Brindonews.com
Beranda Kabar Faifiye Senator DPD RI Ancam PT STS Jangan Macam-Macam dengan Tanah Adat

Senator DPD RI Ancam PT STS Jangan Macam-Macam dengan Tanah Adat

HALTIM, BRN – Sikap PT Sembaki Tambang Sentosa atau STS yang berkepala keras masuk menambang di kawasan adat di Kecamatan Maba Tengah memicu reaksi senator DPD RI Hasby Yusuf.

Apatisnya PT STS yang menambang kawasan adat lebih dari 20 hektar hingga mendapat perlawanan dari Qimalaha Wayamli dan masyarakat setempat bikin Hasby naik pitam. Anggota DPD RI dapil Maluku Utara tersebut menebar ancaman agar PT STS tidak berbuat macam-macam terhadap tanah adat dan hak ulayat masyarakat adat.





Perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Baborino, Kecamatan Maba tersebut diminta tak berkepala besar lalu asal menambang lantas sudah diberikan IUP dari Pemerintah Pusat, tanpa berfikir nasib lingkungan dan hak masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat.

“Prinsip pertambangan harus menghindari segala pencemaran lingkungan. Tambang tidak boleh menyerobot tanah warga tanpa ada mekanisme yang berkeadilan. Tambang tidak boleh mengabaikan hak pekerja lokal. Tambang tidak boleh menghilangkan hak hidup sosial dan kebudayaan masyarakat yang mendiami suatu negeri termasuk Maba dan sekitarnya,” kata Hasby ketika dikonfirmasi Brindonews melalui sambungan telpon Whatsapp, Rabu, 23 April.

Tak hanya PT STS yang bikin Senator yang mewakili Maluku Utara di Senayan, Jakarta tersebut naik darah, Hasby pun menyoal sikap bandel PT Priven Lestari, PT Alam Raya Abadi termasuk ulah PT Jaya Abadi Semesta yang mencemari Kali Muria hingga masuk ke areal persawaan petani di Subaim, Kecamatan Wasile.





Hasby pun menyoal PT Position yang memperkarakan sebelas warga desa Maba Sangaji ke Polsek Kecamatan Maba Selatan. Perusahaan tambang nikel yang berlokasi di belakang Kota Maba tersebut pun diwanti-wanti perihal mencemarkan sungai Sangaji.

Menurut Hasby, sederet kasus pencemaran lingkungan akibat sedimentasi nikel adalah ulah perusahaan tambang yang masuk ke Halmahera Timur secara membabi buta menebas hutan dan mengunduli pegunungan. Hasby menyebutnya sebagai malapetaka kiamat kecil di Maluku Utara.

“Selama inikan berulang-ulang terjadi. Terus apa yang terjadi di PT Position, PT STS, PT ARA dan PT JAS yang mencemari sungai Muria kemudian di Teluk Buli dan seterusnya sampai Sagea bagi saya inikan sebagai malapetaka, ini kiamat kecil bagi torang di Maluku Utara,” jelasnya.





Hasby mengemukakan, setelah muncul pencemaran lingkungan, tabiat perusahaan hanya bernegosiasi itu pun lama kelamaan mulai mereka lupa. Apabila kasus serupa terulang, lalu didemo oleh warga tapi mereka lupa lagi dan seterusnya. Menurut Hasby, harus ada penyelesaian yang sifatnya permanen.

Selama ini, perusahan selalu berdalih bahwa mereka memiliki izin yang diberikan pemerintah pusat dan seterusnya. IUP yang diberikan memang di Jakarta, tapi perusahaan beroperasi di daerah. Dan Jakarta justru tidak tauh menahu kondisi di daerah atau Halmahera Timur. Itu sebab, Hasby meminta pemerintah daerah sebagai ujung tombak mengawasi perusahaan yang dianggap bandel.

“Ini torang pe daerah, tong pe tanah kelahiran, tanah leluhur, sapa lagi yang peduli tong pe negeri, kalau bukan selain torang yang peduli. Tanah ini yang kase hidup dan kasih kaya torang, tanah ini di dalamnya kaya tapi torang masyarakat miskin, jadi penonton. Pemerintah provinsi maupun kabupaten kota harus perhatikan semua investasi yang masuk,” ucapnya.





Tiap-tiap perusahaan nikel, lanjut bang Bices sapaan akrab Hasby Yusuf, harus pastikan mampu berkonstribusi terhadap daerah termasuk mengangkat derajat masyarakat. Bukan malah sebaliknya datang hanya sekedar mengeksploitasi, cari untung lalu pulang ke Jakarta dengan riang gembira dan berpesta pora di Jakarta kemudian masyarakat yang menanggung resiko dampak pencemaran.

Kementerian ESDM kata Hasby, jangan asal memberikan izin kepada perusahan lalu datang menggarap lahan warga. Tidak boleh ada perusahaan tambang yang pegang kertas izin dengan begitu datang sesuka hati dan semaunya menggarap lahan.

Menurut Hasby, wilayah yang membawahi kesultanan adalah wilayah adat. Semua hutan adat, tanah adat, dan masyarakat adat berdiri di atas adat istiadat. Dalam prinsip kebudayaan Hasby bilang, negeri ini sudah ada lebih dulu sebelum Indonesia merdeka.





Indonesia belum ada, Wayamli, Maba, Bicoli, Wasile sudah ada lebih dulu jadi jangan bikin terbalik. Ia menegaskan, negara tak boleh bikin seolah-olah masyarakat tunduk kepada negara sementara pemerintah pusat hanya memberikan izin kepada pemilik usaha tambang, tapi masyarakat lokal hidup makin susah dan miskin.

“Tong satu bangsa tapi tidak boleh atas nama Jakarta lalu sesuka hati kemudian mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Saya minta hak adat mestinya dijaga, hak ulayat tanah adat harus dijaga. Dijaga untuk siapa, untuk masyarakat. Karena itu, saya mendukung semua gerakan masyarakat adat untuk memulihkan kehormatan dan haknya,” bebernya.

Alumnus HMI cabang Ternate yang paling getol bicara isu lingkungan tersebut menegaskan, tidak boleh ada pihak yang menyalahkan masyarakat Wayamli yang melakukan perlawanan terhadap STS demi menyelamatkan tanah adat yang digarap sepihak. Amukan warga sampai berunjuk rasa membela mati-matian tanah adat karena tidak lagi percaya kepada pihak perusahan.





“Jadi tidak boleh menyalahkan masyarakat bahwa masyarakat demo seolah-olah merusak perusahaan. Tidak ada yang merusak, justru perusahaan yang datang kasih rusak torang pe negeri. Dorang kaya raya baru tong pe rakyat miskin terus, lalu torang haga-haga saja, tidak. Pemilik tambang di Jakarta tambah kaya raya dan pesta pora, lalu torang di sini cuman haga baru torang deng torang yang bakalae (orang Maluku Utara menyebutnya berkelahi) (*)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan