulan korban dari kebrutalan orotiras pemerintah Mnyanmar di Rakhine atas etnis Rohingya adalah muslim dan muslimah. Akan tetapi, dunia tidak perlu menjadi muslim cukup menjadi manusia untuk membela Rohingya, karena Genosida adalah tragedy kemanusiaan. Wallahualam,-

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan