Mahasiswa Gruduk Kantor Pusat PT. STS Desak Menteri ESDM Cabut Izin Tambang

JAKARTA, BRN – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Lingkar Tambang Maluku Utara (GPLT-MU) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor pusat PT. Sambaki Tambang Sentosa (STS) yang berlokasi di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Senin (29/4).
Aksi tersebut sebagai bentuk protes terhadap berbagai permasalahan sosial yang timbul akibat aktivitas pertambangan perusahaan di Halmahera Timur.
Dalam aksinya, massa membakar ban bekas dan sempat bersitegang dengan petugas keamanan security serta petugas pemadam kebakaran. Akses jalan di kawasan SCBD sempat ditutup oleh massa aksi. Namun demikian, situasi tetap kondusif berkat pendekatan humanis yang dilakukan aparat kepolisian.
Ketua Umum Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara (PB-FORMMALUT), M. Reza A. Syadik, menyampaikan apresiasi terhadap pihak kepolisian polda metro jaya yang mengawal aksi dengan pendekatan dialogis dan menghindari tindakan represif.
Tapi sayangnya, sejumlah petugas security dan petugas pemadam kebakaran seakan terlihat melebihi kapasitas sebagai polisi yang mengamankan jalanya aksi unjuk rasa.
Koordinator Lapangan GPLT-MU, Sudiono Hi Dikir, dalam orasinya menyoroti persoalan sosial yang dihadapi masyarakat adat Kimalaha Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur. Menurutnya, PT. STS telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan tidak merespons aspirasi yang telah disuarakan berulang kali.
“Kami mendesak Menteri ESDM Bapak Bahlil Lahadalia untuk segera memanggil Direktur Utama PT STS dan menyelesaikan konflik ini. Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, kekayaan alam seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan menambah penderitaan masyarakat,” tegasnya.
Setelah berunjuk rasa di SCBD, massa aksi melanjutkan demonstrasi ke Kantor Kementerian ESDM RI. Di sana, mereka kembali menegaskan tuntutan kepada Menteri Bahlil Lahadalia sebagai bentuk keterwakilan masyarakat adat yang selama ini merasa dirugikan.
Adapun tuntutan GPLT-MU ditegaskan saat di kementrian ESDM diantaranya:
1. Mendesak Menteri ESDM untuk mencabut izin usaha pertambangan yang bermasalah di Halmahera Timur.
2. Menuntut pertanggungjawaban PT. STS atas konflik yang terjadi akibat buruknya komunikasi dan penyelesaian masalah dengan masyarakat.
3. Mendesak penghentian seluruh aktivitas pertambangan PT. STS hingga tercapai kesepakatan yang adil dengan masyarakat adat Maba Tengah, Halmahera Timur.
GPLT-MU menegaskan bahwa aksi ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari gelombang protes yang lebih besar jika pemerintah dan perusahaan tidak segera mengambil langkah nyata maka kita akan datang dengan masa yang lebih besar.
“Save Tanah Adat di Halmahera Timur, setop korbankan Rakyat dengan modus investasi tambang yang membuat ruang hidup rakyat terganggu. Kita tidak anti pada innvestasi, hanya saja jika investasi datang dengan menyerobot tanah adat dengan cara bar-bar tentu kita akan melawan, ” tandasnya. (Tim)