Resiliensi Guru: Pilar Penting di Tengah Gempuran Perubahan Kurikulum

Oleh : Nursani M. Tahir, M.M
Indonesia telah mengalami beragam transformasi kurikulum, dari Kurikulum 1975 hingga kini Kurikulum Merdeka. Setiap perubahan kurikulum membawa semangat baru, namun juga tantangan bagi guru.
Di tengah semua itu, ada satu tokoh sentral yang selalu berada di garis depan implementasi guru. Sayangnya, dalam gegap gempita reformasi kurikulum, guru sering hanya dianggap sebagai pelaksana teknis.
Mereka dibebani berbagai tuntutan, dari administratif hingga pedagogis, tanpa selalu diberi ruang adaptasi yang memadai. Di sinilah pentingnya resiliensi guru kemampuan mereka untuk bertahan, bangkit, dan terus menjalankan tugas mendidik meski situasi berubah cepat.
Banyak guru yang harus beradaptasi sendiri. Juga, menghadapi pelatihan yang singkat, infrastruktur yang belum merata, serta harapan tinggi dari berbagai pihak. Namun, justru dalam kondisi itulah muncul kekuatan yang luar biasa. Guru-guru di pelosok negeri tetap berusaha mencari sumber belajar, mengikuti pelatihan daring mandiri, dan menyusun modul yang kontekstual demi siswanya.
Inilah potret resiliensi yang sesungguhnya: ketangguhan mental, semangat belajar, dan kepedulian tulus terhadap masa depan anak-anak bangsa. Namun, kita tak bisa berharap guru terus “berjuang sendirian”.
Resiliensi bukan sekadar bakat alami, ia harus dibentuk, dirawat, dan didukung. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan kurikulum disertai dengan pelatihan yang bermakna, bukan sekadar formalitas.
Sekolah perlu menjadi ruang aman bagi guru untuk bereksperimen dan berbagi tanpa takut disalahkan. Komunitas belajar guru harus terus difasilitasi, bukan hanya menjadi program tempelan.
Di balik setiap kebijakan besar, ada guru-guru yang berjibaku mewujudkannya dalam ruang kelas nyata. Menyusun RPP, menyesuaikan asesmen, menghadapi siswa dengan latar belakang beragam.
Maka, jika kita serius ingin kurikulum nasional berjalan efektif, kita harus memprioritaskan ketahanan dan kesejahteraan guru, bukan hanya target dan angka-angka.
Membicarakan pendidikan tanpa menyentuh keseharian guru adalah ilusi. Dan berharap perubahan besar tanpa memberdayakan mereka adalah kesia-siaan. (*)