Surat Edaran dan Netralitas ASN

![]() |
Dr. King Faisal Penulis : Akademisi, Legal Consultan, Direktur Legal Empowerment and Democracy Indonesia |
Sarat Ambiguitas
Akan ada 171 Daerah yang menggelar Pilkada serentak pada 27 Juni 2018, terdiri dari 17 Propinsi, 39
Kota dan 115 Kabupaten. Dari hasil pencocokan dan penelitian (Coklit sementara)
oleh KPU di beberapa wilayah, tidak sedikit terjadi trend penurunan angka DPT
ketimbang tahun 2015.
Trend menurunnya angka DPT, sudah pasti berdampak pada minimnya tingkat
patisipasi pemilih. Ditengah upaya untuk mendongkrak angka partisipasi Pemilu,
muncul Surat Edaran Menteri Pendayagunaan dan Reformasi Birokrasi 2017, ikhwal Netralitas/larangan
Aparatur Sipil Negara/PNS untuk tidak terlibat dalam peta politik praktis dalam
event Pilkada se Indonesia.
Ironisnya, konstruksi SE No.71/2007 oleh MANPAN dan RB cenderung
bersifat mengatur (regeling) layaknya norma hukum seperti dalam UU P3 (UU
12/2011. Apabila ditelisik, PP 53/2010 ikhwal Disiplin PNS tidak ada klausul
larangan macam-macam sebagaimana bunyi SE MANPAN dan RB a quo.
Di sisi lain, PP 42/2004 ttg
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS yang menjadi rujukan dibalik keluarnya
SE MANPAN dan RB ini, justru hanya menekankan larangan PNS untuk lakukan
perbuatan yang mengarah pada kebeprihakan salah satu Calon (Bukan Bakal
Calon-harus dibedakan) atau terlibat aktif dalam politik praktis/menjadi
anggota Parpol.
Men PAN & RB justru bertindak melampaui kewenangannya sebagai
seorang Menteri dengan menafsirkan secara luas semisal PNS dilarang like sang
kandidat, aktif di medsos/FB/twitter/instagram memberi pendapat/argumen atas
visi/misi seorang calon/jejak rekam seorang kandidat. PNS/ASN adalah warga
negara biasa yang memiliki hak-hak asasi politik yakni kebebebasan menyampaikan
pendapat, pikiran sebagaiman dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dan kategori
prinsip HAM “Non Derogible Rights” yang tidak bisa diganggu gugat.
Diskresi Inkonstitusional
SE hanyalah “Tata Naskah Dinas” atau sejenis MEMO, dll seperti
ditegaskan Permen PAN No/22/2008 Jo Permendagri No. 55/2010. Kedua regulasi ini
pada intinya menegaskan, SE merupakan bentuk “Naskah Dinas” yang berisi atau
memuat pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal
tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Perspektif contradictio in terminis, SE tetap legal, asalkan tidak
menimbulkan ambiguitas hukum dan tidak mereduksi makna sebuah norma hukum yang
lebih tinggi apalagi perintah konstitusi (UUD 1945). Selama ini, SE cenderung digolongkan dalam quasi peraturan atau
peraturan kebijaksanaan (beleidsregels) dan bagian dari tindakan diskresi atau
penggunaan prinsip ‘freis ermessen’.
Kalaupun SE dianggap diskresi, tetap ada aturan mainnya. UU 30/2014
(Administrasi Pemerintahan) mendefenisikan diskresi sebagai bentuk keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintah
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan.
Diskresi dianggap konstitusional jika untuk: (a) melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan; (b) mengisi kekosongan hukum; (c) memberikan
kepastian hukum; dan (d) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Diskresi juga harus:(a) sesuai dengan
tujuan dan tidak kontras dengan Per-Uuan, AAUPB/good governance; (c)mengandung
alasan-alasan yang objektif dan; (d) tidak boleh menimbulkan konflik
kepentingan dan harus dilakukan dengan itikad baik.
ASN jelas memiliki hak politik untuk memilih, berbeda dengan TNI/Polri
yang oleh UU tegas dilarang. Bagaimana menghasilkan pemimpin yang
berintegritas,kapabel atau the right man on the right place, jika memberikan
pendapat, komentar/like atas kapasitas atau trackrecord seorang Figur/Calon
Pemimpin kita saja sudah dilarang padahal masih berstatus Bakal Calon atau
belum sebagai Calon dan masuk fase kampanye.
ASN/PNS bukanlah tahanan politik kelas berat, yang berdasarkan putusan
pengadilan (incraht), hak-hak politiknya dicabut seumur hidup.
Seorang mantan terpidana kelas berat sekalipun,masih bisa mencalonkan diri
sebagai seorang kandidat kepala daerah/wakil rakyat asalkan memberikan surat
pengakuan terbuka dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut.
Jangan sampai, terjadi revisi Surat Edaran Menteri, dimana “Mimpi
bertemu dengan kandidat-pun dilarang; atau ASN dilarang bersalaman ketika
bertemu di Pasar atau Mesjid”. Inikah yang disebut alam demokrasi Indonesia
pasca reformasi ataukah demo-crazy ??.
apakah demokrasi otoriter dan sentralisitik masa masih mewarnai sistem
kekuasaan saat ini ?. Oh..alangkah astaganya wajah rezim yang berkuasa saat
ini”.