Dukungan Terhadap FK di NTT dan Korban “Bullying”

![]() |
Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka |
Jakarta, BRINDOnews.com – Dalam sudut pandang Theologi, anak adalah amanah yang dianugerahkan dan dan dititipkan Tuhan kepada orangtua dan keluarga. Kemudian dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), anak mempunyai hak hidup dan tidak satupun orang yang mempunyai otoritas menyiksa, mencederai, bahkan sampai mencabut hak hidup manusia kecuali sang penciptanya.
Untuk itu, anak mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia. Demikian juga dalam sudut pandang hukum, pasal 54 UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak junto UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahkan UU Dasar RI 1945 anak harus terbebas dari kekerasan, penyiksaan, penganiayaan, dan merendakan martabat serta diskriminasi.
Selain itu, sekolah juga wajib menjadi zona bebas dari kekerasan, baik yang dilakukan oleh pengelolah dan pemilik sekolah, guru, peserta didik maupun orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan sekolah. Itu artinya, sekolah wajib memberikan rasa nyaman dan terbebas dari kekerasan.
Disamping itu, peristiwa-peristiwa kekerasan yang dialami anak-anak, baik fisik maupun seksual, termasuk juga kekerasan dalam bentuk “bullying” atau perisakan umumnya berdampak pada gangguan psikologis, depresi dan bunuh diri.
Namun apa yang dirasakan FK (16) salah satu siswa di SMPN Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat bertolak belakang dengan konsep dan ketentua perundang-undangan. FK justru menjadi korban bullying terus-menerus, baik dari gurunya sendiri hingga mengakibatkan FK saat ini mengalami depresi hingga berujung percobaan bunuh diri dengan cara menenggak racun.
Kasus percobaan bunuh FK yang diduga karena dibully BB (32) guru Bahasa Indonesianya. Peristiwa bully ini bermula pada Kamis (31/08/17) lalu, korban mendapat bullyian atau perisakan dari gurunya.
Menurut orangtua FK kepada Quick Investigator, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Lembata, korban saat ini sedang mendapat perawatan medis secara intensif di RSUD, Prof Dr. Johannes di Kupang, setelah mendapat rujukan dari RSUD di Lembata .
Orangtua FK juga mengungkapkan, korban saat ini dalam kondisi depressi berat karena sering mendapat hinaan dan cercaan dari gurunya seperti menyebutnya, “kau dari keturunan yang tidak jelas dan miskin, bahkan mengatakan bahwa makanan anak saya sama dengan makanan babi, bodoh, bahksn menyebutkan tempat tinggal anak ku sama seperi kandang babi.” Ungkapnya.
Dari pengakuan orang tua korban, ejekan dan hinaan terhadap FK yang sering dilakukan gurunya dihadapan teman-teman saat mengikuti jam mata pelajaran Bahasa Indonesia, mengakibatkan percobaan bunuh diri yang di lakukan FK pada 31 Agustus 2017, saat itu selepas pulang sekolah FK buru-buru pulang ke rumah kemudian menenggak racun rumput dirumahnya.
Menurut laporan dari salah seorang keluarga kepada Komnas Perlindungan Anak, dan dari berbagai link berita atas kasus ini, sangat disayangkan Kepala Sekolah serta Dinas Pendidikan dan Olah Raga Lembata seakan menganggap ini bukan tanggungjawabnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai Lembaga independen, serta memberikan pembelaan hukum bagi FK, dan juga memberikan pembelaan dan perlindungan Anak bersama dengan Quick Investigator LPA di NTT yang berafiliasi dengan Komnas Perlindungan Anak, Medesak bupati Lembata untuk segera memberikan sanksi administratif berupa pemberhentian BB dari pekerjaannya sebagai guru.
“Tak hanya BB, sanksi yang sama juga kepada Kepala Sekolah dan Dinas PPO yang bertanggungjwab terhadap tupoksinya,” Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka kepada media di Jakarta Kamis (7/9/17).
Arist menambahkan, sikap dan perilaku BB bukan lagi sebagai cerminan guru yang seyogianya memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi peserta didik. “Ejekan dan hinaan BB terhadap korban merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat manusia.” Tandasnya.
“Yang lebih fatal lagi, perbuatan dan tindakan BB tidaklah lagi menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai kebaikan. Oleh sebab itu, tidaklah pantas lagi BB menjadi guru,” tegas Arist.
Selanjutnya, untuk memberikan pendampingan psikologis dan pembelaan hukum terhadap korban (FK), Komnas Perlindungan Anak bersama LPA Kota Kupang segera menerjunkan Tim Advokasi, dan mendorong keluarga untuk segera membuat Laporan Polisi, juga meminta Polres Lembata membukan diri untuk menerima laporan keluarga. Imbuh Arist. (red)