Lulusan SMA dan S1 Tertinggi Pengangguran di Ternate

![]() |
Rony Aries, Kabid Hubungan Industrial dan Jamsostek Disnaker Kota Ternate |
TERNATE, BRN – Lulusan Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan sarjana jenjang S1 menjadi penyumbang tertinggi
pengangguran di Kota Ternate. Menurut data Kota Ternate Dalam Angka 2019, Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Ternate mencatat, pengangguran tamatan SMA sebesar
55,66 persen atau 3.161 orang. Sementara sarjana, 1.148 orang atau 20,21
persen.
Kepala Bidang (Kabid)
Hubungan Industrial dan Jamsostek Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Ternate,
Rony Aries mengemukakan, dari data yang ada,
lulusan SMA merupakan penyumbang pertama terbanyak pengangguran di kota dengan
motto Bahari Berkesan itu, disusul
alumni universitas atau sarjana strata S1 kedua terbanyak.
“Hampir separuh lebih sekolah menengah atas mendominasi
pengenangguran. Perhitungannya diambil dari jumlah TPT 3.161 dibagi jumlah
total TPT 5.679 kemudian dikali 100. Hasilnya 55,66 persen. Kalau secara totality persen, mencapai 99,98 persen.
Hanya kurang 0,2 persen saja jadi 100 persen,” kata Rony, saat disambangi di
ruang kerjanya, Rabu (29/4) siang.
Rony mengungkapkan, sampai 2019 tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kota dengan 8 kecamatan ini sebesar 6,06
persen. Presentase tersebut naik 0,15 persen dibanding periode 2018 sebesar 5,91 pesren.
Mismatch Antara Keahlian dan Kebutuhan
Rony mengatakan, tinginya
angka pengangguran di Kota Ternate dipicu banyak faktor. Misalnya, ketidakcocokan antara keahlian dan kebutuhan, tidak
adanya lembaga sertifikasi profesi atau LSP bagi tenaga kerja di Kota Ternate,
dan banyaknya pencari kerja atau tenaga
kerja impor dari kabupaten kota lain
di Kote Ternate.
Di sisi penawaran, ketidakcocokan
antara permintaan tenaga kerja dan kebutuhan perusahaan tidak sesuai permintaan
pasar. Permintaan kebutuhan perusahaan untuk
tenaga tidak sesuai (mismatch)
supply ketersediaan tenaga kerja.
“Terlepas
dari wabah virus corona, Ternate merupakan kota pusat jasa dan perdaganganan,
sehingga bukan hanya bicara penduduk Ternate saja, tapi impor dari kabupaten
kota lain untuk mencari dan bekerja di Kota Ternate,” katanya.
Rony
menilai, sertifikasi
kompetensi bagi pekerja menjadi tuntutan dan kebutuhan. Itu dapat dijadikan
sebagai jaminan sosial perlindungan dan peningkatan kesejahteraan.
Tujuan
kegiatan sertifikasi uji kompetensi sebagai upaya pemberian pengakuan formal
terhadap kompetensi seseorang. Sertifikasi itu, sambung Roni, dilisensi badan
nasional sertifikasi profesi atau BNSP.
“Adanya
LSP ini belum sepenuhnya menjamin menekan angka pengangguran, namun memperkecil
rentan kendali bagi tenaga-tenaga kerja atau lembaga pelatihan yang
mendatangkan LSP dari luar daerah. Karena kalau sudah ada, secara ongkos jauh
lebih murah,” katanya.
“Karena
biayasanya, lembaga sertifikasi profesi dalm menggelar ujian kempetensi biayanya sampai Rp1 juta per orang. Artinya,
kalau ibaratnya LSP sudah di Kota Ternate, secara tidak langsung ada penghematan
ongkos sertifikasi,” tambahnya.
Dua Sektor
Serap Banyak Tenaga Kerja
Disnaker
Kota Ternate mencatat, angkatan kerja menurut pendidikan masih didominasi
alumni SMA sebesar 31,311 persen dan S1 berada satu tingkat dibawanya dengan 21,477.
Rony mengatakan,
sektor lapangan pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor jasa
dan perdagangan sebesar 23,79 persen atau 21.530 orang dengan rincian perempuan 12.974 orang dan
laki-laki 8.556 orang.
Kebanyakan
penduduk yang bekerja, pekerjaan utamanya buruh, karyawan atau pegawai 45,915
persen, berusaha sendiri 21,547 persen. selain itu, berusaha dibantu buruh
tidak tidak dibayar 8,230 persen, dan pekerja keluarga /tidak dibayar 7,163
persen.
“Penduduk
bekerja dengan status pekerja bebas di non pertanian 4,443 persen. Sementara penduduk
bekerja dengan status berusaha dibantu buruh tetap memiliki persentase paling
kecil yaitu 3,195 persen,” tambah Rony. (brn)