Pilpres 2019: Dua Paslon Lebih Baik Daripada Tiga
Pakar Komunikasi Politik, Emrus Sihombing |
JAKARTA,BRN – Pendaftaran
Paslon Pilpres 2019 sudah di depan mata. Para partai pengusung harus
mendaftarkan Balon ” jagoannya” awal Agustus 2018 di KPU. Karena itu,
perbincangan komposisi dan jumlah pasangan Balon semakin mengemuka.
Para aktor politik sebagai
representasi partai politik pengusung Balon Pilpres 2019 sudah saling
menjajaki, melirik dan mendekati. Intensitas komunikasi politik di panggung
depan dan belakang semakin meningkat, ungkap Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing melalui pres release Minggu (22/4/2018)
Sesekali para aktor politik
tersebut melontarkan pandangannya ke ruang publik untuk membangun opini publik
yang bertujuan meningkatkan posisi tawar antar sesama partai politik dan
membangun positioning Balon Capres serta Balon Cawapres untuk kemungkinan
dipasangkan. Komunikasi politik membangun Paslon semacam itu, saya sebut
sebagai penciptaan kerjasama politik, bukan membentuk koalisi.
Sebab, komunikasi politik
yang sedang dilakukan tersebut untuk mencapai kesepakatan politik lebih pada
mengedepankan membentuk pasangan Balon. Jadi, belum menciptakan koalisi atas
ideologi perjuangan politik yang lebih substansial.
Dengan demikian, komunikasi
politik dalam rangka kerja sama politik
membentuk pasangan Balon memunculkan wacana tiga pasangan Balon. Dari
aspek normatif, membentuk tiga pasangan Balon, bisa saja dilakukan. Namun dari
aspek demokrasi yang berlaku di Indonesia, dua atau tiga Paslon tidak ada
bedanya. Sebab, pemenang pada putaran pertama, tidak otomatis menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tidak
seperti pada seluruh Pilkada di Indonesia, kecuali DKI Jakarta.
Pemenang pertama dan kedua
masuk pada putaran kedua untuk menentukan pemenang. Dengan demikian, tetap
berujung pada dua Paslon. Oleh karena itu, menurut saya, ada dua persoalan
besar bila terjadi dua putaran karena ada tiga Paslon.
Pertama, dipastikan akan
menyedot dana APBN yang luar biasa. Penyelenggaraan Pilpres menjadi dua
(putaran) kali merupakan pemborosan yang luar biasa hanya karena memenuhi
keinginan politik beberapa partai tertentu yang ingin membentuk poros baru
bertujuan membentuk pasangan Paslon ketiga. Padahal, beberapa waktu ke depan
kita harus membayar bunga dan angsuran utang luar negeri ratusan trilyun
rupiah.
Kedua, paslon yang kalah
pada putaran pertama dan para partai pengusungnya sebagai subyek politik,
sangat terbuka kemungkinan mengarahkan
kader, simpatisan dan suara pemilihnya ke Paslon tertentu.
Karena itu, terbuka peluang
bagi Paslon urutan kedua pada putaran pertama menjadi pemenang pada putaran
kedua. Artinya, Paslon yang kalah pada putaran pertama dapat menjadi penentu
pemenang pada putaran kedua.
Dari aspek pertukaran
sosial dan politik, dukungan yang diberikan Paslon yang kalah pada putaran
pertama dipastikan mendapat imbalan politik, dalam bentuk perolehan kekuasaan
lima tahun ke depan. Sebab, ada proposisi ilmiah dalam bidang Ilmu Politik yang
sudah teruji dan tak terbantahkan hingga kini, “Tidak ada makan siang yang
gratis” dalam dunia politik.
Merujuk pada uraian di
atas, menurut hemat saya, agar keinginan membentuk tiga Paslon pada Pilpres
2019, sebaiknya diurungkan, bila perlu dibatalkan dan tidak produktif
diwacanakan.
Lebih baik upaya komunikasi
politik diarahkan mempertemukan berbagai kepentingan para aktor dan partai
politik, sehingga sampai pada titik kompromi politik untuk mengusung dua Paslon
pada Pilpres 2019. (Red/brn)